PENGANGGURAN SABAR

32.2K 1.8K 112
                                    

"Mara, bangun! Dasar anak males! Mau sampe kapan kerjaan cuma tidur, bangun, makan, tidur, begitu terus tiap hari? Hah?!" seru seorang ibu yang meradang sembari mengguncang ranjang putri semata wayangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mara, bangun! Dasar anak males! Mau sampe kapan kerjaan cuma tidur, bangun, makan, tidur, begitu terus tiap hari? Hah?!" seru seorang ibu yang meradang sembari mengguncang ranjang putri semata wayangnya.

Tamara Lovanta terkesiap dari mimpi indahnya. Lekas mengelap iler yang meleleh dari sudut bibirnya.

Semenjak resmi menjadi pengangguran, bisa bangun siang merupakan hal terindah yang bisa dia syukuri. Karena selama empat tahun kuliah dan enam bulan menyusun skripsi, dia nyaris lupa apa itu tidur.

Kini, dua tahun berlalu dengan cepat dan dia belum juga mendapatkan pekerjaan.

Predikat 'beban orang tua' pun tersandang anggun dalam dirinya. Jangankan untuk memberikan uang belanja kepada ibunya, sekedar membeli kuota saja dia tidak sanggup. Apa? Bohong? Sumpah! Hidup Mara sesedih itu, bestie.

"Aduhh! Pelan bisa ngga sih, bu? Aku hampir pelukan sama Oppa Lee Min Ho nih. Gagal lagi deh!" rutuk Mara.

"Lee Min Ho otak kamu kurang sekilo?! Berguna sedikit kenapa sih jadi anak?!" geram Cempaka menjewer telinga Mara.

"Sakit! Sakit! Ibu aku laporin Kak Seto nih. Kasus kekerasan terhadap anak," protes Mara. Usianya sudah dua puluh empat tahun, tapi masih sering dijewer sama ibunya.

"Kak Seto mana peduli sama pengangguran bau iler kayak kamu? Bangun!" Cempaka memelintir telinga Mara.

"Ibu jahat! Padahal Mara nganggur juga ngga nyusahin ibu. Mara ngga pernah mabuk, narkobaan atau balapan liar kayak anak tetangga. Malah harusnya ibu itu bangga sama Mara."

"Aish! Anak ngga ada akhlak! Ngakunya sarjana teknik sipil. Cita-cita merancang bangunan, infrastruktur dan jalanan di Indonesia. Merancang masa depan sendiri saja kayak ngga ada harapan begitu. Bangun sekarang! Mandi!"

Mara menyeret langkah menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Siapa juga yang mau jadi pengangguran?

Ia juga ingin seperti Tiur. Sahabatnya yang kini sudah berhasil jadi budak korporat di sebuah perusahaan batu bara. Dengan gaji dua digit dan fasilitas kendaraan pribadi.

Kalau melihat kenyataan yang ada pada dirinya sekarang ini, rasanya sia-sia saja dia memakai toga dan berdiri bangga di acara wisuda.

Nasibnya bahkan tak lebih bagus dari anak tetangga yang tidak lulus SMA, hamil duluan, tapi bisa menikah dengan seorang pegawai negeri.

"Bu, lapar ..." Mara yang sudah mandi menuruni tangga ke lantai bawah yang selalu ramai.

Ya, Mara dan ibunya tinggal di sebuah rumah toko alias Ruko tiga lantai. Di lantai paling bawah itulah ibunya membuat usaha warung nasi yang menjadi penopang hidup mereka sampai saat ini. Cempaka bekerja tidak sendirian. Dia ditemani Sulis, seorang ibu muda yang terkadang datang membantu tapi lebih sering libur dengan alasan anak sakit.

Andai saja punya anak gadis yang lebih bisa diandalkan, pasti tidak akan sesengsara ini, pikir Cempaka.

"Makanan kamu sudah ibu pisahin di meja makan. Sana makan. Habis itu anterin pesanan nasi box ke tempat kerja Tiur. Dia pesan dua puluh box buat makan siang peserta meeting atau apa gitu itu, ibu ngga ngerti."

Bantal, Kopi dan Teman TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang