Bab 1: Matahari

39 7 13
                                    

"Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) [1]."

Ini kisah tentang sebatang pohon muda. Sengon Muda, begitulah ia dipanggil.

Ia tumbuh di tengah tanah lapang sebuah perumahan nasional -perumnas- yang padat penduduk. Satu daerah yang hanya berjarak belasan kilometer dari puncak Gunung Merapi, Yogyakarta.

Entah siapa yang menanam pohon sengon itu pertama kali. Yang pasti, di tengah tanah lapang perumnas itu sekarang telah berdiri sebatang sengon muda. Ia tumbuh dikelilingi sekitar 40 rumah yang dibangun berderet rapi.

Biasanya di perumnas, rumah-rumah warga saling berhadapan dan satu rumah dengan rumah lain berdekatan.

Berbeda dengan rumah-rumah yang mengelilingi Sengon Muda. Rumah-rumah tersebut beruntung karena memiliki tanah lapang di depan mereka. Mereka tidak harus berhadapan langsung dengan rumah tetangga yang hanya berbatas jalan selebar satu meter.

Sebagian besar penghuni perumahan di sekeliling tanah lapang adalah pensiunan pegawai negeri. Mereka hidup di sekeliling tanah lapang ditemani anak dan cucu. Warga sekitar tanah lapang terlihat betah dan menikmati kehidupan mereka yang tenang dan tenteram.

Berbeda dengan Sengon Muda. Ia dikenal penghuni tanah lapang sebagai pohon penggerutu dan pengomel nomor satu. Tidak ada hari yang dilewatinya tanpa gerutuan dan omelan.

Pohon dan tanaman yang tumbuh di tepi tanah lapang merasa beruntung tidak berada di dekat si pengomel nomor satu itu. Berbeda dengan Sukun yang tumbuh tidak jauh dari si Sengon Muda. Ia harus siap mendengar tukang gerutu itu setiap waktu.

"Ah, panas sekali hari ini," keluh Sengon Muda siang itu. Ia memandang matahari dan mengomel sendiri.

"Geserlah panasmu ke tepi tanah lapang ini, Matahari," pintanya kemudian. "atau redupkanlah sinarmu. Panas sekali ini."

Matahari menengok ke bawah, memandang Sengon Muda. "Aduh, maaf Sengon Muda. Aku tidak bisa melakukan itu. Kau tahu, saat seperti sekarang ini adalah waktu di mana aku bersinar paling terang," ujar Mentari. Ia melihat sekeliling dan tidak menemukan awan satupun untuk menutup teriknya.

"Kamu memang suka membuatku susah, Matahari," sungut Sengon Muda. Ia mulai menggerak-gerakkan rantingnya, mengusir gerah.

"Itu tidak benar! Aku bahagia mendapat panasmu, Matahari. Terima kasih sudah berbagi sinarmu. Buahku pasti akan manis nanti." Sukun membela Mentari.

Saat ini Sukun memang sedang berbuah. Karena sinar matahari, pohon sukun bisa mendapat bahan untuk berfotosintesis, mengolah makanan dan menghasilkan buah.

"Alah tukang ikut campur kamu, Sukun." Sengon Muda tidak mau kalah.

Seantero tanah lapang maklum, hanya Sukun yang mau dan berani melayani omelan dan gerutuan Sengon Muda. Pohon, tanaman, makhluk penghuni tanah lapang sudah mulai tidak peduli dengan kebiasaan buruk teman mereka itu.

Bahkan Mangga Golek, pohon yang paling dihormati di tanah lapang, sekarang tidak terlalu rajin menegur atau mengingatkan Sengon Muda atau sesiapa yang bertengkar dengan si pengomel itu.

"Berapa umurmu sekarang, Sengon Muda?" Tiba-tiba Mentari bertanya. Ia pun mengamati sang penggerutu dengan seksama.

"Umurku? Ada apa kau mendadak menanyakan berapa umurku?" Pohon kayu muda itu tidak terlalu menanggapi Mentari. Ia masih sibuk menggerak-gerakkan batang dan daunnya, mengusir gerah dan mencoba mendatangkan sejuk.

"Dia tidak tahu umurnya berapa, Mentari. Kalau kamu mau tahu." Sukun menjawab seraya tertawa. Matahari sekarang menatap heran Sukun.

"Bagaimana dia mau tahu umurnya? Tidak ada penghuni tanah lapang ini yang mau memberitahukan berapa usia pohon kayu muda itu, termasuk aku." Sukun menjawab dengan nada puas.

Sengon Muda mendengus marah. Ia semakin kencang menggerak-gerakkan batang dan daun-daunnya.

"Tiga tahun. Ia berumur tiga tahun." Suara kecil itu hampir tidak terdengar. Tetapi Mentari mendengarnya.

Ia mendengar suara halus itu sembari menatap penuh minat pada deretan semut di tanah dekat kaki si kayu muda. Ada lambang angka tiga yang dibentuk oleh para semut merah.

"Tiga tahun? Usia yang masih muda memang. Aku akan sabar menunggumu Sengon kecil. Sampai waktunya kamu sehebat dia Sang Penjaga, sahabatku, sahabat para penghuni tanah lapang ini."

Begitu Matahari menyelesaikan kalimat itu, awan berarak menutupi. Jajaran awan mulai menaungi tanah lapang, menggantikan sinar panas sang penerang bumi.

"Sengon kecil dia bilang! Enak saja. Itu karenamu Semut Merah!" Sengon Muda membentak para semut yang segera membubarkan diri, bergegas masuk ke sarang mereka, tepat di bagian bawah pohon kayu muda itu.

"Siapa yang disebut hebat oleh Matahari? Sahabat penghuni tanah lapang ini? Sang Penjaga, siapa dia?" Sengon Muda penasaran.

TQS Al Maidah (5): 10

Desain gambar oleh Canva

Kisah Pohon Kayu (KPK)Where stories live. Discover now