NAGI

86 13 6
                                    

Pagi tadi, Nagi kembali mengunggah tulisan bahwa dirinya akan merayakan ulang tahun. Bukan untuknya, apalagi kepada sang adik yang kabarnya tengah ditangkap polisi. Melainkan teruntuk orang tuanya yang telah meninggal dunia setahun silam.

Hal pertama yang kamu pikirkan adalah Nagi gila.

Kamu yakin bahwa mustahil ayah dan ibu gadis itu memiliki tanggal lahir yang sama, jadi bisa disimpulkan bahwa Nagi pasti merayakan hari kematian keduanya.

...Kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah titik mula. Ia tersebut sebagai kausa penanda terputarnya siklus takdir. Tentang kelahiran, inkarnasi, atau penghidupan kembali. Ibaratlah roda samsara yang mengoyak ketiadaan makna sebagai bentuk penghakiman sekaligus penebusan atas semaian dosa anak-anak sang Adam.

Begitupun tafsir atas nasib ayah beserta ibu. Mereka telah lahir saat pembunuhan itu.

Mereka lahir ke dunia lain. Lahir ke dimensi yang lebih tinggi. Lahir untuk menjelmakan rupa sebagai entitas yang berbeda dan melepaskan segala bentuk kefanaan. Kemudian terjebak dalam kekekalan.

Sebagai yang hidup, diri ini hanya dapat menyemarakkan cita pada mereka. Selamat ulang tahun. Selamat terlahir kembali. Selamat untuk tidak lagi hidup. Selamat mati.

Selamat untuk tidak lagi menjadi 'manusia'.

Pada akhir kata, aku menantikan hari dimana seseorang akan mengatakan hal serupa setelah kepergianku. Atau paling tidak, kami bisa saling mengucapkannya satu sama lain sebelum menjemput ajal bersama.

Mulanya tercenung, kemudian sebisik gelak terburai dari bibir itu kala matamu menelusuri komentar pada kaki utas cuitan tersebut. Segelintir penjelajah maya masih terang-terangan mencibir gadis itu sebagai jalang yang memunguti atensi dari bualan rekaannya. Namun, puluhan baris balasan lainnya terdominasi oleh ungkapan haru, rangkaian puji hingga sematan validasi bernada simpati.

Semua orang terbuai akan ketidakwarasan Nagi. Termasuk dirimu.

Tersebutlah kebulatan suara publik akan metafora bahwa sang gadis tiada beda dengan seorang pelelap. Musababnya berhulu pada pada cara Nagi merajutkan diksi-diksi muram atas katarsis diri serupa lantunan lagu tidur yang menghanyutkan para penikmat tuturannya dalam kehampaan rasa. Terterka fiksi, tapi bagaikan nyata. Terasa penyap, ternyata tumpat akan tumpahan emosi. Tercecap pahit, sekaligus juga manis dalam getir.

Mungkin benar, tidak ada yang tahu dimana dia berada, seperti apa wajahnya atau berapa usianya. Namun, itu semua tidak penting. Orang-orang pun enggan peduli lagi untuk mempertanyakan hadirnya benar nyata atau buah kreatifitas belaka. Dalam cara pandangmu dan mereka, Nagi adalah personifikasi dari suara-suara senyap yang selama ini ingin digaungkan.

Bagimu, gadis yang mengaku berusia 25 tahun itu tidaklah sekedar menjual identitas diri demi memikatkan belas kasihan atas tragedi yang pernah menimpanya. Lebih dari itu, sang gadis selayaknya memanggil kepada mereka yang takut dan bersembunyi, berseru pada jiwa-jiwa rapuh yang dibedakan sekaligus diasingkan, lantas berbagi falsafah bahwa nilai kehidupan ialah berbanding lurus pada ketiadaan.

Selaksa nihilitas fana. Tanpa arti. Tidak berharga. Kosong. Hampa.

Untuk apa bersusah-susah hidup bila pada akhirnya mendapati kepastian untuk bersambang maut? tidakkan itu artinya hidup hanyalah sebatas penderitaan sekaligus kutukan? Baginya, kehidupan hanyalah sebatas pertunjukan palsu dimana tak kesemua yang hidup benar-benar ingin menghidupi hidup.

Sebagian besar dari mereka sudah mati sejak dilahirkan.

Oleh karenanya, Nagi bersikeras menyebut dirinya tidak lagi memilik alasan untuk terus berada. Keberadaannya hanyalah anomali, selayaknya stagnasi yang menanti saat yang tepat untuk diakhiri. Dia ingin mati, tapi tidak sekedar mati. Gadis itu ingin mendapati arti lebih dari sebuah kematian selain melepas nyawa dari raga.

UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang