15 - Tidak Mungkin

Start from the beginning
                                    

"Kamu kenapa, Sayang? Sedih, ya, ditinggal ayah? Emang kayak gini jadi keluarga pilot. Kamu harus bisa terima dalam seminggu jarang ketemu ayah, ditinggal berhari-hari karena harus terbang ke beberapa kota atau negara. Tapi, begitu pulang, ayah bawa uang yang banyak. Kamu bisa minta apa aja. Nanti kalau kamu udah bisa ngomong, minta Lamborghini ke ayah, ya. Dari dulu mama pengen punya, tapi nggak dikasih. Kalau kamu pasti langsung dituruti."

Xania menjawab ocehan mamanya dengan tangisan. Melisa mencoba memberikan susu, tapi ditolak. Hal ini lantas membuat Melisa bingung. Apa Xania merasakan sesuatu yang lain?

Melisa memilih turun dari kamar, meminta bantuan Ambar yang sudah berpengalaman mengurus anak. Siapa tahu Xania akan berhenti menangis setelah diajak keluar. Benar saja, begitu Melisa berjalan, tangis Xania berangsur pelan. Biasanya Candra yang melakukan ini karena bisa leluasa bergerak.

"Ya ampun, kamu mau jalan-jalan, ya? Bosen di dalam kamar? Maafin mama, ya. Mama belum bisa lincah kayak masih gadis."

Melisa mencium pipi Xania. Mengusap pelan bekas air mata di sudut mata anak itu, lalu tersenyum ketika tangisnya berhenti.

Tiga jam setelah pergi, Melisa mendapatkan kabar jika pesawat yang harusnya diterbangkan Candra delay karena ada beberapa komponen yang harus diperbaiki

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tiga jam setelah pergi, Melisa mendapatkan kabar jika pesawat yang harusnya diterbangkan Candra delay karena ada beberapa komponen yang harus diperbaiki. Memang bukan kali pertama, tetapi rasanya sama, deg-degan. Munafik kalau Melisa tidak khawatir kalau suaminya benar-benar akan menerbangkan pesawat yang rusak.

Candra sudah menjadi bapak-bapak yang sesungguhnya. Ketika di telepon pun, anaknya yang pertama kali ditanyakan. Dulu sebelum ada Xania, Candra paling rajin menanyakan kegiatan Melisa. Sepertinya mulai hari ini, Melisa akan bersaing dengan anak sendiri. Merebut perhatian Candra.

"Sayang, pulang nanti, enaknya Xania dibawain apa? Kalau aku beliin baju, dia suka nggak, ya?"

"Mana aku tahu, Mas. Xania, kan, baru sepuluh hari. Cuma ngerti susu. Mau dibeliin berlian juga pasti diem aja. Lagian, mau dibeliin baju nggak akan mungkin dipakai sekarang."

"Ya, nggak apa-apa dipakai Kapan-kapan. Tadi aku lihat-lihat ada gaun pesta warna pink, kayaknya cocok dipakai Xania."

"Udah punya banyak, Mas. Baju yang lain."

"Kalau gitu jangan baju, deh. Sepatu aja. Aku pengen kembaran sepatu sama Xania."

"Sama aku nggak?"

"Sama kamu, kan, udah pernah."

Melisa memajukan bibirnya.

"Baru berapa jam, tapi aku udah kangen sama Xania. Dia nggak rewel, kan, Sayang?"

"Kalau tadi, sih, iya. Sekarang lagi tidur."

"Kalau Xania lagi tidur, kamu istirahat, ya. Aku tutup teleponnya sekarang. Nanti kalau udah sampai, aku telepon lagi."

Kalimat itu menjadi penutup telepon hari ini. Melisa meletakkan ponsel di nakas sekaligus mengecek Xania di baby crib-nya. Anak itu masih terpejam. Melisa merasa menang. Ia mungkin bisa tidur setengah jam.

Melisa terbangun ketika mendengar Xania menangis. Ia segera mengangkat tubuh anaknya dan mulai menyusui. Dirasa sudah cukup, Melisa meletakkan kembali di baby crib. Giliran dirinya yang mengisi tenaga.

Melisa beranjak ke dapur, berniat ingin mengambil air minum. Namun, telinganya menangkap suara televisi dari kamar Ambar yang pintunya terbuka. Melisa memang mengizinkan Ambar dan yang lainnya memakai fasilitas hiburan seperti TV dan wifi. Asalkan mereka melakukan itu setelah pekerjaan selesai.

Terdengar seorang pewara membacakan berita sebuah kecelakaan pesawat. Mendadak seluruh isi dada Melisa seakan-akan diremas ketika mendengar nama maskapai serta nomor penerbangannya.

"Pesawat Merpati Air dengan nomor penerbangan MA-182, rute penerbangan Yogyakarta-Palembang hilang kontak pada pukul lima belas lebih tiga puluh menit Waktu Indonesia Barat setelah lima menit lepas landas. Hingga saat ini, pihak maskapai serta Basarnas masih berupaya mencari lokasi jatuhnya pesawat."

Ini pasti aku lagi mimpi, nggak mungkin Mas Candra, batin Melisa. Dia berusaha menampik berita itu walau kenyataannya Candra memang ada di pesawat itu.

"Jangan-jangan, aku salah baca nomor penerbangan." Melisa mengeluarkan ponsel dan menyalakannya. Chat terakhir suaminya menampilkan nomor penerbangan yang sama dengan berita tadi.

Masih tidak percaya, Melisa mengetik nomor tersebut di kolom pencarian flight radar. Di sana terlihat jelas pesawat hilang kontak di menit kelima, persis seperti yang dikatakan pembawa berita.

Seketika tangan Melisa bergetar hingga ponselnya jatuh ke lantai. Mengundang atensi Ambar. Perempuan itu terkejut dengan keberadaan Melisa.

"Mbak, Mbak!" Ambar sampai menaikkan volume suaranya karena tidak ada respons dari Melisa. "Mbak kenapa?"

"Pembawa berita tadi pasti salah baca, kan, Mbak ...." Suara Melisa tercekat. Badannya yang limbung dengan sigap ditahan oleh Ambar.

"Saya nggak tahu, Mbak. Dari tadi di channel mana pun beritanya itu terus. Emang kenapa, to, Mbak?"

"Mas Candra ... ada di sana, Mbak ...."

Ambar terbelalak. "Ya Allah, Mbak. Jangan bercanda!"

"Kalau bisa, aku mau ini cuma bercanda, Mbak."

Tidak ada yang bisa Ambar lakukan selain memeluk erat tubuh Melisa. Tangis perempuan itu terdengar hebat. Melisa masih menyangkal kalau pilot yang menerbangkan pesawat itu bukan suaminya.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ovt nggak?

Apakah Mas Candra beneran ada di pesawat itu?

Hi, Little Captain! [END]Where stories live. Discover now