Mbak Sati

4 0 0
                                    

Pagi itu Sulastri tidak segera berangkat bekerja. Ia termenung di kamarnya. Pembicaraan dengan ibunya pagi ini mengganggu pikirannya. Ibunya bilang, Mbak Sati, tetangga mereka, terciduk petugas satpol PP di daerah lokalisasi. Bahkan katanya ini adalah kali kedua Mbak Sati terciduk. Sebagai tetangga, Sulastri mengenal Mbak Sati dan keluarganya. Sudah sejak lama Mbak Sati menjanda dan hanya tinggal dengan anak perempuannya yang sakit-sakitan dan ibunya yang sudah tua. Beberapa kali dalam sebulan, Sulastri menyokong keluarga Mbak Sati dengan beberapa liter beras. Sokongan itu tentu tidak mencukupi kebutuhan Mbak Sati, karena ibunya tidak bekerja dan anaknya sakit sakitan.

Ibunya bilang, semakin hari Mbak Sati makin tidak peduli dengan gunjingan dan tudingan orang-orang tentang pekerjaannya. Kepada seseorang yang pernah memperingatkannya, Mbak Sati malah balik bertanya, "Apakah orang yang melarangku mengerjakan pekerjaanku mau bertanggung jawab atas kebutuhan sandang pangan kami?"

Sulastri merasa ada kekuatan dalam kata-kata Mbak Sati. Kehidupan Mbak Sati memang sudah sulit sejak dulu. Seingatnya, Mbak Sati menikah di usia muda dan karenanya harus putus sekolah yang menyebabkan ia menjadi tidak punya cukup keterampilan dan pendidikan untuk mendapat pekerjaan di kota. Sedangkan suami Mbak Sati tiba-tiba hilang kabar dan tak pernah kembali ke kampung itu lagi, meninggalkan ia dan putri mereka yang sakit-sakitan.

Keluarga Mbak Sati memang serba kurang dan para tetangga, selain menggunjing dan membicarakannya di belakang, boleh dibilang tidak ada yang ambil peduli.

Dari sisi kebutuhan perut yang memang tidak bisa ditunda, pekerjaan Mbak Sati di lokalisasi relatif bisa dimengerti. Namun pembenaran dari sisi kebutuhan perut itu ternyata mengundang konflik nilai.

Bisakah dengan alasan lapar seseorang dibolehkan melacurkan diri?

Jawabannya bisa iya atau tidak. Iya, bila dalam kasus Mbak Sati, ia dan keluarganya akan mati kelaparan jika tidak melacurkan diri. Barangkali dalam hal ini Mbak Sati boleh menghibahkan dosanya kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak peduli pada penderitaanya. Tidak, apabila kelaparan Mbak Sati bersifat relatif. Artinya, ia sebenarnya bisa mencari makan dengan cara yang lebih terhormat, namun enggan melakukannya.

Sulastri termenung-menung memikirkan pertanyaan dalam benaknya sendiri; bolehkan Mbak Sati melacurkan diri dengan alasan lapar? Bila jawabannya satu titik di antara Ya dan Tidak, lebih cenderung ke manakah jawaban itu?

Setelah mengingat-ingat kembali semua faktor obyektif yang mengelilingi Mbak Sati, Sulastri tertegun. Tiba-tiba ia menyadari satu kemungkinan tak terduga; keterpaksaan Mbak Sati mungkin punya kadar rasionalnya juga. Lebih jelasnya, Mbak Sati melacurkan diri, setidaknya secara lahir, disebabkan karena orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui kebutuhan hidup utamanya. Bila demikian, Sulastri pun merasa ikut menanggung dosa kolektif itu.

Memang benar, beberapa kali dalam sebulan Sulastri telah membantu keluarga Mbak Sati dengan beberapa liter beras. Namun, ia sepenuhnya menyadari bahwa penyokongan semacam itu tidak bisa mengangkat Mbak Sati dari kesulitan hidupnya.

Sulastri semakin merasa resah setelah menyadari bahwa mungkin ada lebih banyak persoalan mirip kasus Mbak Sati di tengah masyarakat. Berapa banyak orang di luar sana yang melakukan tidak kriminal; mencuri atau mencopet karena tuntutan perut?

Menghukumi Mbak Sati dengan mengatakan ia telah berbuat dosa, sangat mudah. Namun tindakan nyata untuk menolong orang yang berada dalam kesulitan dan penderitaan, jarang sekali dilakukan. Sulastri menghela nafas, ia harus pergi bekerja. Rasanya ada awan gelap berkumpul di atas kepalanya, pikirannya jadi suram.

flash fictionNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ