9. HANYA SEBUAH HALUSINASI

Start from the beginning
                                    

“Samudra memang di temukan setelah Dermaga bermimpi seperti itu. Tapi, tidak tahu informasi jelasnya bagaimana. Kata mas Gibran pun, tubuh Samudra sudah tidak berbentuk. Mama tidak tau seperti apa, Mama tidak melihatnya, Mama tidak sanggup.”

Mentari membenamkan wajahnya, di lipatan tangan atas meja. Punggungnya bergetar, isak tangisnya mulai terdengar. Tidak mudah menjadi ibu yang mengalami kehilangan anaknya. Di tambah dengan salah satunya yang memiliki gangguan jiwa.

“Mama, udah, ya, jangan nangis. Legenda nggak suka liat Mama nangis,” ucap Legenda begitu lembut, seraya mengusap-usap punggung Mentari.

Mendengar kata Mama yang keluar dari Mulut Legenda, membuat tangisan Mentari semakin menjadi-jadi. Mentari kembali memeluk erat Legenda. Begitupun Legenda yang menerimanya dengan senang hati.

𝓛𝓮𝓰𝓮𝓷𝓭𝓪

Legenda membuka pintu putih kamar Dermaga. Yang dia lihat pertamakali, bukan lagi Dermaga yang sedang bicara sendiri, melainkan Dermaga yang sedang berdiri melihat keluar jendela. Legenda membawa susu coklat yang di buatkan Mentari tadi, meskipun sudah sedikit dingin karena terlalu lama mengobrol.

Tadi, Gibran datang menghampiri. Lalu menyuruh Legenda untuk kembali ke kamar, dan memberikan susu coklat itu kepada Dermaga.

“Mag.” Legenda menepuk sebelah bahu Dermaga. Sampai-sampai membuat Dermaga terperanjat kaget. “Ini, susu buat lo, dari Mama Tari.”

Dermaga menerimanya, meneguk susu itu hingga tandas dalam sekali tegukan. Benar-benar seperti orang yang kehausan. Mungkin, setelah berbincang lama sendiri, membuat Dermaga capek dan dehidrasi seperti ini.

“Di luar gelap. Liat apaan?” tanya Legenda. Meskipun dirinya masih takut kepada Dermaga karena belum terbiasa. Tapi, Legenda juga tidak mau kehilangan teman barunya ini. Legenda akan menerimanya perlahan, nanti juga akan terbiasa.

“Mastiin pacar gue, udah nyampe rumah apa belum.”

Legenda mengangguk mengerti. Setelah mengetahui semua ini. Legenda akan mengikuti cara main Dermaga, dia akan berpura-pura seolah itu kenyataan. Sesuai dengan permintaan Mentari dan Gibran. Legenda akan belajar banyak menghadapi Dermaga.

“Gue mau tau dong, tentang pacar lo,” pinta Legenda, yang masih terselip rasa penasaran

Dermaga sangat antusias menyetujui. Mengajak Legenda untuk duduk di ranjang, menyenderkan punggungnya ke kepala ranjang. Lalu mulai bercerita dengan wajah yang merah berseri-seri. Legenda adalah orang ke tiga yang ingin mengetahui tentang pacar Dermaga setelah Mentari dan Gibran.

“Namanya, Senja Aurora,” kata Dermaga pertama kali. “Lo dengerin gue cerita aja, ya? Jangan banyak omong,” titah Dermaga yang di setujui oleh Legenda.

“Gue udah sama-sama bareng dia dari kelas tujuh. Dua Minggu sebelum kecelakaan pesawat, pacar gue sempat ninggalin gue. Orang-orang jahat itu bilang, katanya Senja sudah mati.”

Raut wajah Dermaga yang tadinya tersenyum, kini terlihat murung.

“Gue nemuin Senja di kamarnya, lehernya di ikat ke atas plafon rumahnya, kakinya melayang, matanya terpejam. Kulit Senja sangat putih. Saat gue pegang tangannya, rasanya dingin.”

Alis Legenda menaut, dia tidak bisa membedakan apakah Dermaga ini sedang berhalusinasi atau tidak.

“Gue nggak sedang berhalusinasi. Saat kejadian itu, jiwa gue masih sehat.”

Legenda membelalakan matanya, sedikit kaget karena merasa Dermaga tau dengan isi pikirannya. Apakah Dermaga merasa kalau jiwanya sudah kacau?

“Makanya kemarin, saat lo mencoba melakukan aksi bunuh diri, gue panik. Gue bener-bener panik. Cara lo, sangat percis dengan Senja yang menghabiskan nyawanya sendiri.” Dermaga melirik ke arah Legenda yang berada di samping kanannya. “Gue benar-benar diselimuti rasa emosi saat tau kalau lo akan gantung diri. Darah gue terasa berdesir hebat. Emosi gue sampai di ujung tanduk. Karena lo, sama sekali nggak respon pertanyaan gue.”

“Gue benci sama lo, sialan!” kelakar Dermaga. Tapi, Legenda masih memilih bungkam.

Raut wajah Dermaga kembali berseri-seri. “Tapi, dia kembali. Senja kembali lagi sama gue. Dia selalu datang ke sini setiap malam, dia semakin cantik. Lo liat sendiri, kan?”

Legenda hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Tidak ingin menyinggung perasaan Dermaga. Biar lah Dermaga seperti itu, Legenda akan mencoba untuk menerimanya. Toh, Legenda juga tidak tau cara mengatasi penyakitnya seperti apa.

“Mama sama Papa pernah bilang kalau gue halusinasi. Padahal nggak, Senja benar-benar selalu ada di samping gue. Senjanya Dermaga nggak pernah pergi. Mungkin, kejadian Senja yang mengakhiri hidupnya hari itu hanya sebuah mimpi saat gue tidur.”

“Gue nggak halusinasi kan, Gen?” Dermaga bertanya kepada Legenda.

“Iya, tapi, lo harus bisa lawan itu semua, ya? Kasian orang tua lo.”

“Apa?!” tanya Dermaga ketus. “Lo juga mau bilang kalau gue ini halu? Nggak!”

Legenda mengangguk pasrah. Membiarkan Dermaga seperti itu, biarkan Mentari dan Gibran yang menentang keras Dermaga dalam hal ini. Legenda akan menjadi satu-satunya orang yang paham dengan Dermaga. Meskipun harus penuh dengan kepura-puraan.

****

—Dia hanya angan, yang gak mungkin bisa lo gapai!!😏


RAMEIN DONG KOMENNYA🥺

*****

Punya teman, sedikit menghilangkan beban❌
Punya teman, nambah beban✔️

LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓Where stories live. Discover now