Bengkel23: Ibuk Curiga

5.4K 169 16
                                    

Saat Subuh masih buta, adzan belum berkumandang, Yanto sudah handukan keluar dari kamar mandi. Badannya yang basah gemetaran kedinginan. Sengaja badannya ditutupi baju karena ada banyak bekas merah hasil cupangan Bapak. Yanto tidak mau Ibuk melihatnya, nanti dia bisa curiga dan akan banyak tanya.

"Nto, Ibuk titip api, jangan sampai padam ya, lagi masak air. Nanti kalau udah matang, kamu tuang ke termos. Ibuk mau ke jalan dulu beli lauk," ucap Ibuk yang kepalanya nongol di gorden pintu kamar.

"Iya, Buk." Yanto baru saja selesai melipat sajadah.

Ibuk berlalu dari kamar dan disusul terdengar suara pintu samping ditutup. Ibuk tampaknya sudah pergi.

Yanto melepas sarung dan melipatnya. Lalu ia tumpuk di lemari. Sesudahnya ia langsung menuju dapur dan duduk di dingklik kecil di depan perapian tungku. Hawa panas mengusir rasa dingin di kulit. Pancaran cahaya kuning api menimpa tubuhnya. Suara getas api membakar kayu terdengar sesekali, kadang menimbulkan pentalan baranya.

Krtek! Kretk! Takh!

Yanto menjulurkan telapak tangan menghadap tungku. Rasa hangat menjalar pelan-pelan mengalahkan hawa dingin di tubuhnya. Tak lama dipanaskan, telapak tangan tadi digosok-gosokkan. Makin hangat saja jadinya. Setelah panasnya merata ia tangkupkan telapak tangannya di kedua pipi.

"Ibuk kamu sudah ke jalan, Nto?" Tanya suara Bapak.

Yanto menoleh dan mengangguk. Bapak masih sarungan, atasnya berbalut kaos.

"Barusan keluar, Pak."

Bapak meraih dingklik lain dan ikut menghangatkan diri di depan tungku. Bapak juga menghangatkan telapak tangannya, ia gosok-gosokkan, lalu ditangkupkan ke pipi.

"Nto, hatur nuhun ya, tadi malam Bapak puas pisan. Semalam kamu hebat. Bisa bikin Bapak muncrat sampai dua kali," ucap Bapak tulus.

Rambut Bapak masih basah, beliau juga mandi besar dulu sebelum subuhan tadi.

"Iya, Pak. Yanto seneng kalau bisa buat Bapak puas," jawab Yanto tersipu.

Kemudian Bapak meraih tangan Yanto. Ia remas dengan lembut, lalu dikecupnya.

Cup!

Dada Yanto seketika meledak bahagia, senyumnya makin lebar dan kalau diperhatikan seksama, pipinya bersemu merah. Yanto tidak terbiasa diperlakukan seromantis itu. Dan perlakuan Bapak barusan jadi bukti kalau rasa sayang Bapak ke Yanto bukan lagi seperti sayang Bapak ke anak, tapi seperti sayangnya kepada kekasih.

Yanto kembali teringat dengan kejadian semalam. Ia digagahi dengan lembut, kuat, dan ia melakukan dengan sukarela karena luapan sayang yang membuncah.

***

Yang terjadi semalam...

"Enak, Nto, disodok jari begini?" Tanya Bapak. Dahinya sudah licin berkeringat. Ketiga jari Bapak bergerak lancar keluar-masuk di anus Yanto.

"Akkkhh, Pakhhh, ahhhh, enakhhh, uhhhh, ampun, ahhhh, lemes, Pakhhh, ahhh, ahhhh...," racau Yanto lirih tapi tegas.

Badannya melengkung ke depan, ia mengintip bagaimana jari Bapak mengerjai anusnya. Tidak kelihatan jelas tapi Yanto yakin lubang anusnya membesar. Sudah 15 menitan Bapak merojok anusnya pakai jari dan ritmenya terus dipercepat. Tidak ada jeda, sampai Yanto seperti kehabisan nafas. Keringatnya sudah mengucur, nafasnya kini terengah-engah.

"Akhhhh, Pakhhhh, sudahhhhh, ahhhhh, ahhhh...."

Yanto terkapar sambil meracau. Selangkangannya dibuka lebar dengan kaki terangkat. Jari Bapak membuat Yanto lemes. Bapak puas mengerjai anaknya, lalu ia pun mencabut ketiga jarinya.

MONTIR KETAR-KETIRWhere stories live. Discover now