Bengkel17: Bersama Wak Tardi

5.4K 161 13
                                    

Tiga hari setelah janjian ketemu namun batal, akhirnya Yanto bisa berkesempatan menemui Wak Tardi di ladangnya. Gara-garanya sewaktu berangkat ke ladang, keluarga Yanto  berpapasan dengan Wak Tardi. Beramah tamah sebentar lalu kemudian membahas soal Bapak Ibuk yang mau menggali talas. Dan saat Wak Tardi ditawari talas itu oleh Bapak, ia tidak menolak. Akhirnya sewaktu sudah jamnya pulang, Yanto diminta Bapak ke ladangnya Wak Tardi untuk mengantarkan setengah karung talas mentah.

"Pak, nanti Yanto sekalian mandi di sini aja ya. Biar pas pulang rumah badan Yanto sudah segeran."

"Iya, Nto, sok aja."

"Jangan sampe kemalaman baliknya, Nto," sahut Ibuk.

"Baik, Buk."

Bapak Ibuk berjalan pulang menyusuri jalan kecil, sedangkan Yanto mesti menyusuri jalan kecil lainnya yang mengarah ke ladang Wak Tardi.

"Wak Tardi," sapa Yanto ketika tiba di gubuknya.

"Eh, kamu, Nto." Wak Tardi agak kaget. "Ada apa?"

Wak Tardi sedang menghaluskan batang kayu yang kelihatannya akan dijadikan gagang, entah gagang apa, dengan goloknya. Saking seriusnya Wak Tardi sampai tidak sadar dengan kedatangan Yanto. Ada rokok nyala tergeletak di dekat Wak Tardi sedang bekerja.

"Ini, Wak, Yanto bawain talas mentah titipan dari Bapak. Lumayan,Wak, buat direbus di rumah," ucap Yanto.

"Aih, ari Bapak kamu beneran nawarin talas tuh? Hahaha, alhamdulillah pisan atuh. Hatur nuhun, Nto. Bilangin ke Bapak Ibuk kamu juga, terima kasih banyak."

"Sami-sami, Wak. Nanti Yanto sampaikan ke Bapak Ibuk."

Yanto duduk di seberang Wak Tardi pada batu gede yang sengaja dibawa ke gubuk untuk tempat duduk kalau lagi mengerjakan sesuatu. Selagi matanya memperhatikan gerakan Wak Tardi, Yanto menimbang harus memulainya bagaimana. Tapi akhirnya ia memaksakan diri.

"Wak, Yanto juga mau minta maaf soal janjian ketemuan waktu itu. Bapak keukeuh yang mau menemui Uwak, katanya mau ada yang mau dibahas juga. Jadi wae Yanto pulang duluan,"ucap Yanto pelan-pelan penuh penyesalan.

Tangan Wak Tardi berhenti dan mengangkat wajah ke arah Yanto. Ia tersenyum padanya. "Iya, Nto. Uwak paham. Jadi santai aja atuh."

"E-e, terus Uwak maunya kapan?"

"Kapan apanya, Nto?" Wak Tardi malah menggoda.

"Mm, ya katanya Uwak mau... ngewe Yanto." Pipi Yanto terasa hangat, malu.

"Yanto mau sekarang?"

"Kapan lagi atuh, Wa? Kalau nanti-nanti mah tambah lama, bisa-bisa nggak jadi."

"Hahaha, kamu bisa aja. Kamu udah penasaran pisan ya di ewe Uwak?"

"Iya, Wak. Mau rasain yang lembutnya."

"Ya sudah, hayuk lah!"

Wak Tardi nyengir. Ia tidak menyangka malah dirinya yang dikejar-kejar. Wak Tardi meletakkan batang kayu dan goloknya di tempat. Ia memadamkan bara pada ujung rokok dengan menindasnya ke tanah.

Wak Tardi bangkit. Ia membereskan bale gubuk yang dialasi tikar. Ia kebas-kebas dengan kemeja panjang agar kotoran di situ menyingkir. Ada karung putih berisi kapuk yang bentuknya seperti bantal.

"Uwak sering tidur di sini?"

Wak Tardi melihat ke bantal karung. Itu yang dimaksud Yanto. "Kalau memang sudah selesai kerjaannya, Uwak suka tiduran di sini. Enak soalnya, sejuk dan sepi."

Yanto yang sudah ikut berdiri ditarik Wak Tardi ke bale. Didudukkan di tepinya hingga berhadapan. Mata mereka saling pandang, lalu perlahan wajah Wak Tardi maju hingga Bibir mereka menempel.

MONTIR KETAR-KETIRDonde viven las historias. Descúbrelo ahora