Kembali ke Rumah

23 3 0
                                    

"Udah kumpul semua kan?" Jayden bertanya sambil melihat sekitarnya. Sadewa dan Niki, kedua manajer mereka pun hadir dalam latihan kali ini.

"Jay belum." Itu suara Jake, Jake Owen namanya. Kawan sekampung Jay sekaligus drummer Saturday Night. "Dia mah kayak biasa."

Ethan tertawa, "Jake, lu ngomongnya kayak lagi mesen nasi uduk Bu Nina deh." Sedetik kemudian seluruh orang di ruangan itu tertawa, Ethan berhasil mencairkan suasana seperti biasanya.

Sebagai yang tertua sudah tugasnya untuk membantu Jayden dalam memimpin. Meski tak benar-benar menjadi pemimpin, Ethan tetap menjadi bayangan Jayden dan menghormati teman yang tiga tahun lebih muda darinya itu. Walau terkadang orang-orang lebih mengingat Ethan sebagai pemimpin karena Jayden lebih sering tidak mau terlihat sebagai pemimpin.

"Sorry, sorry gue telat. Belum mulai kan?" Laki-laki asal Seattle itu datang menggunakan celana pendek selutut berwarna hitam dan kaos putih bertuliskan "Pass" —oh jangan lupakan juga kaca matanya yang bertengger manis di hidung mancung laki-laki bernama Jay itu.

Kadang-kadang Ethan suka merasa kalau Jay itu tidak satu tahun lebih muda darinya tapi malah lima tahun lebih muda darinya. Tapi di kesempatan lain Jay akan menunjukkan betapa dia pantas dipanggil Abang oleh adik-adiknya.

"Belom, Bang," ujar Jayden sambil tersenyum. Meski namanya mirip, Jay dan Jayden tidak memiliki hubungan darah apapun. Hanya sebuah kebetulan.

Omong-omong kebetulan, Ethan menyadari sebuah kebetulan terbesar dalam hidupnya. Yaitu berkumpulnya tujuh orang ini dan sebenarnya memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Kelas dua belas kala itu menjadi dua semester paling menyenangkan karena dapat bertemu dengan enam yang lainnya.

Dalam satu tahun itu mereka belajar, bermain, dan nge-band bersama. Meski beberapa kali terjadi pertengkaran hebat, Saturday Night Team yang kala itu bernama 'Fantasy Band Team' tetap berjalan dan manggung dengan baik.

Namun ketika lulus, ada sekitar nyaris dua tahun mereka tidak bertemu. Sampai akhirnya mereka bertekad untuk membentuk Saturday Night Team dan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Saat ini mereka bertujuh memiliki sekitar tiga puluh pekerja dalam perusahaan rintisannya.

Tidak ada yang menyangka band yang berawal dari bercandaan ringan ketujuhnya menjadi lebih besar seperti sekarang. Memang tidak ada niatan untuk debut tapi mereka berniat untuk melebarkan sayap band ini lebih lagi. Melalui banyak media sosial, Saturday Night dikenal banyak orang di Indonesia.

"Gue duluan ya," pamit Ethan sambil mengambil dompet dan minumnya dari sofa.

"Lusa latihan lagi, Bang. Jangan lupa." Itu suara Jayden. Tanpa melihat kebelakang dan mulutnya yang penuh air minum, Ethan mengangkat jempolnya sampai enam yang lain tertawa karena menganggap itu lucu. Bagi mereka, Ethan seolah sedang bertindak sok keren.

Ethan menjalankan mobilnya menuju rumah kedua orang tuanya. Sejak seminggu yang lalu kedua orang tuanya dan sang kakak sudah berulang kali meneleponnya untuk menyuruh Ethan pulang. Karena itulah dia hari ini kembali ke Bandung, rumah orang tuanya.

Satu hal yang Ethan syukuri sepanjang hidupnya adalah keharmonisan keluarganya. Meski beberapa kali bertengkar, kedua orang tuanya tetap kompak dan sangat baik dalam membesarkan anak sehingga baik Ethan maupun Elang —Kakaknya— tumbuh dengan baik.

"Pulang-pulang udah ngerokok aja, Than. Mama lagi masakin kamu mie tuh, mie kesukaan kamu." Elang duduk di kursi samping Ethan. Menatap halaman kosong yang sepi. Kehidupan kota dan jauh dari rumah membuat Ethan merasa kampung halamannya ini menjadi sangat nyaman.

Salah satu alasan Ethan sangat tertutup adalah karena ini, karena takut kehidupan tenangnya yang seperti ini akan terganggu.

"A' hidup di kota kok gak kayak disini ya? Disini mah santai gitu perasaannya, kalau di kota perasaan Ethan suka gak karuan. Pikirannya kerjaaaa terus."

Elang tertawa kecil, meminum kopi panasnya sedikit lalu berkata, "Ya karena kamu ke kota untuk kerja, dari awal pikiran kamu kalo di kota ya kerja. Makanya kebawa terus. Kesini aja atuh, Dek, kalau sumpek mah. Papa sama Mama juga gak keberatan, mancing tuh di Empang Pak Suryo sama Papa sama 'Aa."

"Iya deh, kalau udah kaya Ethan pulang. Kalau miskin lagi balik lagi ke kota." Keduanya tertawa karena guyonan kecil Ethan.

"Ethan, si Papa minta kamu temenin mancing di sungai tuh." Maka disinilah Ethan sekarang, duduk di pinggir sungai sambil memperhatikan Papa dan pancingannya sekaligus.

Cita-cita Ethan masih sama, tinggal di tempat nyaman dan tenang seperti ini bersama keluarga kecilnya. Menikmati hari-harinya disaat sudah tidak lagi berada di dunia industri musik. Ketika dia hanya memainkan gitar untuk anak-anaknya, bernyanyi hanya untuk istrinya dan memainkan piano untuk putri tercintanya.

Memang masih lama, mengingat umurnya masih sangat muda. Ethan bahkan belum lulus dari kuliahnya. Berbicara tentang kuliah, Ethan mengambil kuliah online karena cukup sibuk untuk ke kampusnya.

"Pa, udah di sungainya. Nanti masuk angin, sini makan dulu."

Laki-laki berkisaran umur lima puluhan itu hanya menengok lalu tersenyum sepintas, lantas menjawab, "Duluan aja, Than."

"Kayak anak kecil main air terus si Papa." Omelan itu sengaja Ethan keraskan karena hanya sekedar candaan kecilnya. "Ethan makan duluan nih ya, kalo abis jangan salahin Ethan pokoknya."

Didengar-dengar lagi sepertinya Ethan mulai menyadari kalau aksen sundanya sudah nyaris sekali hilang. Menunjukkan betapa lamanya dia tidak menggunakan aksen tersebut dan betapa seringnya dia berbicara layaknya orang ibu kota.

"Pa, kalau habis kuliah Ethan nikah gimana?"

Seketika laki-laki bernama lengkap Hesa Javarna itu menatap anak laki-laki keduanya dengan lekat dari jauh. Terkejut dengan pertanyaan Ethan entah itu candaan atau bukan, "Kamu hamilin anak orang, Than?"

"Pa! Ngomongnya sembarang bener sih."

"Ya habisnya kamu nadanya serius bener, kan Papa jadi curiga." Hesa terkekeh kecil di tengah sungai, "Emang kenapa mau nikah cepet-cepet? Anak-anak jaman sekarang mah maunya nikah nanti, mau ngembangin karir dulu."

Ethan meneguk air minumnya dulu sebelum menjawab perkataan Hesa, "Karir Ethan udah bagus 'kan? Tahun depan Ethan juga bakal lulus terus debut jadi penyanyi solo di ibu kota. Ini mah tinggal nyari jodohnya aja, Pa."

Setelah membereskan alat pancing yang dibawanya ke tengah sungai, Hesa melangkah mendekati anaknya. Berbeda dengan sang kakak, Elang yang sangat mementingkan karir, anak bungsunya ini cenderung menjalani hidup yang lurus dan mudah saja. Dikatakan mudah karena memang keberuntungan dan kemampuan Ethan sangat mempermudah hidup laki-laki dua puluh satu tahun itu.

"Cari aja di ibu kota, banyak cewek cantik. Sesuaikan hati kamu aja Ethan." Hesa menepuk pundak sang anak lalu mengajak Ethan pulang ke rumah mereka.

Meski terdengar main-main, nyatanya Ethan benar-benar akan membuka dirinya pada perempuan. Membiarkan hatinya memilih. Tapi gadis ibu kota tak semudah itu ditaklukan, terlebih hatinya sulit memilih karena mereka terasa seperti main-main saja dengan wajah tampan dan uang Ethan.

Mungkin ini hanya perasaannya saja atau karena perempuannya bukan di antara mereka ini.





































To be continued

The Sunset Is Beautiful, Isn't It? Where stories live. Discover now