"Kamu gak perluh minta maaf sama Ayah. Yang minta maaf seharusnya Ayah, maaf karena gak ada disaat kamu butuh Ayah. Ayah tau seberat apa beban kamu hidup di sana. Hidup sendiri mengurus seorang anak sampai dia remaja bukanlah hal yang mudah na, seharusnya Ayah tidak membiarkanmu pergi."

Dengan lembut Yudha menghapus air mata Jaenar yang membanjiri pipi putranya yang dulu sangat berisi kini sudah sedikit tirus, pelipis putranya yang dulu terlihat mengeras kini sudah terdapat beberapa keriput disana, membuat Yudha tertawa kecil mengingat bahwa dirinya sudah setua itu ternyata.

"Ayah udah gua banget ya Na," ucap Yudha tertawa kecil saat mengingat umurnya.

"Diamana Jie?" Yudha baru menyadari bahwa cucunya itu tidak ada disini bersama putranya.

"Mungkin lagi istirahat di kamar"

Tok
Tok

Ketukan pintu membuyarkan lamunan sesaat keduanya. Jiendra berdiri dengan kaku di depan pintu kamar kakeknya, dia tidak tau harus bagaimana, takut menganggu interaksi antara Papanya dan kakeknya. Tadi saat ingin masuk kedalam kamar Papanya yang berada tepat di samping kamar kakeknya, Jiendra mendengar samar samar ucapan keduanya. Sampai saat kakeknya menanyakan dirinya kepada Papanya membuat Jiendra memberanikan diri mengetuk pintu yang sudah terbuka itu.

"Jiendra. Oh ya ampun cucu kakek sudah besar" Yuda terlihat antusias melihat Jiendra yang sudah sangat tinggi dari beberapa tahun sebelumnya. Padahal dirinya baru 3 tahun lalu mengunjungi Jaenar dan Jiendra namun mengapa cucunya ini cepat sekali bertumbuh kembang. Mungkin sekarang tingginya sudah hampir imbang dengan dirinya.

"Kau tinggi sekali, bahkan lebih tinggi dari Papamu"

Jiendra hanya tersenyum sembari menunduk mendengar ucapan kakeknya barusan.

"Apa Jie tidak keberatan untuk sekolah disini?"

"Tidak sama sekali. Aku akan senang jika tinggal bersama kakek"

"Kemarilah, peluk kakek"

Jaenar berdiri memberi tempat kepada putranya agar memeluk erat Ayahnya.

"Mengapa terdapat kantong mata? Kau tidak tidur selama di perjalanan?" Jiendra menggeleng. Membuat Yudha refleks memukul pundak kokoh cucunya.

"Udah sana tidur. Bangun disaat kau merasa  sudah tidak mengantuk lagi"

Jiendra mengangguk dan berjalan meninggalkan kakek dan Papanya yang sepertinya Masi ingin melepas rindu.

"Dia sangat mirip Ayahnya"

"Pasti. Aku yang membesarkannya"

"Bukan kamu Na, tapi Ayahnya. Jovan"

Jaenar membuang nafasnya kasar, sesungguhnya dirinya tidak ingin mendengar ucapan itu dari siapapun. Namun dirinya cukup sadar untuk menyadari kemiripan putranya kepada pria pemilik eyes smile itu. Mata sipit putranya menurun dari Jovan bahkan tabiat anak itu hampir sama dengan Jovan.

"Aku ingin  bilang tidak, namun ucapan Ayah itu benar"

Yuda menatap putranya, yang duduk tak jauh darinya. "Dia sering kemari. Bahkan saat Ayah sakit dia udah dua kali kemari Na"

"Yah, Jaenar lagi gak mau ngomongin dia.  Aku udah cerita semuanya ke jie, dia kemaren nanya dimana Jovan, kenapa gak tanggung jawab. Sulit Yah" Jaenar menjeda sebentar kalimatnya, membasahi bibir bawahnya. "Ternyata apa yang Ayah bilang itu benar, pasti sulit. Jiendra begitu mirip sama Jovan, bahkan tabiatnya dan cara makanya. Walaupun aku gak dekat dengannya namun aku sadar kalau anak itu benar benar duplikat Jovan. Bahkan aku iri"

"Harry udah tau kamu pulang ke sini?" Yuda mengalihkan pembicaraan saat raut wajah Jaenar sedikit mengerat mengingat Jovan.

"Udah yah, bentar lagi pasti dia ada disini" Yuda menganggukkan kepalanya dan kembali membaca bukunya, membiarkan Jaenar yang masi duduk sambil menatapnya.

.

.

"Dia ada disini tuan"

Jovan mengalihkan pandangannya dari layar monitor dihadapannya. Memandang tida percaya kepada orang suruhannya. "Kau serius?"

"Tentu Tuan. Tuan Jaenar baru datang di kediaman Ayahnya tadi siang pukul 14:20, bersama sekarang remaja yang kisaran umurnya 16tahun" ucap pria tersebut sembari menunjukkan sebuah foto.

Jovan menganggukkan kepalanya, menyuruh orang suruhannya yang mengawasi kediaman Yuda selama sang pemilik rumah tersebut sakit. Benar dugaannya tidak mungkin Jaenar tidak kembali kesini disaat Ayahnya membutuhkannya.

"Na, Lo bener bener ada disini"

Jovan mengelus foto yang ada di tanganya. Dapat ia lihat wajah Jaenar dan wajah seorang remaja yang dua yakini adalah putranya. Wajah Jaenar sedikit lebih tegas menunjukan bahwa sekarang dirinya sudah berubah menjadi seorang pria dewasa, tidak lagi seorang remaja labil yang suka balapan liar dan menghabiskan waktu semalaman di bar. Namun wajah manis yang Jaenar miliki tetap tidak luntur di wajahnya, bahkan tidak ada kerutan yang berani menempel di wajah Jaenar, tidak seperti Jovan yang sudah memiliki kerutan samar di dahinya. Dan wajah remaja itu benar benar perpaduan antara dirinya dan Jaenar, ia sangat tinggi bahkan Jaenar saja terlihat pendek di sampingnya.

"Lo nepatin janji lo Na. Maafin gua yang gak berani bawa Lo kabur dulu, andai waktu itu gua gak turuti omongan papa gua mungkin sekarang kita bisa hidup bertiga"

Jovan menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya. Andai saja waktu itu dirinya membantah sedikit saja ucapan Papanya seperti yang kakaknya lakukan sekarang yang sudah bahagia dengan pasangan hidupnya, mungkin saja dirinya sekarang bisa hidup bertiga dengan Jaenar.

"Benar kata Ayah jaenar. 'buah tidak jatuh jauh dari pohonnya' Papa bahkan baru sekarang pergi mencari orang yang berarti dalam hidupnya. Bahkan dia sama berengsakenya sama gua,," Jovan menutup matanya mengingat ucapan Ayahnya lima tahun silam.

Saat kematian kakeknya, orang yang paling ditakutkan di keluarga Renandra saat itu akhirnya meninggal. Papanya memberitahu hal yang bahkan membuat Jovan ingin memukul wajah Papanya saat itu, kebenaran bahkan Papanya dan Mamanya menikah hanya karena perjodohan dan tidak pernah ada rasa cinta sedikitpun yang Papanya berikan kepada Mamanya membuat Jovan mengeraskan seluruh raganya. Namun bukan hal itu yang membuatnya lebih tidak habis pikir.

Dirinya bukanlah anak dari Yura- Mamanya, melainkan anak dari seorang pria manis yang waktu itu Papanya tinggalkan usai melahirkannya. Januar- papa Jovan memiliki hubungan kepada pria manis yang melahirkan Jovan jauh sebelum Papanya menikah dengan Mamanya, namun segalanya semakin rumit saat kakeknya mengetahui hubungan gelap orang tuanya yang sangat dilarang. Kakeknya menyuruh membunuh dirinya atau kehilangan orang yang melahirkannya untuk selamanya. Tentu Papanya memilih opsi kedua, saat usai melahirkannya dirinya dibawah oleh keluarga Papanya untuk di besarkan sebagai anak dari Yura. Bahkan kakaknya mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak kandung Mamanya, hanya saja mereka semua bungkam dan memilih untuk mengikuti semua alur yang sudah di atur oleh kakeknya.

Kenyataan yang membuat Jovan cukup syok. Namun ada untungnya kakeknya meninggal, membuat Papanya yang sekarang sudah tua itu pergi untuk mencari orang yang melahirkannya. Dahulu papanya tidak memilki kemampuan untuk memberontak sama sepertinya, hanya pasrah mengikuti alur yang sudah dibuat oleh keluarga besarnya. Tau gitu seharusnya Jovan membunuh kakeknya lebih awal. Eh






.



.



.

SEMAKIN KESANA SEMAKIN KESINI YA ALURNYA INI😭

INI PART PERTAMA AKU NULIS LATAR CERITA INI DI INDONESIA. PASTI INDONESIA YAKAN MASAK LO GUA ADA DI BRAZIL.

DAHLAH WE PUSING AKU.

JANGAN LUPA VOTE KOMEN SAMA FOLLOW YAH WE😘

Salam pacar Jeno  ◜‿◝


Love mistake || NOMIN Where stories live. Discover now