BAGIAN 27

862 67 0
                                    

Samsudin meminta Ratih untuk memanggil Suparna. Dari gelagat Ferdi, anaknya sudah pasti dirasuki sosok penunggu hutan. Sedari tadi Ferdi hanya bengong, lalu tiba-tiba mengamuk, meraung-raung, dan meminta diantar pulang.

“Saya mau pulang! Antarkan saya!” ucap Ferdi dalam bahasa daerah sambil mengamuk dan mendelik.

Samsudin dan Teja berusaha menenangkan amukan Ferdi. Mereka bahkan sampai kewalahan karena anak itu tidak bisa diam, terus-menerus memberontak dan melawan.

Bekas goresan kuku Ferdi pun masih terasa perih saat dia mencakar pergelangan tangan Samsudin. Ayu disuruh Teja untuk menjauhkan Farizal dan Afrizal agar tidak dekat-dekat dengan Ferdi. Ratih hanya bisa menonton dari kejauhan, khawatir justru mengganggu jika ikut membantu.

Beruntung Ferdi bisa ditenangkan setelah semua orang di sana beramai-ramai membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Ferdi ambruk, tetapi tidak sampai menghantam lantai. Meskipun masih lelah, Samsudin dan Teja menggotong Ferdi ke kamar.

Sambil menunggu Ratih datang membawa Suparna, Teja mulai sibuk menelepon seseorang. Dia tengah memanggil beberapa warga untuk membantu pencarian Joni.

“Nanti masalah temannya Ferdi, biar saya dan warga saja yang ambil alih. Saya sudah panggil beberapa orang agar ke sini,” ucap Teja, lalu dia duduk di samping Samsudin setelah beberapa saat berada di teras.

“Mah, mau pulang.”

Teja dan Samsudin berbarengan beralih ke sumber suara. Mereka melihat Afrizal tengah menarik-narik tangan ibunya yang tengah berjalan sambil membawa nampan.

“Iya-iya, nanti kita pulang, kok,” jawab Ayu. Dia pun menghampiri Teja dan Samsudin, lalu meletakkan dua gelas teh ke mereka.

Ayu tahu bahwa kedua anaknya pasti ketakutan saat melihat Ferdi. Farizal tidak terlalu takut, tetapi tidak dengan Afrizal, anak berumur 3 tahun itu merengek meminta pulang.

Samsudin yang melihat cucunya yang sedang merengek, melambai-lambai ke arah anak kecil yang wajahnya mirip dengan Fandi itu. Dia ingin mencoba menghibur.

“Dipanggil kakek.” Ayu pun menyuruh Afrizal agar mendatangi ayah mertuanya. Sedari tadi anak itu terus berada di belakang. Farizal pun demikian.

Afrizal akhirnya menurut. Dia dan sang kakak menemui Samsudin. Mereka duduk, lalu diusap-usap pelan rambutnya secara bergantian.

“Mau jajan?” tanya Samsudin ramah.

Di desa memang tidak ada supermarket atau sejenisnya, hanya ada warung kecil. Akan tetapi, meskipun kecil, jajanan pasti ada. Samsudin pun bertanya lagi ke Farizal dan Afrizal karena pertanyaan pertama belum dijawab.

Samsudin teringat jika di saku belakang sepertinya masih tersimpan uang. Dia merogoh dan ternyata memang ada. Uang sebesar dua puluh ribu diberikan kepada Afrizal. Samsudin meminta kedua cucunya untuk jajan, mengambil apa pun yang diinginkan.

Setelah dibujuk-bujuk, mereka pun menurut, lalu pergi ditemani Ayu. Suasana hati Samsudin sedikit lega, kedua cucunya bisa ditenangkan.

“Mereka pasti ketakutan,” celetuk Teja. Dia mengalihkan pandangan dari yang sebelumnya menatap Ayu beserta kedua anaknya, berganti ke Samsudin.

“Pastilah, Pak. Namanya juga anak kecil, lihat ada orang janturan pasti takut,” jawab Samsudin. Dia lantas mengambil gelas, menyeruput tehnya agar bisa merasa tenang.

“Diminum dulu, Pak, tehnya.” Samsudin hampir lupa menawarkan teh ke Teja. Mereka akhirnya sama-sama meminum teh sampai beberapa teguk.

Rumah menjadi terasa sepi dan berantakan. Kursi dan beberapa pajangan yang berjatuhan, Samsudin biarkan terlebih dahulu. Dia hanya sekadar mengumpulkan ke tembok, vas bunga yang pecah karena tersenggol Ferdi.

Namun, kesenyapan tidak berlangsung lama. Tiba-tiba terdengar gedoran pintu dari kamar Ferdi. Samsudin dan Teja bergegas. Beruntung pintu itu sengaja dikunci karena Teja yakin bahwa Ferdi pasti akan berulah. Bukan Ferdi, tetapi sosok yang bersemayam di raganya.

“Keluarkan saya dari sini!” Ferdi meraung, menggedor-gedor pintu dengan cepat. Dia mengamuk di dalam kamar.

“Jangan dulu dibuka pintunya, Pak! Biarkan Ferdi tetap di dalam,” kata Teja, menghalau tangan Samsudin yang hendak membuka pintu.

Teja pasti akan kewalahan jika harus berurusan lagi dengan Ferdi. Dia berpikir jika Ferdi tetap berada di kamar, akan aman. Jika Samsudin sampai membuka pintu, pasti akan membuat masalah baru.

Mereka terkaget saat mendengar benda-benda di dalam kamar berjatuhan. Teja dan Samsudin saling tatap, kedua laki-laki itu mulai merasa makin panik. Tiba-tiba, terdengar barang pecah.

Samsudin buru-buru mengambil kunci. Saking paniknya, dia sampai lupa di mana benda itu disimpan. Saat kunci didapat dari kantong celana, Samsudin kesusahan dalam memasukkan kunci ke tempatnya.

Pintu berhasil dibuka, mereka lagi-lagi dibuat terkejut saat melihat Ferdi yang hendak keluar melalui jendela. Mereka berlari, lalu masing-masing memegang tangan Ferdi yang berlumur darah.

Setengah tubuh Ferdi sudah berhasil keluar jendela. Teja dan Samsudin kesusahan karena banyak serpihan kaca yang masih menempel di jendela. Jika tidak hati-hati, tangan mereka juga akan tergores ujung kaca yang lancip.

Samsudin terus memanggil Ferdi, menyuruh sang anak agar tersadar. Satu tangannya memegang perut Ferdi, tangan satu lagi menggenggam tangan anaknya.

Tidak lama kemudian, beberapa orang masuk kamar. Teja yang melihat ada tiga orang berada di ambang pintu, meminta mereka turut membantu. Dalam ruangan itu semua orang menjadi panik dan riuh.

Ferdi berhasil ditarik masuk, dia pun seketika langsung ditidurkan ke kasur. Semua orang memegang tangan dan kakinya. Mereka menahan Ferdi yang terus memberontak sambil berteriak-teriak.

“Ini sebenarnya ada apa?” Salah seorang dari mereka bertanya. Meskipun dia memegang satu tangan Ferdi, tetap merasa kewalahan.

Tiba-tiba terdengar teriakan. Semua orang di dalam kamar, mengalihkan pandangan ke sumber suara. Kedua mata Ratih terbuka lebar saat melihat kondisi kamar Ferdi yang berantakan dan melihat adiknya kembali kesurupan.

“Tahan dia, jangan sampai keluar!” perintah Suparna.

Suparna menghampiri Ferdi yang masih terus dipegangi. Tangan kanannya terulur, mengarah tepat di wajah remaja itu. Mulutnya komat-kamit. Beberapa saat kemudian, dia meraup wajah Ferdi dan membiarkannya dalam beberapa waktu.

“Aaakh!” Ferdi menggeram. Wajahnya memerah, dia seakan-akan berusaha menjauhkan mukanya dari telapak tangan Suparna.

Otot-otot Ferdi kembali menonjol. Dia tengah berusaha melepaskan cengkeraman tangan orang-orang. Samsudin, Teja, dan ketiga orang di sana terus menahan amukan Ferdi.

“Pulangkan saya! Saya mau pulang!” seru Ferdi dalam bahasa daerah. Dia menggeram, giginya saling gemeletuk, air liur pun keluar dari kedua sudut bibirnya.

Setelah perjuangan sengit, Ferdi pun bisa tenang. Dia pingsan. Perlahan orang-orang yang melepaskan genggam pada tangan dan kakinya. Tenaga mereka banyak terkuras. Deru napas terdengar jelas dari mulut-mulut orang-orang itu.

Samsudin melangkah mundur sambil mengatur napas. Tangan kirinya tergores ujung kaca yang lancip. Goresan yang cukup panjang, darah pun masih terus mengalir. Selama menangani Ferdi, dia seperti tidak merasakan rasa perih di tangannya.

“Tolong ambilkan kain,” perintah Samsudin ke Ratih. Rasa perih di akibat goresan kaca, mulai terasa menyiksa.

Samsudin bahkan sampai menitikkan air mata saking sakitnya rasa perih di tangan. Tidak berbeda jauh dengan Teja, ketua RT itu pun sama-sama mengalami luka di tangan kanan.

Ketiga orang yang melihat kondisi Teja dan Samsudin, merasakan ngilu yang teramat, seolah-olah ikut merasakannya. Salah satu dari mereka lantas mengambil acak baju Ferdi yang tergantung, lalu dibalutkan ke lengan Samsudin dan Teja.

Beruntung kedua anak Ayu tidak melihat kegemparan tadi. Bisa dipastikan Afrizal dan Farizal pasti akan menjerit-jerit, membuat suasana makin tegang.

Tanah Haram Where stories live. Discover now