Bagian 11

850 83 0
                                    

Matahari sudah terbenam, lamat-lamat kumandang azan magrib mulai terdengar. Desa tempat kelahiran Ferdi menjadi sepi kembali, hampir setengah warganya lebih memilih mengurung diri dalam rumah daripada keluar.

Sampai saat ini, sama sekali tidak ada titik terang, justru masalah makin bertambah saat Ayu, istri Fandi, menelepon, menanyakan kabar suaminya.

Seharusnya tadi pagi Fandi sudah pergi dan siang hari sudah sampai rumah. Akan tetapi, sampai hari ini Ayu masih menantikan kabar kepulangan suami.

Pukul satu siang tadi, Ayu menelepon Ratih. Namun, tidak terjawab karena ponsel sudah kehabisan daya. Tidak sampai di situ, pukul empat sore, dia kembali memanggil dan barulah terjawab.

Ratih sempat dibuat bingung, jawaban apa yang harus dikatakan. Jika mengatakan yang sebenarnya, masalah baru akan muncul. Beruntung, Samsudin yang menjawab.

Samsudin terpaksa berbohong, mengatakan bahwa Fandi masih ada perlu di rumah, alhasil tidak bisa pulang saat ini.

“Masalahnya dari tadi pagi sampai sekarang, panggilan dari saya belum diangkat. Takut terjadi apa-apa di jalan,” kata Ayu saat itu.

Puluhan kali memanggil, selalu tidak ada jawaban. Sebagai seorang istri, pasti pikirannya ke mana-mana. Dia akhirnya percaya-percaya saja setelah diberi tahu bahwa kartu perdana yang dipakai Fandi kurang bagus sinyalnya.

Sehari sebelumnya mereka pernah berkomunikasi dan memang kebanyakan terputus-putus karena sinyal kurang stabil. Setelah mendapat jawaban dari ayah mertuanya, ada sedikit rasa tenang.

“Mau sampai kapan, Pak, bakalan ditutupi?” tanya Ratih. Sedari tadi, dia masih terbayang-bayang tentang Ayu.

Bisa jadi hari ini masih percaya, belum tentu dengan esok. Tujuan Samsudin memang bagus, mengurangi masalah baru, hanya saja sebaik-baiknya menyimpan bangkai, tetap akan ketahuan juga.

“Bapak juga ndak tau harus bicara apa. Kalau sampai besok sore Fandi belum ketemu, mau tidak mau kita harus berikan kabar ini,” ujar Samsudin.

Beban pikiran laki-laki itu makin banyak. Baginya, tidak mungkin hanya karena masalah kebun, Fandi sampai berbuat seperti itu. Sempat merasa bersalah, tetapi dia juga memiliki hak untuk menolak.

Dalam kekalutan, Samsudin mencoba sedikit relaks. Namun, tentu saja tidak bisa. Kopi di meja bahkan belum tersentuh, malahan sudah dingin.

“Bapak sudah kasih tau warga buat ikut nyari. Selepas isya, bapak akan pergi lagi ke hutan. Kamu berdoa, semoga si Fandi bisa ketemu dalam keadaan masih sehat.” Samsudin berbicara panjang lebar dengan tatapan mengarah ke Ratih.

“Bapak hati-hati di sana. Bapak itu belum sembuh sebenarnya,” ujar Ratih. Selain Fandi, dia juga mengkhawatirkan kesehatan ayahnya.

“Ndak perlu mikirin bapak. Yang jelas, sebelum Fandi ditemukan, bapak masih tetap mencari. Fandi anak bapak, sama seperti kamu dan Ferdi. Kalau ada apa-apa sama dia atau kalian berdua, bapak juga tanggung jawab.”

Kali ini Ratih tidak bisa berkata apa-apa. Dia memilih pergi ke dapur, menyiapkan dua gelas kopi untuk tamu yang baru saja datang. Samsudin segera mendatangi mereka, sekadar menyapa dan mengobrol singkat.

Di sisi lain, Ferdi berada di luar rumah, tepatnya di halaman samping. Dia duduk termenung, mengkhawatirkan nasib Fandi. Meskipun kesal dengan sikap sang kakak, tetap saja Fandi adalah saudara kandung, pasti akan merasa takut jika terjadi apa-apa dengan saudaranya.

“Fer, ayo, masuk. Dingin, lho, di luar. Nanti kamu bisa masuk angin,” kata Nabila dari jendela.

Sudah terhitung tiga kali Ferdi disuruh masuk rumah, tetapi selalu diabaikan. Nabila tahu, Ferdi tengah dilanda kegelisahan, tetapi tidak harus seperti ini juga.

Sebagai seorang sahabat, pasti akan peduli dengan sahabatnya. Jika bisa membantu, pasti sudah sejak lama Nabila ataupun Joni langsung bertindak. Namun, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa, selain berdoa, memohon agar Fandi bisa selamat.

“Fer, ayo, masuk! Jangan bikin orang kesel, ah! Apa perlu aku seret?” Emosi Nabila makin meningkat. Terlalu lama terpapar udara dingin juga tidak baik, apalagi hanya mengenakan kaus dan celana pendek.

“Bil, udah. Biarkan dia di sana sendirian.” Joni pun turut berbicara.

“Tapi, Jon—”

“Udah, biarkan saja dulu.” Joni masih berusaha meyakinkan Nabila.

Nabila tergugu, bingung harus bagaimana. Dia merasa kasihan dengan Ferdi, di sisi lain ucapan Joni tidak salah. Kali ini, Nabila menurut, membiarkan Ferdi tetap di luar beberapa saat lagi.

Sebelum beranjak, Nabila menyempatkan mengambil jaket. Sudah cukup Ferdi dilanda frustrasi, tidak perlu bertambah lagi dengan sakit karena masuk angin.

“Fer, pakai jaketnya,” ucap Nabila, hampir berbarengan melemparkan jaket merah Ferdi.

Ferdi hanya mengulas senyum, tetapi tidak langsung mengenakan jaket. Nabila sudah keluar kamar. Saat ini, hanya tersisa Joni yang tengah berkutat di depan layar laptop.

Joni bukan tidak peduli dengan keadaan, dia pun tengah mencari jalan keluar. Sedari tadi, laki-laki itu tengah mencari sesuatu lewat video kemarin malam, siapa tahu bisa menemukan semacam petunjuk.

Dari satu video itu, hampir tiga perempatnya tidak ada sesuatu yang menarik. Sisa satu perempat dari keseluruhan video, barulah menemukan sesuatu.

Lagi dan lagi cahaya senter menyorot hal-hal tidak terduga. Saat mengarah ke atas, terlihat—kurang begitu jelas—seutas tali menjulur dari dahan pohon.

Tidak hanya sekali, tetapi sampai tiga kali terlihat. Entah apa maksudnya, tetapi mencurigakan. Selain tali, sekelebat bayangan beberapa kali tertangkap sorot senter dan lagi-lagi tidak sengaja.

Sewaktu siang tadi saat matahari bersinar, tidak ada satu pun tali terlihat menjulur, kecuali yang tergeletak di tanah, tertutup dengan dedaunan kering.

Namun, bukan berarti tidak ada sesuatu di saat siang. Joni pernah menemukan semacam bekas cakaran di batang pohon. Ada yang pendek, juga panjang. Mungkinkah bekas cakaran hewan buas? Joni hanya bisa menduga-duga.

Mata Joni masih mengarah layar laptop. Sebenarnya, dia cukup terganggu dengan angin yang masuk lewat jendela. Joni juga turut merasa kasihan dengan Ferdi, ingin bisa berada di dekatnya.

Namun, jika dipikir-pikir, saat ini lebih baik Ferdi menyendiri dahulu. Seharusnya dia mendapat banyak dukungan dan semangat, tetapi menurut Joni, lebih baik dibiarkan seorang diri.

Joni kembali menggigil saat angin dari luar masuk kamar dengan sangat mudah. Mungkin ini adalah pertanda baginya untuk menjadi seorang bijaksana.

Setelah duduk kurang lebih hampir setengah jam, Joni berdiri. Laptop dimatikan, ditutup, dan terakhir ditinggalkan. Langkahnya tertuju ke jendela.

“Fer, lagi apa?” tanya Joni saat melihat sahabatnya seperti mematung dengan arah wajah menghadap hutan.

Tidak ada apa pun di hutan. Joni kembali memperhatikan Ferdi dan anak itu masih berdiri mematung.

“Fer!”

Tidak ada jawaban. Dipanggil untuk kedua kali, Ferdi tetap masih terdiam. Keanehan mulai terjadi.

“Ferdi!” Kali ini suara Joni lebih lantang.

Sekonyong-konyong, Ferdi berlari ke arah hutan. Joni dibuat gelagapan, lalu memanggil-manggil Ferdi yang makin menjauh. Tanpa pikir panjang, dia bergerak keluar, memanggil orang-orang di ruang tamu.

Belum juga melangkah terlalu jauh, pintu tiba-tiba terbuka, lalu muncul wajah Samsudin.

“Kenapa?” tanya Samsudin. Tidak berselang lama, wajah-wajah lain mulai muncul.

“Ferdi. Ferdi, Pak.” Joni menunjuk ke jendela, memberi tanda.

“Kenapa?” Samsudin mulai kesal dan panik.

“Ferdi tiba-tiba lari ke hutan!”

Tanah Haram Where stories live. Discover now