Bagian 19

713 65 3
                                    

Sepuluh menit berlalu, Joni sudah siap dengan handycam. Setelah istirahat dan makan, dia keluar mobil sambil menarik ritsleting yang sempat turun. Sudah lewat pukul sebelas malam, Joni bergegas memasuki hutan.

Seperti sebelum-sebelumnya, di dalam hutan begitu sepi dan gelap. Dengan tekad kuat, segala ketakutan untuk sementara waktu dialihkan terlebih dahulu. Langkah Joni melewati satu per satu pohon dengan hanya bermodal senter kecil yang didapatkan dari meminjam milik Rudi.

Joni berada di tempat baru, tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya. Lokasi tersebut lebih banyak ditumbuhi rumput-rumput liar, lumut, pakis, dan tanaman rambat. Tidak sedikit pula terlihat beberapa pohon tumbang.

“Ok, sepertinya di sini bagus.”

Langkah Joni berhenti ketika merasa sudah cukup jauh dari lokasi mobil berada. Dari lokasi awal, dia sengaja tetap berjalan lurus supaya memperkecil kemungkinan tersesat di dalam hutan. Beberapa tanda juga dibuat, seperti melilitkan batang pohon dengan pita yang tadi sempat dibeli di kota.

Laki-laki itu bersila di tanah dengan daun-daun kering dijadikan alas duduk. Sebelum memulai pembuatan lanjutan konten, handycam Rudi diotak-atik sedemikian rupa sampai dirasa cocok bagi Joni.

Setelah semua siap, Joni dengan penuh semangat, memulai merekam diri sendiri. Terlebih dahulu, dia melakukan intro, memperkenalkan diri dan sedikit menjabarkan tempatnya berada.

“Aku juga akan menerima tantangan dari salah satu komentar di salah satu video kami. Kita mulai dari sekarang,” ucapnya.

Sepertinya penelusuran-penelusuran sebelumnya, Joni seperti biasa mendeskripsikan apa yang dilihat dan dirasakan sambil berjalan.

Tidak banyak hal yang dirasakan, dilihat, atau didengar oleh Joni. Semua terlihat tenang. Biasanya, saat tengah melakukan video sendiri-sendiri pasti tidak akan memakan waktu lama bisa muncul atau mencium sesuatu. Namun, sampai hampir lima menit berjalan, Joni belum merasakan apa-apa.

Di sisi lain, dia merasa senang karena tidak harus dibuat ketakutan, tetapi jika tidak muncul, mendengar, atau mencium sesuatu, konten yang dibuat kurang seru. Rasa-rasanya sangat tidak mungkin berbohong, seperti tiba-tiba melihat penampakan atau mencium bau wangi atau busuk. Joni dan teman-temannya memilih bermain secara terang-terangan.

Senter mengarah ke atas, terlihat sesuatu di salah satu dahan pohon. Pandangan Joni mengarah ke seutas tali tambang yang terikat di sana. Sebuah kebetulan. Tidak dicari, justru sudah ketemu. Joni berpikir sejenak, apakah dirinya akan mengambil tali tambang itu atau memilih mencari lagi, siapa tahu bisa menemukan di tanah tanpa harus susah-susah memanjat.

Sebenarnya, tempat tali itu terikat tidaklah terlalu tinggi, sekitar empat sampai enam meter. Di ujung tali tersebut terdapat sebuah simpul, Joni berpikir dahulunya pasti bekas orang gantung diri.

Selama lima menit sebelumnya dia belum menemukan apa yang dicari. Sebuah kebetulan, tetapi membutuhkan perjuangan. Joni menggeleng cepat, memutuskan untuk memanjat pohon di hadapannya.

Beruntung senter yang dibawa Joni terdapat tali sehingga bisa dilingkarkan ke lengan dan pohon itu tidaklah terlalu besar. Joni sempat ragu, mengingat sudah lama tidak dirinya tidak memanjat pohon. Sewaktu kecil, memanjat seperti sebuah keharusan, tidak membutuhkan waktu lama, pohon tinggi pun mampu ditaklukkan.

Setelah melepaskan sepatu, Joni mengembuskan napas sebelum mulai memanjat. Kedua tangannya melingkari pohon, dia berharap kemampuan memanjatnya masih dikuasai. Beruntung pohon tersebut tidak licin, Joni masih mampu memanjat meski sudah tidak selincah seperti dahulu.

Setelah berjuang, Joni sudah bertengger di dahan pohon yang terdapat tali tambang. Namun, sebelumnya memilih beristirahat dahulu sebelum berurusan dengan tambang, menetralkan detak jantung dan deru napas yang memburu.

Dirasa cukup, laki-laki itu meraih tali tambang yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dari bentuknya, tali itu seperti sudah lama. Sambil berusaha melepaskan ikatan, Joni sesekali memperbaiki posisi senter yang dijepit di ketiak.

“Susah sekali bukanya. Kalau tadi bawa pisau, tinggal langsung potong,” kata Joni, kesal karena sedari tadi ikatan tali tambang itu belum juga bisa terlepas.

Ikatannya cukup kuat, bahkan susah untuk sekadar dilonggarkan. Namun, Joni belum patah arang. Dia masih berusaha untuk bisa mengurai simpul tali yang melilit dahan pohon.

“Ah, akhirnya ....”

Joni bernapas lega saat bisa berhasil melepaskan simpul. Tiba-tiba, angin datang, cukup kencang dan berlangsung hampir satu menit. Dedaunan berjatuhan, bahkan kepala Joni terkena ranting pohon. Senter yang masih dijepit di ketiak bahkan hampir saja terjatuh karena dirinya bergerak-gerak.

“Kenapa tiba-tiba gini datangnya?” Joni mengucek mata kanannya yang kemasukan serbuk-serbuk pohon yang berjatuhan.

Terasa perih, bahkan sampai menitikkan air mata. Senter di ketiak hampir terjatuh lagi, tetapi dengan sigap, Joni memegangnya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba pundaknya terasa dicolek. Dengan cepat, Joni menoleh. Tidak ada apa-apa di belakang.

Senter menyorot, tetap tidak ada apa pun. Di arahkan ke atas, hanya terlihat dedaunan dan dahan-dahan. Saat menyorot ke bawah, sekonyong-konyong Joni dibuat tersentak ketika melihat seseorang sedang berdiri di samping pohon.

Saking kagetnya, Joni hampir saja kehilangan keseimbangan. Dia hanya melihat sekilas karena senter yang dipegang tiba-tiba terlepas dan terjatuh. Tidak ada cahaya di sekitarnya. Detak jantung berdebar-debar, perasaan Joni mulai tidak enak

Tali tambang masih dipegang sebelum akhirnya dijatuhkan. Sebelum terjadi apa-apa, Joni memilih menuruni pohon meski sudah harus bersiap-siap jika apa yang dilihat tadi muncul kembali. Sempat dibuat ragu, tetapi tidak ada pilihan lain dan tidak mungkin juga akan tetap berada di pohon entah sampai kapan.

Kaki menjejak tanah, Joni dengan segera mengambil senter. Dia menyorot sekitar dengan detak jantung masih berdebar-debar. Sepi, tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Joni mulai melangkah, mengambil tali tambang dan tempat sepatunya berada.

Joni baru menyadari suatu hal. Senter yang dipegang ternyata memiliki dua buah model: satu untuk menyorot jarak jauh dan satunya lagi bisa digunakan seperti halnya lampu, cahayanya bisa menyebar, tidak hanya fokus mengarah ke satu titik.

Mode senter diganti menjadi pilihan kedua. Sekitar Joni berdiri, menjadi lebih terang. Dia bisa melihat sekeliling, memudahkannya dalam mencari sesuatu.

“Itu apa, ya, kira-kira? Kayaknya bukan salah lihat,” kata Joni sebelum memilih pergi, mencari tempat lain yang agak jauh.

Merasa lebih baik, Joni melanjutkan perekaman. Jam digital di handphone sudah hampir menjelang pukul dua belas malam. Dia tidak mau berlama-lama berada dalam hutan karena makin malam, hawa dingin terasa makin menusuk tulang.

“Lihat apa yang aku pegang? Tali ini adalah bekas orang gantung diri yang aku ambil dari pohon. Lihatlah, masih ada simpulnya dan ini asli, bukan sengaja aku bawa dari rumah atau sengaja beli,” papar Joni sambil tangan kiri memegang handycam, menyoroti dirinya dan tangan kanan menggenggam tali tambang.

“Aku akan mengikuti apa yang disuruh salah seorang akun yang berkomentar di salah satu kontenku.”

Joni meletakkan handycam pada sebuah dahan pohon, memosisikan sedemikian rupa agar tidak sampai terjatuh. Setelah itu, dia mundur beberapa langkah, lalu mengambil tali tambang di bawahnya. Dia kembali menunjukkan tali itu di depan handycam, lalu perlahan mulai melilitkan ke leher.

Tanah Haram Where stories live. Discover now