Bagian 25

689 66 0
                                    

Salah seorang warga memberi tahu bahwa dirinya melihat sebuah mobil terparkir di pinggir jalan di Tanah Haram. Saat itu dia hendak kembali dari desa sebelah sampai pada akhirnya berpapasan dengan mobil tersebut.

Samsudin yang kebetulan berpapasan dengan orang itu, menanyakan lebih lanjut masalah mobil. Dugaan Samsudin mulai dianggap benar tatkala dia mendengar bahwa mobil yang dilihat orang tersebut berwarna hitam.

Tidak menutup kemungkinan, bisa jadi mobil itu bukan milik teman Ferdi, bisa jadi mobil seseorang yang sedang terparkir di sana karena suatu hal. Akan tetapi, Samsudin bersikeras tetap ke sana untuk melihatnya sendiri.

Ditemani Teja, Samsudin bergerak ke TKP. Ternyata memang benar, ada sebuah mobil di sana. Saat memeriksa ke dalamnya, hanya ditemukan botol air mineral dan bungkus roti.

“Ini benar mobil punya temannya Joni?” tanya Teja ke Samsudin.

“Saya sebenarnya kurang tau juga, Pak. Tapi, kata Ferdi, dia mau jemput temannya yang datang dari kota. Dari sekarang saja mereka belum pulang.”

Teja melihat jalan kecil yang mengarah ke Tanah Haram. Dia lantas memberitahukan kepada Samsudin. Mereka ke sana dan menjumpainya bekas jejak sepatu.

Ada dua jejak yang berbeda bentuknya, tetapi memiliki ukuran serupa. Karena si pemilik sepatu menginjak di tanah yang bisa dikatakan becek, jejak-jejak itu masih cukup terlihat bentuknya.

Perasaan Samsudin mulai tidak enak. Dari jejak sepatu yang dilihat, dia berpikir bahwa anaknya masuk hutan.

“Kita coba masuk saja bagaimana?” Teja memberi saran.

Jika sendirian masuk hutan, Teja kurang berani. Akan tetapi, dia ditemani Samsudin. Yang lebih penting lagi, dirinya adalah ketua RT, mau tidak mau, harus turut membantu para warganya.

“Saya berpikir jejak-jejak kaki ini punyanya Ferdi dan temannya,” ujar Samsudin. Teja hanya sekadar mengiakan tanpa ikut memberi penjelasan ataupun memperjelas.

Sebelum masuk, Teja terlebih dahulu memarkir lagi motornya. Tidak mungkin motor berada di tengah jalan, bisa mengganggu kendaraan lain yang lewat. Setelah meletakan kendaraan roda dua di belakang mobil, Teja pun bergerak.

Jika ke mana-mana sudah menjadi kebiasaan bagi Teja untuk pergi sambil mengantongi handphone. Jika nanti ada sesuatu, dia hanya tinggal menghubungi seseorang untuk meminta bantuan.

Mereka mulai makin dalam memasuki hutan. Tak lama kemudian, Teja tidak sengaja melihat sesuatu yang terikat di pohon. Dia lantas memberitahukannya ke Samsudin.

“Ini buat apa, ya, kira-kira?” Teja menduga-duga.

Karena pita itu berwarna terang sehingga bisa terlihat oleh siapa saja. Namun, baik Teja maupun Samsudin belum tahu penyebab kenapa benda itu ada di sana. Mereka pun baru pertama kali memasuki hutan di wilayah itu.

Mereka kembali berjalan mengikuti arah jalan. Berselang beberapa meter dari penemuan pita, Teja kembali melihat hal serupa. Sama seperti sebelumnya, dia memberitahukan apa yang dilihat ke Samsudin.

“Ini kalau saya pikir-pikir, sepertinya pita-pita ini digunakan sebagai petunjuk jalan. Bagaimana pendapat Bapak?” kata Teja. Dia hanya beberapa saat memegang pita itu tanpa membuka ikatannya.

Samsudin mengangguk. “Mungkin Bapak benar,” ucapnya kemudian.

Samsudin berjalan lagi, Teja pun mengikuti. Mereka masih melangkah mengikuti jalan kecil itu. Makin ke dalam, satu pita ditemukan lagi, sama-sama terikat di pohon.

Samsudin menghentikan langkah. Dia memandang ke arah kirinya. Laki-laki itu melihat ada keanehan di sana. Tanaman-tanaman di sana tertunduk, seolah-olah diinjak seseorang.

Samsudin pun bergerak ke sana untuk lebih memastikan. Dari satu-dua batang pohon tanaman liar yang patah, Samsudin menduga-duga di tempat itu baru saja terjadi sesuatu. Dia juga menemukan ranting pohon yang sengaja dipotong, dilihat dari masih adanya dedaunan hijau dan ranting itu masih belum kering.

“Ada seseorang yang memanjat pohon mahoni itu,” kata Teja.

Tidak hanya satu ranting yang ditemukan, ada beberapa. Semua ranting itu masih baru dan seperti sengaja dipotong dari pohonnya. Tidak salah lagi, seseorang pasti ada yang memanjat pohon itu.

“Dari dulu tidak ada seorang pun yang berani mencari pakan hewan di sini,” ujar Samsudin.

Saat Samsudin masih memelihara kambing, tidak pernah sekalipun baginya mencari pakan hewan di Tanah Haram, begitu pun dengan para warga desa. Pernah ada suatu saat, seseorang nekat memangkas dahan-dahan pohon mahoni yang masih muda, keesokan harinya semua kambing orang itu mati

Pernah juga Samsudin mendengar kabar tentang kematian dua orang warga desa sebelah yang meninggal hampir bersamaan dengan cara yang sama, terlindas mobil.

Sehari sebelumnya, dua orang itu dikatakan menebang pohon di Tanah Haram. Satu hari kemudian, terdengar kabar mereka meninggal dunia. Keanehannya lagi uang yang didapat dari menebang pohon tiba-tiba menghilang.

“Daun-daun di sekitar sini berserakan ke mana-mana.” Teja pun turut memberi pendapat.

Mereka berpencar, tetapi tidak sampai pergi terlalu jauh. Tidak berselang lama, terdengar panggilan Teja. Dia berteriak sambil melambai ke arah Samsudin. Di salah satu tangannya, tergenggam sebuah handycam.

“Ini ....” Teja lantas menyerahkan handycam itu ke Samsudin.

Samsudin membolak-balik handycam itu, seolah-olah tengah mencari sesuatu. Dia juga teringat dengan benda yang sama di rumah. Mungkinkah handycam ini milik anaknya? Samsudin berpikir demikian.

“Saya rasa kemarin malam pasti ada sesuatu yang terjadi di sini,” ungkap Teja.

Samsudin hanya mengangguk. Jika memang benar handycam di tangannya milik Ferdi ataupun Joni, berarti mereka berdua sedang dalam bahaya.

Tiba-tiba handphone Teja berdering. Laki-laki itu menerima sebuah panggilan dari Ratih.

“Alhamdulillah,” kata Teja sambil mengulas senyum dengan handphone masih menempel di telinga.

“Ferdi sudah pulang, Pak.” Teja lantas memberitahukan kabar baik itu kepada Samsudin.

Samsudin yang semula murung, perlahan menyunggingkan senyum. Dia begitu senang mendengar kabar itu. Kekhawatirannya atas menghilangnya Ferdi, berangsur-angsur menurun.

“Oh, iya-iya. Baik-baik, terima kasih, Ratih,” kata Teja, lalu telepon pun berakhir.

“Ferdi sudah ditemukan, tapi temannya yang belum,” ucap Teja, mengatakan berita kurang baik kepada Samsudin.

Samsudin terkejut dengan penuturan Teja. Dia merasa senang atas ditemukannya sang anak, tetapi di sini lain masalah baru saja datang.

“Bagaimana ini, Pak? Sebaiknya kita pulang dulu atau kita cari temannya Ferdi?” tanya Teja.

Samsudin berpikir sejenak. Teman anaknya itu memang bukan siapa-siapa, saudara bukan; tetangga pun bukan. Akan tetapi, bukan berarti tidak dibiarkan begitu saja di hutan, pasti keluarga Joni akan sedih jika mendengar kabar kurang menyenangkan.

“Kalau saran saya, lebih baik kita pulang dulu, nanti saya panggil beberapa warga agar ikut mencari.” Teja memberi saran.

Teja berpikir, jika hanya dicari berdua, belum tentu akan bisa berhasil dalam waktu singkat. Lagi pula, Tanah Haram itu luas. Jika orang-orang berpencar, pasti akan lebih mudah.

“Lebih baik kita pulang dulu. Kita minta warga buat mencari teman anak saya. Bagaimanapun, dia juga menjadi tanggung jawab saya,” jawab Samsudin.

Tanah Haram Where stories live. Discover now