THE FACT

7.9K 425 2
                                    

Aduh, sorry ya gaes kemarin lgi sibuk ujian sama magang soalnya, maapin


***

Aku pulang, namun tak langsung menuju rumah. Sengaja kuputari kompleks terlebih dahulu, mengecek apakah mobilnya sudah terparkir di lapangan atau belum. Aku tersenyum kecut, sekarang hampir jam enam malam, dan dia sendiri belum pulang, lantas kenapa menyuruhku untuk pulang awal? Ah! Kenapa aku harus mempercayai Mas Tama? Kelakuannya selama seminggu ini apa bisa begitu saja digantikan dengan kelakuan anehnya pagi ini?

Aku kembali menuju rumah, memarkirkan mobil tepat di carport rumah.

"Gelap sekali ternyata," ucapku pelan sembari berjalan masuk. Menyalakan tiap lampu yang diperlukan, lalu berjalan ke atas. Berniat membersihkan diri dan melaksanakan salat maghrib karena telah tiba.

Setelah menjalankan kewajiban, aku merebahkan diri di atas kasur. Lelah sekali karena kasus klien hari ini cukup rumit. Kubuka aplikasi delivery makanan. Karena terlalu lelah, kurasa untuk saat ini lebih baik aku memesan makanan saja. Kupilih makanan yang menjadi kesukaan kami, nasi briyani yang dipadukan dengan ayam katsu. Agak aneh memang, ketika nasi briyani yang biasanya dipadukan dengan ayam ungkep bumbu coklat, kami lebih menyukainya dengan ayam katsu. Kuorder dari dua aplikasi yang berbeda, yang satu kupesan nasi briyani, dan yang satu kupesan ayam katsu.

Baru saja kutekan tombol pesan, kudengar pintu depan terbuka. Aku yakin itu Mas Tama. Namun, sengaja kubiarkan, aku tetap di kamar. Kudengar pintu diketuk bertalu-talu. "Al? Lu di dalem, kan?"

Aku bangkit. Menarik jilbab yang tersampir di meja rias, memakainya, dan berjalan menuju pintu. Kulihat wajah lelahnya saat kubuka pintu. "Kenapa?"

"Lu nggak nyambut gue pulang kerja di depan?" tanyanya.

Aku diam, menatapnya dalam. "Aku capek."

Dia tersenyum. Senyumnya membuat aku merasa bersalah, kenapa saat ini terlihat seperti aku yang begitu jahat pada dirinya?

"Ya sudah, lu masak apa?" tanyanya.

"Nggak masak, aku capek, Mas. Tapi aku sudah pesan makanan. Sekali ini saja, ya." Entah rasanya aneh melihat dia menanyakan menu makanan, namun aku tak masak hanya karena aku capek.

Raut wajahnya berubah. "Ya sudah. Lain kali masak. Gue nikah juga buat mengurangi makanan luar, percuma nikah kalau makan masih di luar."

Aku mematung. Dia kenapa? Kenapa cepat sekali berubahnya?

"Maaf, Mas." Aku menunduk, menatap kedua ujung kakiku.

"Ya, gue mandi dulu."

Dia meninggalkanku. Aku menutup pintu kamar, berniat menuju bawah untuk mempersiapkan tempat ketika makanan nanti datang. Namun, saat sampai depan pintunya. Aku mendengar dia berbicara dengan telepon.

"Gue sudah coba cuy buat nerima dia. Tapi, ada saja hal yang bikin gue ngerasa kalau Hanna jauh lebih baik dari dia. Seharian ini gue sudah coba baik-baikin dia, dia cuma cuek saja, endingnya apa? Dia malah beli makan dari luar. Gunanya istri itu apa sih?"

Aku berhenti. Berusaha mencerna apa yang dia bicarakan. Kurasa dia tidak tahu bahwa aku akan turun menuju dapur. Aku kembali berjalan saat sadar dia akan membuka pintu. Aku dapat merasakan dia sedang menatapku, namun aku tetap jalan tanpa memperdulikan dia.

"Al!" Dia memanggilku, namun aku tetap tak berhenti. Sedikit berharap dia mengejarku, namun sia-sia.

Pintu depan diketuk. Kurir mengantarkan makanan yang sedang kupesan, mereka datang hampir bersamaan. Segera kubayar pesanan dengan melebihkan uang untuk tip buat mereka. Memasukkan makanan pada tempat yang telah kusediakan, dan menunggu Mas Tama turun untuk makan tanpa berniat memanggilnya.

Terdengar dia turun, terlihat raut wajah tak enak.

"Makan, Mas," ucapku saat dia sudah di depanku.

"Al, maaf soal tadi," ujarnya pelan.

Aku menatapnya. "Tak perlu minta maaf, bukannya dari kemarin memang seperti itu, kan? Makan gih, mumpung masih hangat. Aku cuma bisa kayak gini, nggak bisa maksa diriku buat sama persis dengan Hanna."

Aku menyendokkan nasi untuk dia dan mengambilkan ayam katsu juga. Menyodorkan ke depannya.

"Al?"

"Kalau nggak mau makan, biar aku beresin, aku lagi nggak ingin makan, ini hanya nemenin kamu."

"Ya sudah, ayo makan, lu kemarin habis keluar dari RS juga, nanti sakit kalau lu nggak makan." Mas Tama mengambil piring di depannya. "Apalagi asma lu juga gara-gara gue."

Aku tertegun. Dan pada akhirnya hanya diam melanjutkan makan.

***

Mas Tama sedang menyuci piring di dapur, sedangkan aku memilih untuk menonton serial drama korea di ruang keluarga.

"Al, gue mau tanya," ucapnya tiba-tiba.

Aku mematikan serial drama di ponsel, lantas menatapnya. "Apa?"

Dia mengambil duduk di sofa seberangku. "Sejak kapan lu punya penyakit asma?"

Aku menatapnya bingung. "Bukannya kamu sudah diceritain sama Aldi?"

"Dia hanya bilang asma lu kambuh gara-gara gue yang suka ngisap rokok di dalam rumah. Dia tidak jelasin kenapa lu bisa kena asma dan sejak kapan."

Ah, ternyata aku salah tangkap dengan apa yang Aldi ceritakan. Ngomong-ngomong soal Aldi, aku belum mengirim pesan untuk sekadar minta maaf atas sikap buruk Mas Tama.

"Kurang lebih setahun lalu aku kena asma," jawabku berusaha meminimalisir pertanyaan kenapa aku bisa terkena asma lebih dalam.

"Karena?"

Aku terdiam sebentar. "Kecapekan saja."

"Oh, gue kira karena saat itu gue ngabari lu kalau mau serius sama Hanna," ucapnya membuatku tersedak.

"Lu nggak papa?" Dia mendekat sembari mengangsurkan gelasku yang sedari tadi di nakas dekat sofa.

"Nggak, Cuma kesedak air liur saja."

Mungkin kalau saat ini, kita sama-sama menerima takdir dengan baik, kamu benar-benar menerimaku dengan ikhlas, aku tak akan berbohong alasannya, Mas. Ya Allah, maafin hamba yang telah berbohong, tapi ini demi kebaikan.

Wajah khawatirnya sekarang sedikit menenangkan hatiku karena setidaknya dia memiliki rasa peduli padaku, meski hanya sedikit.


Pengantin Pengganti [TAMAT]Where stories live. Discover now