DIVORCE?

10K 453 6
                                    

Mas Tama membalikkan badannya. Netranya membulat sempurna.

"Lu kira pernikahan sebercanda itu, Al?" tanyanya menekan.

Aku menatapnya, lantas menggeleng. "Aku tahu, Mas. Pernikahan memang tidak sebercanda itu. Tapi, apakah kelakuan Mas Tama juga bisa dianggap sebagai candaan dalam pernikahan?"

Lelaki di hadapanku menggeram, amarahnya hampir keluar.

"Lalu, mau lu apa? Minta cerai disaat usia pernikahan belum genap seminggu? Usia pernikahan sama kucing hamil aja masih lama kucing hamil," ujarnya.

Andai saja kita tidak terikat sebuah hubungan seperti ini, pasti ucapan tadi dapat membuatku tertawa.

Aku tertawa hambar, menahan air mata mati-matian susah juga ternyata. "Susah juga ya Mas ternyata kisah cintaku dari dulu."

Aku berjalan menuju bibir ranjang, tak yakin, namun aku sadar netra Mas Tama sedang menatapku saat ini. Setelah mendudukkan tubuhku di atas ranjang, aku menatapnya. "Susah mencintaimu dari dulu, Mas."

Alisnya terangkat sebelah. "Lu? Suka sama gue?"

Aku tertawa, lagi. "Entah, aku gatau ini perasaan suka atau cinta. Aku juga gatau sejak kapan perasaan ini muncul. Aku juga gatau apa yang membuat perasaanku bertaut dengan dirimu, Mas. Andai saja aku tahu bahwa sikap kamu seperti ini sejak dari awal perasaan ini muncul, aku bakalan yakinin hatiku bahwa kamu bukan orang yang cukup baik. Namun, nyatanya kita sendiri tak bisa mengatur perasaan kita untuk siapa, bukan?"

"Gue nggak pernah nyuruh lu suka ya sama gue, dan gue juga udah ingetin dari dulu, jangan suka sama gue! Terus? Lu masih aja nekat suka sama gue setelah gue pacaran sama Hanna?" Netranya melotot sempurna.

Anggukan hanya sanggup aku berikan. Sembari mengusap air mata yang entah sejak kapan turun, aku menjawabnya sebelum Mas Tama lebih berapi-api.

"Aku suka sama kamu sejak delapan tahun lalu, tepat setahun setelah kamu putus dengan mantanmu. Kita lebih dekat dan intens. Kita lebih menghabiskan waktu bersama-sama. Aku tahu, kamu pernah bilang seperti itu. Aku sadar. Tujuh tahun bersamamu, bersahabat denganmu, dengan status aku dan kamu sama-sama tak memiliki pasangan, lalu tiba-tiba kamu datang membawa kabar pacaran dengan Hanna. Jujur, saat itu hatiku sakit, Mas." Aku menatap kaca jendela. Tertawa dengan air mata yang mengalir.

"Tap..." ucapan Mas Tama kupotong.

"Aku nggak bisa nyalahin keadaan kalau kamu ternyata menemukan tempat ternyaman selain aku, bukan? Apa kamu nggak sadar beberapa hari setelah kamu jadian dengan Hanna aku menghindarimu? Aku sedang mencoba meneguhkan hati dan mencoba menghilangkan perasaanku padamu. Aku hanya menjawab pesanmu, tidak lagi dengan telepon dan video call yang biasa kita lakukan. Aku mengurangi waktu bertemu kita, agar perasaan ini hilang, Mas."

Kuusap kasar pipiku. "Tapi, apakah perasaan yang sudah terpatri selama tujuh tahun bisa dengan mudah lebur begitu saja? Ternyata tidak. Sekuat aku mencoba, perasaan itu juga semakin kuat. Bahkan, hati kecilku selalu berkata bahwa kalian cuma pacaran, masih ada cara bagaimana kita menjadi jodoh kelak. Karena kita sendiri tidak tahu takdir, kan? Namun, beberapa bulan lalu, saat kau mengundangku untuk datang ke acara lamaran kalian, disaat itulah aku sudah benar-benar menyerah. Rasanya percuma dengan perasaan tujuh tahun lebih ini. Mati-matian aku menahan sakit, mati-matian aku menghapus perasaan ini, Mas. Lalu kalau kamu nanya, kenapa aku nggak tolak permintaan Bunda?"

Kulihat ia hanya menggeleng dengan mata penasaran menunggu kata-kata ku selanjutnya. "Mas Tama tahu, sepuluh tahun aku kenal dengan keluarga Mas, dan aku tahu Bunda tidak pernah meminta pada Mas dan aku sebagai sahabat Mas, hanya kali ini saja, Bunda sampai berlutut memohon, apa aku tega harus menolak permintaan Bunda? Aku bisa saja Mas menolak ini karena aku sadar perasaan ku juga bakalan lebih sakit. Tapi aku nggak mau lihat orang tuaku dan orang tua Mas Tama sakit karena keputusan ku."

Lelaki itu terdiam beberapa saat. Membiarkanku menangis tanpa membelai kepalaku seperti dulu. Membiarkanku menyelesaikan tangisanku. Membiarkanku tenang dengan sendirinya tanpa kata-kata menenangkan darinya.

"Sudah?" tanyanya dingin.

Aku mendongak, menatapnya yang entah sejak kapan berdiri di depanku. Sembari mengusap air mataku, aku mengangguk.

"Kalau lu nggak mau nyakitin orang tua kita, lalu kenapa lu minta cerai sekarang? Bukannya itu juga menyakiti perasaannya? Tahan sebentar, minimal setahun, baru kita cerai," ucapnya santai.

Aku terkejut dengan ucapannya, tak kukira dia akan berkata seperti itu.

"Selama setahun, lakukanlah pekerjaan mu layaknya istri, masak, nyuci, nyapu, ngepel, bersih-bersih, tapi kecuali satu, kebutuhan biologis lu. Gue bakal tetep nafkahin lu secara materi, tapi tidak dengan yang satu itu. Minimal setelah setahun, kita cerai. Dan ini bukan pernikahan kontrak karena tidak tertulis hitam di atas putih."

Netra itu menatapku tajam, terasa menukik dan menghunus tepat pada kornea mataku.

"Mas, aku minta cerai sekarang karena tidak ingin melukai perasaan orang tua kita terlalu dalam, jika kita terlalu lama dengan hubungan seperti ini, bukankah terlalu lama kita melukai perasaan mereka? Seperti meletakkan bom waktu yang dapat meledak kapan saja?"

"Selama lu nggak ngomong macam-macam, semuanya bakalan aman. Sekarang gue nanya, kenapa enggak dari awal saja lu tolak, semuanya juga nggak bakalan terjadi, kan? Bilang saja lu pengen seenggaknya hanya sebentar buat punya gelar jadi istri gue." Nada ucapannya terdengar meremehkan.

Aku terhenyak. Terdiam menatapnya yang akhirnya meninggalkanku di kamar. Sendirian lagi. Air mataku kembali terjatuh. Nafasku mulai tak beraturan, dan rasanya semua gelap.

Pengantin Pengganti [TAMAT]Where stories live. Discover now