SHE'S BACK AGAIN

8.1K 358 0
                                    

"Lhoh, istrimu kan di sini, nggak lagi pegang ponsel juga, terus itu siapa yang telpon kamu, mana pake emot love lagi," ujar Ayah yang paham dengan perubahan ekspresiku. Sepertinya Ayah tak sengaja melihat layar ponsel Mas Tama karena duduk di sebelahnya.

Mas Tama membalikkan ponsel, menatap Ayah ragu. "Bukan siapa-siapa, Yah."

Ayah merebut ponsel Mas Tama. Terlihat geram melihat foto profil yang nampak. Lalu menolak panggilan itu. "Jangan harap kamu bisa ketemu lagi dengan Hanna, wanita yang tak tahu malu itu, hampir saja merusak martabat keluarga kita. Jangan pernah lupa apa yang dia lakukan sama kamu, Tama!"

Aku kembali duduk di tempatku setelah selesai mempersiapkan makan Mas Tama. Melihatnya lamat-lamat.

"Tama nggak pernah bisa menghubungi Hanna sejak hari itu, Yah," jelas Mas Tama yang membuat aku terkejut. Namun, lagi-lagi diri ini hanya bisa diam di depan Ayah dan Bunda.

"Berarti kamu masih mencoba menghubungi dia, Tama!” bentak Ayah lagi. "Kamu nggak menghargai Alya sebagai istri kamu?"

Mas Tama melirikku, lalu menunduk menatap ponsel di meja, kemudian hanya terdiam.

"Nak," Bunda akhirnya bersuara setelah daritadi terdiam. Sembari memegang tanganku di atas meja. "Alya adalah sosok istri terbaik menurut Bunda. Lihat masakan Alya ini, masih hangat, tandanya dia baru selesai masak, bukan? Bunda lihat belum ada bibi kan di sini? Lalu siapa yang bersihin, kamu? Mana mungkin. Alat masak lengkap gini padahal ini rumah baru, siapa yang ngelengkapin kalau bukan istrimu? Dia rela menerima kamu sekalipun kamu tidak menganggapnya. Bunda tahu kok, kalian pasti di sini sedang pisah kamar, kan? Kamu nggak nanya kenapa Alya setuju? Karena dia menurutimu sebagai istri yang selalu menuruti ucapan suami."

Mas Tama terkejut, aku paham, dia pasti terkejut bagaimana Bunda bisa tahu hal itu. Lelaki itu melirikku tajam.

"Bukan Alya yang cerita, tapi dari cara kalian duduk di ruang tamu tadi yang tidak bersebelahan, Bunda sudah mengira akan hal itu," lanjut Bunda ketika melihat ekspresi Mas Tama.

"Maaf, Bunda." Suamiku itu menunduk.

"Asal kamu tau, Tam. Bunda denger bagaimana Hanna berkata denganmu tempo lalu, dia berkata bahwa tidak akan pernah memasak karena kesibukannya menjadi perawat di rumah sakit besar, kan? Dia juga tidak mau memasak karena biar waktu di rumah hanya untuk istirahat, kan? Bunda juga dengar dia tidak mau memiliki anak dalam waktu dekat ini karena karirnya sedang bagus-bagusnya, kan? Tama, Bunda dengar semua obrolan kalian saat itu. Tapi Bunda hanya diam, karena Bunda tak ingin merecoki asmara anak, tapi nyatanya apa, Hanna ninggalin kamu, kan?" tanya Bunda pelan.

Mas Tama hanya mengangguk pasrah.

"Kau tahu? Wanita yang mati-matian kau hubungi itu menolak pernikahan kalian karena dia memilih untuk mengikuti training perawat di luar negeri yang info kegiatannya dibagikan secara dadakan!" jelas Ayah menggebu-gebu, amarah masih terlihat pada dirinya.

"Bagaimana Ayah bisa tahu?" tanya Mas Tama pada akhirnya.

"Ayah yang mencari tahu selama ini, nak," ujar Bunda menjelaskan. "Bunda tidak memaksa kalian segera tidur satu kamar, kalian juga butuh waktu, tapi Bunda ingin, kamu Tam, lebih menghargai dan menerima Alya sebagai istri kamu, paham?"

Mas Tama mengangguk, terlihat terpaksa. "Baik, Bund."

"Ya sudah, sekarang makan. Nggak baik membiarkan makanan terlalu lama, sepertinya ini enak." Bunda mulai mengambil sepotong daging dan menuangkan saos barbeque.

"Ini enak sekali, Al." Bunda melihatku.

Aku tersenyum. "Ayah sama Bunda mau bawa pulang? Nanti Alya bungkusin.

"Boleh?" tanya Ayah yang mulai menyuapkan potongan daging. "Ini enak sekali, nggak kalah sama rasa restoran lho, Al."

"Boleh, Yah." Aku tersenyum.

Melihat sekilas ke arah Mas Tama yang mulai memakan potongan daging itu. Wajahnya menikmati. Dari dulu sejak zaman kuliah, Mas Tama selalu menyukai apapun yang kumasak. Menu apapun itu pasti dia suka. Makanya, sejak menikah dia tak pernah menolak makanan yang kuhidangkan.

***

Selesai sudah piring ku cuci. Kudengar suara tawa dari lantai dua. Mereka sedang menonton siaran televisi di ruang keluarga. Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika aku selesai mencuci piring. Aku mengambil kotak bekal, lalu memasukkan dua potong daging ke dalam, memasukkan saos barbeque yang sudah kubungkus di plastik kecil, dan beberapa selada serta timun, kemudian menutupnya. Kulihat masih ada dua potong daging, bisa dihangatkan untuk makan sarapan besok, kumasukkan ke dalam kulkas. Aku berjalan ke lantai dua sembari membawa kotak bekal.

"Maaf, Yah, Bund. Cuma pakai kotak bekal biasa, belum lengkap barang dapurnya," ujarku saat berada di belakang mereka.

Bunda menoleh. "Ah, nggak papa, Al. Oh iya, Ayah dan Bunda izin pamit ya, takut kemalaman sampai rumah."

"Baik, Yah, Bund. Tama antar sampai gerbang, ya. Satpam gerbang suka resek soalnya."

Setelah pamitan dengan Ayah dan Bunda, aku tetap duduk di luar menunggu Mas Tama kembali mengantarkan mereka. Kulihat bayangan dua orang berjalan mendekat, lelaki dan perempuan, mereka terlihat berhenti dan berbincang sebentar, lalu laki-laki itu berjalan, sedangkan perempuan itu berhenti. Ternyata sosok lelaki itu adalah Mas Tama.

"Lu bilang bawa mobil, mana mobil lu?" tanya Mas Tama tiba-tiba.

"Aku parkir di taman kompleks, Mas."

"Besok parkir rumah, biar mobil gue yang parkir di sana," titahnya.

"Baik, Mas. Tapi, itu siapa?" tanyaku memberanikan diri.

"Hanna, berani lu ngadu dengan Ayah Bunda, habis lu!" ancamnya sembari menunjukku. "Sudah, masuk sana!"

Aku segera masuk ke rumah, ku tutup pintu rumah, dan naik ke atas, tapi aku menuju ke arah ruang keluarga, lalu membuka pintu balkon dan menuju ke balkon, berniat melihat dan mendengar apa yang mereka bicarakan. Hal yang mereka lakukan saat itulah yang berhasil membuatku diam tak berkutik.

Pengantin Pengganti [TAMAT]Where stories live. Discover now