A FIGHT

8K 713 13
                                    

Aku tak sadar setelah suster akhirnya menyuntikkan obat tidur pada infusku karena tak berhenti menangis. Diri ini terbangun karena merasakan perut yang terasa lapar. Lalu, kurasakan seperti ada yang memegang erat tangan kananku yang tidak diinfus. Harapanku yang mengira itu Mas Tama pupus ketika kulihat ternyata Aldi yang memegang erat tanganku dan ia tertidur di pinggir ranjang.

Bayangan andai suami yang kumiliki adalah Aldi semakin berputaran di pikiranku. Mungkin aku tak akan sampai seperti ini. Bisa jadi aku bahagia karena diratukan oleh lelaki sebaik Aldi. Aldi tiba-tiba bangun, seperti tersadar bahwa aku memperhatikan dirinya.

Dia menarik tangannya. "Eh, maaf, Al. Gue khawatir. Kata suster lu sampai nangis histeris. Makanya gue suruh suster suntik obat."

Aku tersenyum. "Nggak papa, Al. Tapi, kemana lu tadi?"

"Cari suami lu."

Mataku terbelalak, namun Aldi segera melanjutkan ucapannya.

"Tapi nggak ketemu. Delia sama Helena tadi telpon lu, maaf gue yang angkat, dan mereka sedang perjalanan ke sini." Aldi bangkit dari duduknya.

"Al, gue laper, boleh minta makan? Tadi pagi belum sarapan, keburu disuntik obat tidur," aduku.

"Ya Allah, lupa, Al. Bentar." Aldi terkejut dan setengah berlari keluar dari ruangan. Senyum simpul terukir di bibirku.

Tak berselang lama setelah Aldi keluar, Delia dan Helena telah sampai di ruangan. Tersenyum penuh kehangatan sembari membawa beberapa buah.

"Siapa itu, Al?" tanya Delia, mungkin melihat Aldi yang berlari keluar ruangan.

"Dokter Aldi, yang ngerawat gue sejak punya penyakit asma," ujarku sambil mencoba duduk.

"Oo yang ngepost foto ngetag lu tadi?" tanya Helena.

"Hah?"

"Coba deh lihat IG." Delia berujar sembari meletakkan pantatnya di sofa dalam ruanganku, sedangkan Helena memilih duduk di tempat yang habis digunakan Aldi tadi.

Aku mengambil ponselku, dan membuka Instagram. Kulihat postingan dari dokter yang juga menjadi selebgram itu.

"Manas-manasi Mas Tama mungkin, tapi nggak mungkinlah Mas Tama panas lihat postingan Aldi," ujarku

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

"Manas-manasi Mas Tama mungkin, tapi nggak mungkinlah Mas Tama panas lihat postingan Aldi," ujarku.

"Kan siapa tahu, lagian gantengan juga Aldi, followers lebih banyak Aldi, gaji Aldi juga lebih gede. Siapa tau Tama insecure dan akhirnya jadi sayang ke lu," jawab Helena.

"Haha, nggak mau berharap, takut dikecewakan oleh harapan sendiri tau, Len." Aku tertawa renyah.

Kudengar pintu terketuk. Menampakkan sosok kedua orang tuaku dan kedua orang tua Mas Tama. Mereka datang bersamaan.

"Eh, kalian," ucap Ibu ketika melihat Delia dan Helena, karena Ibu mengenal kedua sahabatku dengan baik.

Kami mencium takzim tangan mereka, Delia bangkit dan memberikan sofa yang cukup untuk berempat kepada orang tua.

"Maaf, nak. Bunda baru sempat datang. Setelah ditelpon Tama tadi pagi dan dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi semalam ke kamu, Ayah dan Bunda langsung datang ke rumah besan untuk meminta maaf secara pribadi pada mereka. Karena tidak dapat menjaga anak perempuannya dengan baik." Bunda Mas Tama memberikan penjelasan.

Aku hanya mengangguk. "Tak apa, Bund. Salah Alya juga yang tidak memberitahu bahwa Alya sakit kepada kalian."

"Bukan salah kamu, Al. Salah bajingan itu. Apa tak dengar apa yang sudah Ayah katakan semalam?" Mata Ayah menyulutkan emosi. "Mana sekarang mereka sedang berduaan lagi."

Aku hanya tersenyum. Kulihat Aldi masuk membawa makan yang tadi kuminta. Aldi memberikan senyum pada tamuku.

"Eh, selamat datang, saya Aldi, dokter yang mengurus Alya sejak awal Alya mengidap asma." Aldi menyalami satu per satu. Kemudian berjalan ke arahku. "Ini, jangan lupa dimakan."

"Iya, Al. Makasih."

"Saya keluar dulu ya, mau mempersiapkan obat yang harus disuntikkan untuk Alya nanti, permisi."

Aldi pamit undur diri. Sedang aku mulai makan, sungguh lapar yang kurasakan saat ini.

"Bahkan dia lebih baik daripada anak kita, Bund," ujar Ayah tiba-tiba.

"Dia pernah datang ke rumah berniat melamar, seminggu sebelum Alya nikah, tapi ditolak sama Alya karena takut menyakiti perasaannya," cerita Ibu membuatku tersedak.

"Ibu...." cegahku agar Ibu tak bercerita lebih jauh.

"Mungkin nak Alya bisa lebih bahagia jika bersama Aldi," jawab Bunda kemudian.

"Ah, belum tentu, Bund. Kita tidak pernah tahu kan bagaimana garis takdir kita kelak. Aldi berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Alya, kok. Contohnya Helena atau Delia, nih," candaku mendapatkan senggolan dari mereka berdua.

Tiba-tiba Mas Tama masuk. Wajahnya menahan amarah yang terlihat menggebu. Apakah ia melihat postingan Aldi? Ayah bangkit dari duduknya. Mendekat ke arah Mas Tama, dan seketika menampar Mas Tama dengan keras. Ngilu sekali rasanya. Semua yang ada di ruangan menutup matanya. Kecuali aku yang memandang dengan mata berembun.

Aldi masuk membawa beberapa obat suntik yang kemudian dia masukkan ke sakunya saat melihat Ayah menampar Mas Tama.

"Pak, mohon tenang. Ini rumah sakit." Aldi menahan tubuh Ayah.

Namun yang tak disangka, Mas Tama meninju beberapa kali wajah Aldi. "Beraninya lu megang istri gue."

Aku terkejut. Turun dari tempat tidur berusaha menahan Mas Tama, karena Ayah tak kuasa menahan Mas Tama. Tak ada yang menyangka aku turun mendekat karena terlalu terkejut melihat kebrutalan Mas Tama. Berniat menahan tinjuan Mas Tama dengan memegang lengannya berakhir aku yang terpukul oleh sikutnya tepat pada pipiku. Ngilu sekali rasanya. Kulihat Bapak yang sedari tadi diam, akhirnya berdiri dan menampar keras Mas Tama. Jauh lebih keras daripada tamparan Ayahnya.

"Bisa santai, nggak! Ini rumah sakit! Bapak sudah diam ya kalau kamu tidak menerima Alya. Tapi entah Bapak yang nggak nyangka kamu bisa melakukan itu dengan Alya. Kamu yang salah, malah kamu yang nyalahin dokter Aldi yang sudah menolong Alya sejak dulu. Kalau kamu nggak suka sama Alya, kembalikan Alya baik-baik kepada kami. Jangan siksa Alya." Bapak berkata sembari menunjuk wajah Mas Tama yang akhirnya terdiam.

Delia dan Helena menolongku, Aldi ditolong oleh Ayah dan Bapak. Tanpa memperdulikan memar di wajahnya. Aldi segera ke arahku yang sudah berada di atas kasur.

"Lain kali jangan asal melakukan hal seperti itu meski niatmu baik, pikirin diri lu juga," ujar Aldi berbisik sembari menyuntikkan beberapa obat untukku.

"Saya pamit dulu, nanti saya perintahkan perawat datang membawa es untuk luka Alya. Saya pamit."

Kulihat Aldi dan Mas Tama bertatapan tajam sebelum punggung Aldi benar-benar lenyap meninggalkan ruangan yang kini terasa canggung.

***

Yang lagi baca, nggak ada niatan buat tap vote gitu? 😭, Seneng sih ada yang baca, tapi kenapa pada silent reader sih 😭, lagi semangat ngelanjutin cerita ini lho, jangan lupa tap vote ya bestie 😘

Pengantin Pengganti [TAMAT]Onde histórias criam vida. Descubra agora