31

405 48 0
                                    

Tampaknya sang mentari amat bahagia hari ini lantaran sinar yang ia pancarkan sungguh menghangatkan pagi tiap insan, termasuk Abhimanyu dan Lembayung.

Satu pekan usai kejadian berat yang menimpa hingga saling mempertanyakan kekuatan hubungan di antaranya terlewati. Kini mereka yakin akan cinta dan afeksi yang memayungi, pun tak akan ada lagi yang dapat membuat keduanya goyah kembali.

"Iya, Mbak. Nanti dekoran di atas meja itu sama kayak yang saya tunjukin." Lembayung berbicara pada lawannya di sebrang sana. Kepalanya terangguk-angguk mendengar tiap detail yang ketua Wedding Organizer itu katakan. Pun sesekali ia menulis detail yang sekiranya kurang pas dihati pada halaman cacatan yang nanti akan dibicarakan kembali. "Oke, untuk sekarang kayaknya itu aja sih, Mbak. Buat yang lainnya, kita omongin di tempat aja."

"Iya. Makasih banyak, Mbak." Lembayung menutup sambungan teleponnya lantas mengedarkan pandangan ke arah dapur, di mana Abhimanyu masih berdiam di sana sejak tadi.

Lembayung menghampiri Abhimanyu tetapi alisnya segera bertaut kala melihat pria itu tengah memindahkan botol-botol hitam ke dalam sebuah dus.

"Abhi." Lembayung memanggil sementara Abhimanyu menyahutnya dengan dehaman. "Semua minumannya mau kamu apain?"

Abhimanyu mengulas senyum. "Mau aku kasih ke temen. Daripada nggak ada yang minum 'kan sayang."

Lembayung terperangah, ia menatap Abhimanyu takut-takut. "Abhi, kamu suka semua ini, 'kan? Kamu boleh kok minum lagi, aku nggak akan ngelarang."

"Bayung, aku udah janji buat nggak minum lagi dan aku nggak akan ingkar janji." Abhimanyu menjelaskan. "Lagian aku ngelakuinnya nggak secara terpaksa, kok."

Lembayung sadar nada Abhimanyu tak lah terdengar sebagai gurauan, tetapi masih ada hal yang mengganjal baginya atas tindakan Abhimanyu yang satu ini.

"Udah waktunya aku ninggalin semua ini dan aku nggak mau keinget lagi sama kejadian itu."

Ini dia, hal menjanggalnya, Lembayung menemukannya.

"Abhi." Lembayung mengusap lembut bahu si pria. "Tolong jangan ingat-ingat lagi kejadian waktu itu, biarin aja berlalu. Lagian bukan kesalahan kamu, itu semua namanya takdir."

Abhimanyu mengangguk ringkih, rasa sesak satu minggu lalu bagai membelenggu dadanya kembali. "Aku kangen Pandu ..."

Perempuan berkaus putih itu maju selangkah, membawa daksanya memeluk yang lebih tinggi, mengusap punggungnya menenangkan.

"Aku juga kangen," ujarnya tegar meski ia sendiri hendak rapuh kembali. "Semalem aku mikir, gimana ya tempat Pandu di atas sana? Apa dia sendirian di sana? Dan aku langsung nemuin jawabannya, Pandu itu anak yang baik, dia pasti dapet tempat yang indah dan nggak sendirian karena dia ada di sebelah Tuhan."

Abhimanyu beralih memeluk Lembayung erat, walau tak dapat melihat wajahnya tetapi Abhimanyu tahu perempuan itu hendak menangis. Lalu mereka sama-sama terperanjat kala pintu rumah diketuk.

"Biar aku aja yang buka." Lembayung segera berjalan membuka pintu lalu ia dibuat lebih terkejut lagi saat melihat siapa presensi yang tengah berdiam di depan pintu.

"Bayung, sia—" Abhimanyu yang menyusul pun dibuat sama terkejutnya. "Om? Tante? Lho, Papah sama Mamah juga ada di sini?"

Empat insan paruh baya yang tak lain adalah kedua orang tua Abhimanyu dan Lembayung mengusung senyum. Rautnya amat bahagia ketika melihat putra dan putri mereka dalam keadaan baik-baik saja.

Abhimanyu menggiring keempatnya duduk di sofa sementara Lembayung pergi mengambil minum. Kemudian saat enam kepala itu duduk, ayahanda Abhimanyu membuka percakapan lebih dulu.

Through with U | Bluesy ✓Where stories live. Discover now