18

282 52 11
                                    

Gadis itu meronta-ronta. Tak peduli jahitan medisnya belum kering, ia berjalan terseok-seok diseret ke pintu. Bagai tak peduli pula putrinya yang puluhan kali mengucap kata ampun, sang ayahanda tetap pada pendiriannya.

"PERGI KAMU DARI SINI!!"

Tubuh gadis itu jatuh di atas lantai dengan keras disusul oleh koper hitam besar di sampingnya. Ia meringis bukan main sebab nyeri jahitan medis lalu kembali menoleh pada sang ayah yang tampak berapi-api menatapnya, ia bangkit dengan susah payah menghampiri ayahnya.

"Ayah, Bayung minta maaf. Tolong jangan usir aku, nanti aku tinggal di mana?"

"Seharusnya kamu udah pikirin waktu berbuat hal yang enggak-enggak sama pacar kamu itu!" Ayahnya membentak. "Cepat kasih anak sama uang tabungannya!" titahnya pada sang Istri.

"Mas, tolong, jangan usir—"

"Cepat kasih!!"

Ibu Lembayung dengan berat hati menyerahkan bayi berusia tiga hari di dekapannya pada Lembayung. Puluhan kata penenang telah ia utarakan pada suaminya yang berkepala batu. Sebab memang sudah sifatnya begitu, ayah Lembayung tak menggubrisnya dan akan tetap membuat Lembayung angkat kaki dari rumah.

"Saya menyekolahkan kamu buat bikin keluarga bangga, bukan bikin malu kayak gini!!"

"Aku janji nggak akan bikin keluarga kita malu. Ayah—"

"Jangan panggil saya begitu!!" Bentakan ayahnya membuat Lembayung terperanjat dan bayi di dalam gendongannya menangis kencang. "Saya kasih semua yang kamu butuh, yang kamu mau, kamu malah jadi seenaknya gini?!"

"Enggak Ayah—"

"Udah! Udah!! Sekarang kamu pergi dan jangan pernah kembali lagi! Hidup bebas aja sana tanpa aturan, jadi kamu bisa semena-mena ngelakuin apa aja tanpa memikirkan punya keluarga atau enggak!!"

Lembayung menggeleng-geleng kuat kala ayah dan ibunya memilih masuk dan menutup pintu. Dirinya berkali-kali mengetuk pintu dan kembali memohon ampun tetapi hasilnya nihil, ia hanya bisa meraung penuh pilu dengan sahutan tangis sang bayi pula. Tangannya berkali-kali menepuk bokong bayinya yang terus menangis.

"Udah, jangan na—" Kalimatnya ia potong sendiri kala melihat presensi seseorang yang tiba-tiba mengambil alih bayi dalam gendongannya.

"Cup, cup. Jagoan, jangan nangis, ya," katanya menimang-nimang bayi berbalut bedong tersebut.

Lembayung terkejut bukan main melihat orang tersebut di sini. Terlebih lagi, koper hitam yang dibawa menjadi pusat perhatian Lembayung hingga keningnya mengerut. "A-Abhimanyu, kenapa kamu bawa koper ke sini?"

Pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah putih abu itu menyunggingkan senyum kemudian tangannya terulur di hadapan Lembayung.

"Ayo, Kak. Kita pergi jauh dari sini sama-sama. Ke tempat di mana kamu bisa bernapas lega tanpa ada orang-orang yang akan ngomongin hal buruk tentang kamu."

"Bayung!"

Lembayung tersentak bukan main kala bahunya diguncang hingga membuat air matanya menetes.

"Eh, lo kenapa nangis?!" Selia yang merupakan si pelaku bertanya dengan khawatir.

"E-enggak. Nggak apa-apa," ujar Lembayung seraya menyeka air mata yang mendadak hadir dari pipinya.

"Lo keinget kejadian yang dulu, ya?" cicit Selia.

Lembayung mengangguk pelan. "Gue takut banget, Sel. Takut ayah masih marah."

"Yung, yang tau segalanya cuma Yang Maha Kuasa. Tugas kita di sini menjalani semampu kita." Selia berhenti sejenak. "Lo udah hebat banget bisa sampai di titik ini, ngelewatin semuanya sendirian. Sekarang tinggal satu tahap lagi, yaitu restu orang tua, termasuk ayah lo. Jelasin semuanya sama beliau, sisanya serahin sama Tuhan dan gue yakin apapun yang akan terjadi nanti itu pasti emang jalan terbaik buat lo."

Through with U | Bluesy ✓Where stories live. Discover now