2

687 117 16
                                    

Di hari yang sama. Semua orang yang duduk menjadi pengunjung di dalam ruang sidang pengadilan sukses dibuat tertegun oleh pernyataan dan bukti menyertai pada kasus yang marak terjadi akhir-akhir ini, kasus perebutan Hak Asuh Anak.

Suasana ruang sidang mulanya ricuh oleh pembelaan sengit antara pengacara penuntut dan yang dituntut. Kini pengacara penuntut kembali berbicara mendominasi.

Jubah hitam berdasi putih yang kerap disebut Toga terbalut sempurna di tubuh, rambut panjang bergelombang yang dibiarkan tergerai pun semakin membuat perempuan berusia 27 itu terlihat berwibawa kala berbicara di hadapan tiga orang Hakim.

"Sampai di sini sudah sangat jelas, Yang Mulia." Suaranya terdengar lantang. "Bahwa klien saya, Ibu Rania yang berhak mendapat hak asuh atas putrinya, Syifa. Latar belakang suaminya adalah seorang pemabuk dan menjadi hal yang perlu digarisbawahi karena itu akan mempengaruhi caranya mendidik Syifa serta akan mengganggu masa pertumbuhannya. Sementara jika Syifa dididik oleh Ibu Rania yang merupakan seorang guru, maka itu akan baik untuk diri Syifa."

Ketiga pria paruh baya yang duduk di belakang meja panjang paling tinggi dari seluruh meja mengangguk bersamaan. Tangan pria dengan papan nama bertuliskan 'Hakim Ketua' mengambil ketukan berbentuk palu warna cokelat gelap.

"Baik. Dengan ini, pengadilan memutuskan bahwa hak asuh atas Syifa akan jatuh ke tangan saudari Rania Diningrat selaku sang ibu." Maklumat Hakim Ketua tersebut terucap lantang diakhiri ketukan palu sebanyak tiga kali. "Demikian, kasus ini selesai."

Riuh tepuk tangan pengunjung sidang langsung terdengar menyeruak gendang telinga. Tepuk tangan yang bagai ucapan selamat untuk sang pemenang, tetapi merupakan ejekan tak mengenakkan bagi pihak yang kalah.

Semua orang sontak berdiri begitu Hakim Ketua diiringi dua Hakim Anggota meninggalkan ruang sidang. Ibu Rania dengan cekatan memeluk putrinya yang berusia empat tahun setelah dibawa masuk oleh petugas ke dalam ruang sidang. Tangisan pun menyelimuti keduanya, tangis bahagia dari sang ibu dan raungan tangis dari bibir Syifa yang mungkin tak mengerti atau khawatir kala melihat ibunya menangis.

"Mbak Lembayung." Ibu Raina memanggil dengan sisa isak tangisnya. "Terima kasih sudah membantu saya untuk mendapatkan hak asuh Syifa. Saya nggak tau apa jadinya kalau Syifa sampai tinggal sama ayahnya."

Perempuan yang dipanggil Lembayung itu sontak mengusap lembut bahu Ibu Raina. "Ini sudah jadi tugas saya sebagai pengacara. Saya senang akhirnya Syifa bisa tinggal sama Ibu, dengan begitu masa depan Syifa juga akan terjamin ditangan Ibu."

Ibu Rania mengangguk. "Sekali lagi terima kasih, Mbak."

"Sama-sama, Bu Rania."

"Kalau begitu saya permisi dulu, ya," ucap Ibu Rania yang langsung diangguki ramah oleh Lembayung.

"Dadah, Kakak!" Syifa yang berada dalam gendongan sang ibu berceletuk seraya sebelah tangannya melambai pada Lembayung.

Walau sedikit terkejut dengan tindakan yang tiba-tiba dari gadis kecil itu, Lembayung membalas lambaiannya sembari dengan lembut berucap, "dah, Syifa!"

Usai anak, ibu, serta seluruh pengunjung meninggalkan ruang sidang, Lembayung menghela napas lega. Satu lagi keberhasilannya dari sekian kasus yang telah ia taklukkan selama jangka dua tahun menjabat sebagai pengacara.

Lembayung bergerak membereskan beberapa dokumen di atas meja. Begitu hendak menurunkan ritsleting jubah hitam kebanggaan, atensinya teralihkan pada seseorang berjaket kulit hitam yang bersedekap tangan pada kursi pengunjung. Kepalanya yang tertunduk ditambah sebuah topi hitam nan menutupi kian membuat Lembayung kesulitan menerka siapa orang yang tampak misterius itu.

Lembayung memilih abai lantas melangkah menuju pintu keluar dengan tumpukan dokumen serta jubah hitam yang ia sampir di lengan kiri, tetapi ia terkejut bukan main kala pergelangan tangannya digenggam begitu melewati barisan kursi orang misterius tersebut.

Lembayung hampir saja memukulnya dengan tumpukan dokumen jika saja orang itu tak segera mendongak dan menunjukkan senyum lebar serta matanya yang menyipit bagai bulan sabit.

"Abhimanyu!" Lembayung berseru sementara orang misterius yang dipanggil Abhimanyu itu tertawa geli usai melihat raut terkejut dan takut menyatu di wajahnya. "Ngagetin tau, nggak?!"

"Iya, maaf," balas Abhimanyu masih sedikit tertawa. "Tapi aku seneng kejutannya berhasil, buktinya kamu kaget, 'kan?" Belum sempat Lembayung berucap, Abhimanyu kembali bersuara seraya menggeser tubuhnya. "Sini duduk."

Lembayung menurut untuk duduk di sebelah lelaki itu dan setelah dilihat dari dekat ternyata di dalam jaket yang ia kenakan adalah seragam pilot kebanggaannya. "Udah pulang? Kirain kamu bakal mendarat agak sorean lagi."

"Perkiraan aku juga gitu, tapi ternyata sampenya justru lebih awal."

Lembayung mengangguk paham. "Kenapa nggak pulang aja?"

Abhimanyu menyandarkan punggung pada sandaran kursi, mengistirahatkan tulangnya sejenak lantaran terasa begitu tegang. "Nanti aku nggak ada temennya di rumah, makanya aku ke sini aja ngeliat kamu sidang."

"Bisa-bisanya aku nggak nyadar kalau kamu ada di sini."

"Ya, bagus dong. Itu artinya kamu fokus sama tugas dan tujuan kamu di sini, terus cara kamu ngomong di depan Hakim tadi juga keren, deh. Enggak tau ini udah ke berapa kalinya aku takjub sama cara kamu nanganin kasus."

Lembayung terkekeh pelan mendengar sanjungan yang terlontar dari bibir Abhimanyu tiap kali ia usai menangani kasus-kasus kliennya. "Makasih. Kalau gitu sekarang kita makan, yuk! Laper nih."

Mendengar kata 'makan' membuat perut Abhimanyu mendadak dilanda rasa lapar pula, padahal sebelumnya ia menghiraukan bahwa kini sudah lewat dari jam makan siang sebab terlalu hanyut dalam persidangan Lembayung. "Kamu mau makan apa? Biar aku yang traktir."

"Beneran, nih?"

"Bener, dong. Aku mana pernah bohongin kamu, sih."

Lembayung tertawa kecil kemudian menaruh telunjuknya di dagu seakan berpikir. "Aku lagi pengen makan masakan Jepang deh, Bhi."

"Ke restorannya Selia aja kalau gitu."

Usulan Abhimanyu tersebut langsung diangguki semangat oleh Lembayung. "Iya! Sekalian ketemu dia."

"Ya udah, yuk!" Abhimanyu lekas berdiri lalu tangannya yang bermaksud menggandeng Lembayung terulur, Lembayung pun menyambutnya kemudian keluar dari ruang sidang.

"Yung, Jibran lagi sibuk, nggak? Kalau enggak, ajak dia juga," ujar Abhimanyu begitu keduanya berjalan di lorong pengadilan yang juga sedang dilewati oleh beberapa pengacara, polisi, dan orang-orang yang ia yakin adalah para klien.

"Iya, ini aku lagi ngabarin dia," jawab Lembayung yang fokusnya terbagi antara memperhatikan jalan dan ponselnya. "Tapi aku yakin dia bakal dateng telat sih, soalnya kalau nggak salah sekarang dia ada di ruang sidang."

Abhimanyu mengangguk-angguk paham. "Ya udah, yang penting kamu udah ngasih tau dia."

Setelah lorong berikutnya telah terlewati, Abhimanyu dan Lembayung sampai pada pintu utama pengadilan kemudian kedua pasang kaki insan itu menginjak beberapa undakan kecil sebelum akhirnya berjalan menuju parkiran.

"Lembayung!"

Bukan hanya kaki yang terhenti, tetapi kepala Lembayung juga tertoleh dan bukan hanya yang dipanggil, tetapi Abhimanyu pun ikut menoleh. Lembayung sangat terkejut dengan kehadiran pria berkaus hitam santai yang tiba-tiba berada di tempatnya bekerja itu.

Sementara air muka Abhimanyu berubah menjadi marah hingga rahangnya mengeras usai melihat siapa yang baru saja memanggil Lembayung. Ia tak mengerti apa yang membuat pria itu terus-menerus mendatangi Lembayung bahkan setelah ia menghajarnya.

"Lo ngapain—" Geraman Abhimanyu terhenti lantaran Lembayung lebih dulu memegang lengan Abhimanyu untuk mengantisipasi kemarahannya memuncak.

Lembayung lantas menghela napasnya pelan, berusaha setenang mungkin seperti biasa ia menghadapi pria yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya dengan senyum semringah. "Ada apa, Erlang?"

- to be continued.

Through with U | Bluesy ✓Where stories live. Discover now