2. Bos Terkutuk

96 7 0
                                    


"Kamu ngapain sih, Nar, tarik aku keluar kayak gini. Apa segitu beratnya kamu bantu aku?" Saras menggerutu sepanjang jalan aku tarik dia keluar.

Mau tahu dia mengoceh apa?

Uang tiga juta itu baginya bukan jumlah yang besar kalau dia pinjam dariku. Kalau nanti dia bisa balikan lagi dengan Kevin dan hubungan mereka naik ke jenjang status yang lebih tinggi alias dijadikan istri sama Kevin, katanya uangku bakal dikembalikan sepuluh kali lipat. Aku bakal untung. Dia terus saja berceloteh kalau nantinya jadi Nyonya Kevin aku juga yang bakal senang nantinya.

Enggak ada satu pun omongan Saras yang aku jawab.  Aku diam, biarkan saja dia sesuka hati mau ngomong apa. Orang tuh, kalau lagi termakan cinta begini. Percuma aku mau bilang apa pun, semua akan dimentahkan Saras.

Aku menghargai niat baik Saras. Tapi, sama sekali nggak tertarik untuk menerimanya. Selain sudah yakin kalau cuma kehaluan belaka, aku juga merasa Kalau uang yang didapatkan nantinya adalah uang haram.

Ya, 'kan?

Saras pakai acara cari dukun segala, sih. Sudah yakin kalau Kevin jatuh cinta lagi dan sampai ajak balikan, fix itu bukan hati nurani Kevin yang mengarahkan. Seratus persen itu adalah bisikan setan.

Lagi pula. Aku heran kenapa temanku ini bisa tergila-gilanya dengan Kevin. Bahkan, sudah menjurus gila sungguhan karena dia masih ngotot sekarang memintaku untuk temani kembali ke tempat dukun tadi.

Oke, aku akui Kevin memang ganteng,.kaya raya, dan bisa dilihat termasuk dalam tipe laki-laki idaman.  Cuma, 'kan, nggka hatrys memaksakan cinta juga. Dia bisa kok, bahagia dengan laki-laki lain asalkan mau buka hati. Malah aku pikir percuma memaksakan cinta kallau memang masing-masing di antara mereka sudah nggak ada kecocokan. Ibarat kata sepasang sandal, antara kiri dan kanan nggak cocok, mau semahal apa pun nggak akan nyaman dipakai. Begitu juga dalam percintaan.

Fakta lainnya harus aku sadari di sini adalah selalu saja Saras jadi wanita yang gagal dalam bercinta. Memang sih, nasibnya nggak jauh beda dariku. Cuma, kalau dilihat dia lebih miris. Pasalnya, selalu saja perempuan itu jadi korban budak cinta. Kalau sudah masuk ke pelukan laki-laki bisa apa saja dilakukan. Aku yang sering jadi alarm buat dia, setiap kali delta dengan pria. Selalu aku pantau supaya jangan menyerahkan keperawanannya pada pria yang belum sah jadi suami.

Nggak peduli meski saat ini orang bilang FWB atau apalah namanya, aku yang tahu kalau Saras itu anaknya polos, setengah mati menjaganya.

"Ayo, pulang." Aku masih sabar lihat dia memberengut memilih untuk berjongkok di pinggir jalan. Asal tahu saja, gara-gara kelakuan Saras itu, aku sampai rela dorong motor biar agak jauhan sedikit dari rumah dukun. Mau menyalakan mesin langsung tancap gas, takut dianya merengek pegangi bagian belakang motor. Bisa terjungkal kalau begitu.

"Please, bantuin aku. Aku cinta banget sama Kevin. Ngga bisa hidup tanpa dia." Saras menatapku pias. Bulir air matanya menetes setelahmya masih ada sisa yang menggenang di kelopak mata.

Sedih memang kalau lihat kelakuannya begini. Oh, tapi tahun lalu juga dia sama merengek-rengek karena cintanya pada Pak Kepala Desa di kampungnya yang masih muda dan ganteng.

Saras hampir-hampiran saja jadi pelakor karena Pak Kades ganteng tersebut sudah punya istri. Untung nih ya, dia masih punya teman kayak aku yang peduli untuk nasihati dia untuk enggak macam-macam. Ingatkan dia kalau fokus hidup kali ini bukan cuma lelaki.

Apa aku cuma sekali atau dua kali ngomong kayak gini ke Saras?

Nyatanya aku sudah ratusan bakal ribuan kali bilang. Tapi, dasar anak itu bebal. Selalu saja ujungnya jadi korban cinta juga. Aku merasa kami ini sebagai wanita enggak perlu ini itu. Cukup fokus ke diri sendiri. Self love istilahnya. Kalau sudah bisa kayak begini, nanti juga akan membuat orang lain lebih tepatnya lawan jenis tertarik. Intinya tuh, pantasakan diri dulu.

Tapi, Saras bilang kalau mau menunggu pantas entah kapan dapat cowok. Karena sebagai hamba sahaya yang punya penghasilan biasa saja dan enggak bisa dapat perawatan, butuh waktu lama untuk bisa jadi wanita yang kelihatan glow u hasil self love. Bakal bermunculan perempuan-perempuan lain yang punya modal besar untuk mempercepat semua proses itu dan pada titik Itulah bisa saja kami ini sudah terrtinggal jauh. Begitulah teorinya Saras.

Oke aku setuju. Tapi, bukan berarti sebagai perempuan harus jadi orang bodoh bukan?

"Mau pulang, nggak?" Aku sudah duduk di motor, pakai helm Saras masih memberengut kepalanya menoleh ke rumah dukun. Kayaknya masih berharap ada kesempatan untuk kami bisa kembali lagi ke sana.

Lama dia berpikir, aku mengancam. "Ya sudah kalau nggak mau pulang, aku tinggal!"

"Jangan, dong! Nara kejam amat, sih." Dia merengek sembari memakai helm  yang aku operkan. Bodoh amat, aku dibilang kejam. Daripada kita berdua keburu kena santet sama dukun gadungan itu, mending pulang.

Temanku sudah menempelkan bokong di motor. Dia masih sempatnya mengomel. Ngalor ngidul, aku cukup diam mendengarkan. Habisnya, orang kalau lagi sableng enggak bisa diajak berpikir jernih. Percuma diajak ngobrol.

"Aku tuh, begini bukan karena gila dengan hartanya Kevin aja. Aku beneran kok, cinta dengan dia. Kamu kejam, Nar, nggak mau bantu aku. Hiks ... hiks ... hiks." Sebentar. Itu yang ada hiks tiga kali bukan tangisan murni Saras. Dasar dia lagi hiperbola. Air mata enggak bisa keluar juga masih dipaksa untuk nangis. Colok bawang juga nih, lama-lama.

"Ya aku bukan nggak mau bantu kamu, Sar. Selain aku juga sama kerenya kayak kamu, aku nggak mau kita jadi percaya omongan dukun. Kalau jodoh nggak akan ke mana, Sar. Kamu itu cantik, baik, banyak kok laki-laki yang mau sama kamu."

Aku sudah siapkan mental untuk ngomong dengan dia. Berharap ini bisa didengar baik-baik. Semua ini demi persahabatan kami yang kental mengalahkan SKM juga bagaikan kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu.

Eh, si dia malah tanya, "Kamu ngomong apa, Nar? Aku nggak denger. Itu barusan ada truk lewat."

"Nggak jadi!" Aku jengkel.

"Apa, Nar?" Saras masih merengek

"Diem atau aku lempar kamu ke got!" Vibes-nya sudah kayak karakter utama di novel online, 'kan

"Ih, Nara ...." punggungku ditepuknya.

Ck! Kenapa hamba punya teman enggak guna begini.

Aku fokus untuk mengantar Saras sampai kosan. Setelah dia turun, aku berikan sedikit nasihat.

"Istirahat, Sar. Kamu nggak perlu ke tempat kayak gitu lagi. No dukun dukunan lagi. Kamu harus lebih percaya kalau Tuhan itu akan siapkan jodoh yang baik."

Saras memelukku. "Makasih ya, Nara. Kamu selalu bisa jadi teman yang baik.

"Hummh."

Selesai obrolan singkat itu, aku segera pulang. Badan sudah pegal-pegal, bau pula. Semua gara-gara Saras yang bilang mau loncat dari jembatan kalau aku enggak segera datang.

Bodohnya malah aku percaya. Padahal nih ya, logika saja. Jangankan lompat dari jembatan, dia kepleset kulit pisang saja sudah minta MRI takut gegar otak.

Oke, rencanaku adalah rapikan tas dan sepatu buka baju, mandi pakai air hangat.

Baru sampai pada tahap meloloskan kemeja dari tubuh, aku dapat pesan dari bos.

'Kamu sudah buat konsep promo, 'kan?'

Mulutku menganga baca sebaris kalimat barusan. Duh, lupa. Kayaknya itu belum aku selesaikan. Eh, tapi, 'kan, dia minta siang tadi. Ya wajar dong kalau belum selesai.

Tapi, bosku ini kayak setan. Dia enggak bakal terima alasan apa-apa. Aku bisa dibebani tugas seabrek kalau berani bilang ini belum diselesaikan.

Aku balas, 'Sedang saya kerjakan, Pak.

'Berapa persen progres?' Hah! Kelihatannya aku tadi salah omong, sampai malah ditanya kayak gini. Oke, aku bakal hati-hati biar nggak kena jebak lagi.

'Delapan puluh persen, Pak.'

'Sedikit lagi berarti. Kalau begitu, saya tunggu malam ini juga dikirim!' Aku mendapat balasan yang sama sekali bukan harapanku

Ya, bagian kesialan lain yang harus aku hadapi. Niat mau mandi santai-santai, menenangkan pikiran, nyatanya malah harus buru-buru demi bisa mengerjakan tugas dari bos.

Sembari mengunyah roti tawar yang dioles pakai mentega dan juga Nutella, aku fokus mengerjakan konsep promo yang diminta. Untung tinggal penyempurnaan, jadi dalam setengah jam sudah bisa kirim. Selesainya, matikan tab, menuju tempat tidur nonton drama. Sebelum aku akhirnya enggak kuat buka mata lalu tidur dan bangun di pagi hari memulai aktivitas seperti biasa.

"Mana konsep promo yang kemarin saya suruh kamu untuk kirim? Ini saya ubek-ubek email, nggak ada." Aku yang masih tenang duduk di ruang kerja, menyelesaikan pekerjaan malah disembur bos begini.

"Udah saya kirim, Pak, semalam," jawabku.

Dia ngotot. "Nggak ada."

Si Bos. Namanya Dilan. Jangan kalian pikir kalau dia adalah sosok pria berwajah ganteng, agak bad boy, terus punya sejuta kata romantis. Pih! Buang jauh-jauh pikiran itu.

Serius, dia itu cuma seonggok daging tanpa hati yang dianugerahi wajah oke dan juga uang yang banyak. Tuhan, pasti lagi baik-baiknya waktu orang tua Dilan ena ena kerja sama bikin dia.

"Nara!" Aku dibentak lewat sambungan intercom. "Kamu ini dengerin saya ngomong apa nggak? Bengong kamu, jangan-jangan kamu melamun, ya!"

His! Si An—

Sabar Nara. Aku hampir saja mengumpat kata anjing untuk bos sialanku itu. Dia kayaknya enggak punya perasaan. Tahu aku ini baru magang tiga bulan, tapi langsung dikasih kerjaaan yang levelnya sudah sama kayak profesional lima tahun. Orang Mbak Titi tanpa DJ, rekan kerjaku yang sudah dua tahun di sini urusannya ke manajer, kok. Lah, kenapa aku yang  anak baru malah harus langsung ke dia?

"Iya, Pak, sabar," kataku semanis mungkin bagaikan gula dicampur cuka. "Ini saya lagi cek cek lagi email saya. Nah, buktinya sudah terkirim, Pak."

"Tapi, nggak masuk di saya!"  Bos bebas marah-marah pada karyawan.

"Ya, masa bisa eror gini sih, Pak?" aku juga nggak  paham kenapa nasibku sesial ini

"Ngapain kamu nanya saya?"

Oh, bedebahnya mahluk satu ini. Aku yang semula enggak punya kosa kata bahasa kasar, sejak kenal dengan Ibrahim Dilan Waldetra. Kerjaan dia yang setiap hari marah-marah denganku, membuat aku selalu memiliki umpatan untuknya.

"Oke, Pak. Saya ke ruangan Bapak sekarang."

Aku bergegas ke ruangan bos dengan membawa USB yang sudah ada data untuk diserahkan padanya.

Ketuk pintu dulu, cek aroma mulut, menunggu dipersilakan masuk, baru aku melongokan kepala. "Permisi, Pak."

"Nggak usah basa-basi, duduk sini, cepetan!" Duh, dia mencret atau apa, sih, sampai aku harus diburu-buru begini.

Duduklah aku di kursi panas tanpa uang dua miliar itu. Dengan hati-hati menyerahkan USB.  "Ini, Pak. Hasil kerja saya ada di file promo digital."

"Repot. Belum tentu juga USB kamu bebas virus."

Sabar. Ingat Nara, dia ini atasan. Tolong jangan colok lubang hidungnya, demi kemaslahatan dompet Anda sendiri

"Loh, tadi Bapak bilang nggak masuk email Bapak." Tentu harus aku ingat lagi alasanku bisa sampai di sini.

"Kirim pakai WA juga bisa, 'kan?" Oh, Dilan ini.  Kenapa dia nggak bilang dari tadi.

"Saya kira itu nggak sopan."

Dilan cuma menggeleng. "Kirim buruan!" perintahnya.

Biar hidupku aman, segera aku kirim. Begitu masuk datanya, dia buka dan periksa di komputer kerja.

"Kamu boleh keluar."

"Iya, Pak." Aku mengangguk. Dengan anggunly dan slay pergi.

Sialnya, baru dua langkah Dilan malah mengoceh. "Ini yang kamu bilang konsep promo?"

"Hah?" Aku bengong

"Duduk sini lagi, saya ajarkan ke kamu gimana buat konsep promo itu!"

Ah, alamat ini aku dapat siraman rohani.





























Mantra Cinta Untuk DilanWhere stories live. Discover now