23. Curiga || 1200 Detik ⏲

502 121 21
                                    

3 bulan berlalu...

Hari minggu, hari dimana semua Orang bebas dari pekerjaan mereka. Maka dari itu Pagi itu Raharja mengajak Al untuk berkeliling komplek untuk mencari udara segara, dan juga agar Aldebaran tidak merasa bosan.

Raharja memberhentikan kursi roda Al di sebuah taman komplek yang tumben sekali sepi di hari minggu itu. Raharja mengatur rem kendali pada mursi roda itu agar tidak bergerak dengan sendirinya. " Nah tempat ini sejuk, bagus untuk kamu Al " Ucap Raharja.

Aldebaran menatap Raharja. " Al semalem ngga sengaja baca chat mama sama papa " Al tersenyum kecil. " Mama malu ya, karena berita soal Al sudah tersebar di media " ucap Aldebaran.

Raharja nampak kaget dengan yang di ucapkan oleh Aldebaran, namun ia berusaha untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Raharja tidak ingin Al kembali banyak fikiran dan akan mempengaruhi kesehatan mental nya.

Mental anak nya ini sudah rusak. Raharja hanya tak ingin mental anaknya semakin hancur. Apalagi dihancurkan oleh ibunya sendiri. " buat apa Al lahir pah ? " pertanyaan menyakitkan itu keluar dari Aldebaran.

Tangan Ragarja bergerak menyetuh dada Aldebaran.
" Disini sakit ya ? " tanya nya. Dengan senyuman khasnya Raharja tersenyum pada Aldebaran. " Papa yang akan obatin luka nya " Jelas Raharja.

Hati siapa yang tak tersentuh mendengar itu ? Hati anak mana yang tidak terenyuh mendengar nya. Memang Raharja juga sempat menjadi luka bagi Al. Namun kini Raharja juga menjadi sebuah obat bagi Aldebaran.

" Semuanya sudah rusak pah " ucap Aldebaran.

" Ini " ucap nya seraya menyentuh bagian perut nya.

" ini " lanjutnya seraya menyentuh kakinya.

" Dan ini pah, yang sudah sangat dalam lukanya. Bahkan sampai Al audah tidak tahu bagaimana cara mengobati nya " lanjut Al seraya menunjuk dadanya, mengisyaraykan bahwa luka di dalam hati nya sudah sangat dalam.

Air mata Raharja pun jatuh begitu saja. " Aku dan Ardikta sama-sama lahir dari rahim mamah pah ? Tapi kenapa seakan-akan ada perbedaan kasta antara aku dan Ardikta ? " pertanyaan itu semakin menyakiti hati Raharja.

" Sudahlah Al. Biarkan saja mama mu itu. Papa juga sudah lelah menanggapi setiap tingkah nya. Yang terpenting sekarang, kamu ada disini sama papa " balas Raharja.

Al mengukir senyum, sesekali ia mengatur nafasnya mengambil udara segar di taman pagi itu. Setelah perjalanan panjang penuh luka, akhirnya hari ini ia bisa kembali bersyukur pada Tuhan karena masih memberikan ia kebebasan untuk tetap bernafas dengan bebas.

Tak pernah ia bayangkan, jika suatu saat nanti ia harus bernafas dengan sebuah alat di tubuhnya. Apakah mungkin ia masih bisa mensyukurinya kelak ?. Tetapi jika saat itu terjadi, dan bisa membuat sang mamah datang padanya, lalu memeluk dirinya, apakah boleh ia mengharapkan saat itu tiba ?.

Saat-saat dimana harapan nya sejak kecil akan tercapai ? Apakah boleh ia berharap demikian ?.

. . .

Sepi, dan hampa. Itulah yang Andin rasakan kini semenjak hampir 4 bulan lamanya ia tidak bertemu dengan Aldebaran, dan tanpa berkabar dengannya. Berbagai cara ia lakukan untuk mendapatkan informasi mengenai Aldebaran, namun semuanya nihil tak ada seujung kuku informasi yang ia dapatkan mengenai Sahabat nya itu. Andin mengambil sebuah figura foto diatas meja kecil di kamar nya. Sebuah foto yang menjelaskan dirinya sedang duduk di tepian danau bersama laki-laki berkulit sawo matang, yang akrab ia sapa dengan panggilan Paijo.

Jari jemari lentiknya mengusap foto itu. Tanpa disadari air matanya pun jatuh. " Jo, kamu dimana ? apa kamu baik-baik aja. Aku kangen main sama kamu " tanyanya yang tentu tak ada jawaban dari sosok yang ada di dalam foto itu. Kembali benaknya teringat akan hari dimana Aldebaran menyatakan perasaan yang sebenarnya kepada dirinya. Namun ia menolak nya. Sungguh ada penyesalan terdalam di hati Andin. Menyesal karena ia telah berbohong kepada perasaannya sendiri. Berbohong kalau ia juga mencintai Al, berbohong kalau ia juga menyayangi Aldebaran, demi kriteria nya.

1200 Detik [ End ] ✅Where stories live. Discover now