24. Surat

18 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Nesa terjingkat kaget setelah kembali dari toilet saat melihat kondisi Mona yang sepuluh menit lalu masih kehilangan kesadaran di brankar UKS. Nesa lantas cepat menghampiri gadis itu, Mona yang menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Mona, lo udah bangun?" Pertanyaan yang tanpa disuarakan pun sudah menemukan jawabannya.

Isak tangis yang justru menjadi sahutan. Nesa panik dibuatnya, tubuh gadis itu langsung merunduk dengan kedua tangan mencekal bahu Mona.

"Ada yang sakit, ya?" tanyanya khawatir.

Namun, Mona tak mau menjawab, terus menangis tanpa sebab.

"Bagian mana yang sakit?" Rupanya Nesa tidak menyerah.

Gelengan kepala yang Mona beri, menolak opini tersebut.

"Bohong. Pasti ada yang sakit, ‘kan? Atau kakinya, ya, sakit? Mmm ... kepala?”

Sekali lagi Mona hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Nesa menjauhkan diri, menggaruk kepalanya yang tak gatal, kebingungan sendiri. "Ya terus kenapa nangis? Kan, gue jadi panik, takut lo kenapa-kenapa. Mana sekolah udah sepi lagi," cibirnya sembari menilik arloji di pergelangan tangan. "Duh, setengah empat. Bentar lagi sekolah mau ditutup," gerutu Nesa cemas.

Perlu diketahui, setelah tragedi pembunuhan Kai, para murid hanya boleh berkeliaran di sekolah sampai pukul empat sore saja. Meski melakukan ekstrakulikuler sekalipun, jika di jam yang sudah ditentukan belum juga hengkang dari sekolah, akan mendapat surat peringatan.

"Mona, beneran lo nggak apa-apa?" tanya Nesa memastikan.

Setelah kebingungan menimpa Nesa, akhirnya telapak tangan turun dari wajah Mona. Gadis itu juga meredakan tangisannya. "Nesa, boleh minta bantuan?" pintanya.

"Iya, iya boleh. Tapi yang cepet, ya. Udah jam segini nih," ucapnya tak sabaran.

"Tolong ambilin tongkat—"

Belum selesai kalimat Mona tersuara, Nesa sudah menyerahkan tongkat kruk pada pemiliknya. "Ada lagi nggak?"

"Bangunin a—"

"Sini, sini."

Dengan telaten, Nesa membimbing Mona sampai duduk menyamping di tepi brankar.

"Lagi nggak?" tawar Nesa.

Mona mengangguk, lalu menyempatkan diri untuk menghapus bercak air mata. "Anterin aku sampai gerbang. Kayaknya ojek langganan aku udah nunggu lama."

"Lho, mau pulang sendiri?"

"Iya, Nesa. Aku biasa pulang sendiri."

"Tahu, kok, gue. Tapi, kan, ini posisinya lo habis pingsan."

"Nggak apa-apa. Kepalaku juga udah nggak sakit lagi."

In The RefrigeratorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang