20. Bukan Emil

11 2 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




Langkahnya terayun lebar usai keluar dari satu ruangan tidak berisi orang yang hendak ia temui. Tubuhnya kini sudah menghadap sebuah meja informasi bangsal dengan seorang perawat wanita di depannya.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya perawat itu sopan.

Dengan perasaan campur aduk, pria itu, Emil, menjawab, "Kamar 16 kenapa ganti pasien?”

"Karena pasien sebelumnya sudah pulang, jadi diisi dengan pasien baru, Pak."

Kedua alis Emil hampir bertaut saat mendengar jawaban serupa. "Kok, bisa?! Mona kenapa bisa pulang?"

Si perawat tersenyum kikuk. "Bisa, Pak, kalau Dokter yang bertanggung jawab sudah memberikan izin pulang."

"Saya juga tahu. Tapi, kan, ini ... dia tersangka pembunuhan, Mbak." Emil sungguh terkejut mengetahui kabar ini. Terakhir kali mengunjungi Mona, kondisinya masih jauh dari kata baik. Tapi selang beberapa hari, tahu-tahu dokter sudah memperbolehkan pulang.

"Itu di luar kemampuan saya untuk menjawabnya, Pak," ucap perawat itu.

Emil menyugar rambutnya ke belakang. "Kapan hari kepulangannya?" tanyanya mencoba mengendalikan emosi.

Perawat itu sontak balik badan, memilah-milah berkas di lemari, lantas menghadap Emil lagi usai mendapatkan apa yang dicari. "Saya lihat dulu, ya?"

Emil menunggu dengan sabar, meski dalam hati sedang bertarung ingin cepat mendapatkan informasi.

Kepala si perawat mendongak. "Nona Mona pulang kemarin, Pak," katanya sesuai tulisan dari kertas dalam

"Tangannya masih diborgol nggak?"

"Kurang tahu saya, Pak. Saya baru aja dipindah tugaskan ke bangsal ini," jawab si perawat dengan senyum tak enak.

Decakan sontak keluar dari mulut Emil. "Makasih, Mbak,” ucap pemuda itu tulus.

Tubuh perlahan menjauh dari meja informasi. Tepat di pintu keluar-masuk bangsal, sebuah benda pilih persegi panjang ia keluarkan dari dalam saku kemeja.

Jemari Emil menari di atas keyboard kecil, mengirim sebuah pesan kepada detektif Ari.

Pak Ari
Mau nanya

Emil menurunkan gawainya, lantas menepi dahulu saat ada ibu-ibu dengan banyak barang bawaan di jinjingan tangan hendak masuk. Pemuda itu kembali menatap ponsel, namun pesannya belum juga dilihat.

Pak, penting

Pesan kembali dikirimkan, tapi beberapa menit berlalu belum juga menerima balasan. Alhasil, karena tidak ada pilihan lain, ikon telepon genggam di sudut kanan atas ia sentuh. Masa bodo jika nanti dicap tak sopan.

Ternyata bukan hanya pesan yang detektif itu abaikan, juga panggilan suara. Emil dibuat banyak menggerutu pagi hari ini.

Sekali lagi, panggilan suara dilakukan. Dering pertama diabaikan, kedua, sampai menuju deringan berakhir barulah telepon genggam itu mengeluarkan suara pria dari seberang sana.

In The RefrigeratorWhere stories live. Discover now