21. Investigasi II

58 9 0
                                    

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.



Di posisi duduk membungkuk, Seno yang tangannya beberapa menit lalu terpasang borgol kini berada di ruang investigasi video. Tak berselang lama, pintu terbuka, menampilkan detektif Ari bersama laptop dalam apitan lengannya.

Semestinya Seto yang menangani guru sains tersebut, namun detektif itu menyerahkan sepenuhnya kepada Ari sebagai bentuk permintaan maaf setelah menutup mata dan telinga tentang kemungkinan mereka salah menangkap tersangka.

Kini, detektif senior itu tengah berdiri bersama rekan-rekan setimnya, menyaksikan dua orang berbeda status lewat kaca satu arah.

"Saudara Seno Adjidarma, apa kabar?" sapa Ari usai menempatkan diri di sebuah kursi yang menjadikan posisi mereka saling berhadapan.

Kepala terangguk sekali dengan lemah. "Baik," jawabnya dengan suara samar.

Tentu saja Ari tahu jawaban itu hanya sekadar formalitas. Seno berdusta, bahkan anak kecil yang masih polos saja tahu jika ucapan guru ini hanya ucapan tanpa makna.

Saat Seno tanpa diduga menyerahkan diri, kondisinya jauh dari kata baik. Pakaiannya begitu lusuh, kerah kemeja tidak terlipat dengan benar. Juga, wajahnya yang tampak pucat dengan bibir pecah-pecah seolah tidak makan dan minum beberapa hari.

"Saudara Seno, lihat saya," titah Ari.

Kepala dengan rambut urakan itu tidak memenuhi perintah, Seno justru melempar pandangannya ke sudut ruangan. Alhasil, sukses membuat Ari tertarik mengikuti arah pandang Seno.

Kosong. Tidak ada apa-apa di sana. Seno dengan cara memandangnya yang begitu dalam seolah mengatakan, "Aku kesepian."

Brak!

Ari menggebrak meja untuk sekadar mengembalikan fokus Seno. "Lihat saya, Pak Seno," perintahnya sekali lagi.

"Seno." Ari memperingati kala kembali diabaikan, menyebut tanpa embel-embel yang biasa ia gunakan.

"Kalau terus seperti ini, tujuan menyerahkan diri itu apa, hah?" Rupanya kesabaran Ari sedikit demi sedikit terkikis.

Akhirnya, Seno kalah dari ego. Guru sains itu perlahan mengangkat kepalanya, memandang Ari dengan sorot tenang. "Pak, langsung jeblosin saya ke penjara aja boleh nggak?" pintanya di luar nalar.

Ari menukikan alisnya. "Bapak sadar dengan apa yang baru saja dikatakan, 'kan?"

Seno mengangguk-anggukkan kepalanya mantap. "Saya nggak mau kesepian, Pak. Anak-anak saya memilih pergi dan wanita yang saya cintai juga ikutan pergi. Jadi, nggak ada alasan untuk saya bahagia sendirian."

"Anak-anak?" beo Ari.

Saat sadar siapa yang dimaksud ‘anak-anak’, detektif itu membelalak matanya. Ari sontak berdiri, menggebrak meja tak kalah kencang dari sebelumnya. "Manusia biadab! Jadi, emang lo yang himilin Kaina?!" marah Ari, sampai tak dengan cara bicaranya.

In The RefrigeratorUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum