33. Putus Asa

302 33 3
                                    

"Ini semu salahku," ucap Sudewi sambil tertunduk, merasa menyesal atas sikapnya yang kasar terhadap Abimana.

Jika saja ia mencoba memaafkan Abimana, laki-laki itu tak akan berakhir seperti ini. Ini semua adalah salahnya, begitulah kalimat yang sekarang tengah memenuhi isi hatinya.

Chitra menyeka air matanya. Ia sangat sedih atas meninggalnya Abimana. Bagaimana tidak, ia telah kehilangan sahabat lamanya yang sangat baik. Tidak membenarkan apa yang telah diperbuat laki-laki itu, tetapi tetap saja Abimana adalah lelaki yang baik, sangat baik, hingga saja cinta membuatnya demikian.

Ia putus asa.

"Kau tahu, aku sangat terkejut mengetahui bahwa Abimana mengajakmu ke tebing."

Sudewi terdiam dan mendengarkan apa yang diucapkan oleh gadis yang duduk di sampingnya.

"Kau tahu tentang tebing itu?" tanya Chitra yang dibalas oleh gelengan kepala. Mengetahui tempat itu saja saat ia pergi bersama Abimana dulu.

"Tebing itu mempunyai sejarah tersendiri. Jika kau datang bersama orang yang kau cintai, maka kau akan menjadi pasangan hidupnya. Begitulah apa yang kami ketahui—

"Namun, sepertinya hal itu hanya mitos, bukan?" Sudewi meneteskan air matanya untuk kesekian kalinya. Ia tidak percaya dengan tebing itu. Buktinya, dirinya dan Abimana kini berpisah untuk selamanya.

Setelah bertemu dengan Chitra, Sudewi memutuskan untuk mengunjungi tebing itu lagi. Ia ingin merasakan kembali tempat terakhir di mana ia dan Abimana masih berhubungan baik, mengingat kembali kenangannya bersama lelaki itu.

Sudewi berjalan menatap pemandangan di depannya. Ingatan tentang ucapan Abimana muncul di benaknya.

tutup matamu dan katakan apa yang kau inginkan.


"Aku ingin kau kembali, Abimana! Aku ingin kau kembali!" teriak Sudewi mencoba meluapkan kesedihannya. "Kumohon kembalilah... Kau bilang tidak akan meninggalkanku! " Sudewi roboh. Ia tak bisa menahan tubuhnya lagi yang kini terasa berat.

Para dayang yang tadinya menunggu dari kejauhan bersama pengawal kini menghampiri Sudewi dan meminta perempuan itu untuk kembali ke kereta kuda karena hari mulai gelap ditambah awan mendung menyelimuti langit. Bukannya menurut, tetapi Sudewi malah menyuruh para dayang itu untuk menjauhinya. Alhasil, para dayang tersebut kembali ke tempatnya dengan berat hati.

"Ampun, Ndoro, Ndoro sebaiknya segera naik ke kereta kuda, hari sudah gelap, alangkah lebih baik kita kembali ke keraton," ucap salah seorang pengawal dengan sedikit ragu karena kondisi Sudewi sedang tidak baik-baik saja.

Sedewi mengusap air matanya dan menjawab, "beri aku waktu sebentar lagi."

Pengawal itu awalnya ragu, tetapi Sudewi tidak menunjukkan tanda-tanda untuk bangkit dan tidak kngin diganggu. Dengan terpaksa, pengawal kerajaan itu menunduk hormat, lantas berbalik untuk memberi waktu tuan puterinya.

Sudewi yang masih duduk bersimpuh di tanah menatap pandangan di depannya, pemandangan ujung tebing yang mengerikan. Ia bangkit perlahan. Arah pandangnya lurus ke depan dengan kedua tangan terkepal. Ia mulai melangkah. Setiap tanah yang dipijaknya seolah-olah menghadirkan kembali ingatan tentang Abimana.

Impian kecil dari laki-laki itu...

"Mungkin aku tidak bisa menjadi seorang raja ataupun bangsawan, tetapi aku bisa menjadi prajurit seperti mereka,"

...ucapannya yang tak jarang membuat Sudewi kesal.

"Aku sangat mengenalmu, Dewi. Melihat matamu saja, aku sudah tahu bahwa itu kau. Bahkan, melihat tubuhmu saja aku sudah tahu bahwa itu kau. Kau kan gemuk,"

"Jangan tersenyum. Kau sangat jelek!"

... dan ingatan saat Abimana mengajaknya ke tebing ini untuk pertama kalinya.

Sudewi mencengkeram jariknya sambil menggigit bibir bawah. Ia benci dengan dirinya karena tidak menepati janji.

"Tidak bisa. Selama kau menjadi prajurit Bhayangkara, aku akan selalu mencemaskanmu, Abimana. Lebih baik sebuah ketapel di tanganmu daripada keris."

Ia tidak benar-benar menjaga laki-laki itu.

Sungguh, Sudewi menyesal. Andai ia diberi kesempatan untuk mengulang sejak awal, ia akan memilih Abimana. Seandainya ia lebih peka, mungkin Abimana masih ada sampai saat ini.

Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu, Abimana. Sungguh, aku ingin kita dapat bertemu kembali, sehingga aku bisa memperbaiki semuanya.

Tangannya yang gemetaran, mengusap air mata yang membasahi pipi. Ia memejamkan matanya, lantas berlari ke depan. Sontak, suara teriakan menggema di tebing tersebut.

***

PadukasoriWhere stories live. Discover now