24. Dilanda Rasa Kecewa

621 117 2
                                    

"Kau tak mungkin menyukaiku."

Pandangan Abimana kini teralihkan. Ia menghela napas panjang. "Jangan hiraukan apa yang dikatakan Sudewi kepadamu. Aku berbohong kepadanya."

Arunika sudah menduga Abimana berbohong kepadanya. Mana mungkin laki-laki tengil itu menyukainya.

"Kau sungguh berubah. Ototmu sudah tidak seperti otot ikan." Arunika tersenyum mengejek, namun tak bisa dipungkiri dia juga kagum. Merasa tak percaya.

Abimana hanya terkekeh. Ia sangat ingat saat Arunika mengejeknya dulu.

"Sekarang ini, ada banyak hal yang ingin kutanyakan kepadamu." Arunika menatap kesal.

"Pastikan pertanyaanmu itu sangat penting," balas Abimana yang membuat Arunika berdecak sebal. Sudah dewasa, laki-laki itu tetap membuatnya kesal. Apa kabar Sudewi yang selama ini selalu berada di dekat laki-laki itu? Pasti hampir stress.

Arunika bergumam, sebelum akhirnya ia membalas.

"Baiklah. Pertanyaanku hanya satu. Kenapa kau bilang kepada Sudewi bahwa dirimu menyukaiku?"

Abimana terdiam sejenak. Terlihat sekali ada sesuatu yang disembunyikan oleh laki-laki itu.

"Aku hanya berniat menjahilinya. Itu saja," balas Abimana. "Aku harus pergi sekarang. Senang berjumpa denganmu lagi, Aru."

Setelah mengatakan hal itu, Abimana benar-benar pergi meninggalkan taman keraton. Kemudian, pergi melewati gapura depan dan menghilang dari pandangan Arunika.

***

Saat berjalan meninggalkan keraton, netra hitam Sudewi tak sengaja mengarah ke paseban. Di sana terdapat Hayam Wuruk yang tengah bercengkrama dengan Pancaksara, Dharmadyaksa kasogatan sekaligus pujangga istana.

Sudewi menjadi teringat. Buku yang kemarin ia beli belum ia berikan kepada Hayam Wuruk.

Tak mau berpikir lama, dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan menuju kamar yang letaknya cukup jauh dari halaman keraton.

Setibanya di kamar, ia berjalan menuju meja yang ada di samping tempat tidur. Ia tersenyum mendapati bungkusan kain yang di dalamnya terdapat buju yang ia beli di pasar. Dengan keyakinan yang kuat, ia membawa buku itu ke pendhopo.

Setibanya di pendhopo, Sudewi menghela napas. Mengumpulkan rasa keberaniannya.

Saat Sudewi melangkahkan kaki ke undhag-undhagan pendhopo, Pancaksara menoleh.

"Kalau begitu, hamba ijin undur diri, Baginda," ucap Pancaksara dengan sopan dan menundukkan kepalanya.

"Baiklah," balas Hayam Wuruk yang berdiri di depan pembesar agama budha Majapahit.

Setelah itu, Pancaksara berjalan keluar pendhopo. Ia menunduk hormat saat berpapasan dengan Sudewi. Sudewi membalasnya dengan senyuman.

Hayam Wuruk yang hendak membaca lontar-lontar mengenai laporan yang masuk dari Pancaksara, terpaksa tertunda saat melihat Sudewi berjalan ke arahnya.

"Selamat pagi, Baginda," sapa Sudewi sopan seraya menunduk hormat.

Hayam Wuruk hanya memperhatikan. Namun, tak lama kemudian ia kembali menunduk menatap lontar-lontar di tangannya. Tak tertatik dengan kehadiran gadis cantik itu.

Sudewi bingung sekarang. Bagaimana ia memulai ajakannya untuk bercengkrama. Dilihat dari kondisi, laki-laki itu terlihat sangat sibuk. Karena tak mau membuang kesempatan, Sudewi memberanikan diri untuk bersuara.

"Apakah Baginda mempunyai waktu luang?"

"Tidak," balas Hayam Wuruk cepat yang membuat Sudewi mendongak dan tekejut sedikit. Laki-laki itu menjawab tanpa berpikir terlebih dahulu.

Sudewi terdiam. Ia bingung. Apakah sebaiknya ia pergi atau tetap tinggal? Laki-laki itu selalu menolaknya untuk berbicara, sangat berbeda dengan Abimana yang sering mee
njahilinya dan mengajak berbicara, bahkan sering mengajaknya pergi.

Ia menjadi ragu tentang lontar-lontar balasan dari Hayam Wuruk. Apakah benar laki-laki itu yang membalasnya?

"Baiklah, Baginda. Tapi, bolehkah hamba bertanya sesuatu?"

Tidak ada balasan. Laki-laki itu masih fokus dengan kegiatannya.

Sudewi mengatupkan bibirnya, lantas berbicara dengan hati-hati.

"Tentang lontar-lontar itu-"

"Bukan aku yang membalasnya."

Bagai petir di siang bolong, tentu balasan dari Hayam Wuruk membuatnya tersentak. Itu tidak mungkin.

"Baginda bercanda, bukan?" Sudewi masih berpikiran postitif dan tertawa renyah. Ia menganggap hal itu candaan dari sang maharaja.

"Apakah aku pernah bercanda?" Laki-laki itu menatap Sudewi dengan tatapan dingin.

Tidak, sama sekali tidak pernah. Seumur hidup Sudewi tak pernah melihat laki-laki itu bercanda ataupun berbohong.

Lalu, siapa yang selama ini membalas surat-suratnya.

"Lantas..." lirih Sudewi yang kini tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Pikirannya kian berkecamuk.

"Nertaja."

Tentu hal itu membuatnya semakin terkejut. Ia tidak memyangka jika selama ini dirinya berkirim surat dengan Nertaja. Kenapa sepupunya itu tega berbohong kepadanya?

Ia tak bisa marah. Hanya rasa kecewa yang ada pada dirinya. Ia sungguh tak menyangka Nertaja tega membohoninya.

Sudewi tersenyum tipis, walaupun rasanya bibirnya terasa kaku. "Kalau begitu, hamba undur diri, Baginda."

Sudewi menunduk hormat dan kembali dengan perasaan kecewa. Jadi, Hayam Wuruk tak memiliki perasaan apapun kepadanya. Selama ini pikirannya salah. Semua kata-kata manis yang tertulis di lontar-lontar itu bukan berasal dari Rajasanagara.

Abimana, aku sangat membutuhkan-
mu.

PadukasoriWhere stories live. Discover now