20. Urusan Hati

523 106 2
                                    

Matahari telah condong ke arah barat. Sudah waktunya dirinya pergi ke pasar bersama Abimana. Penampilannya sederhana, layaknya rakyat biasa. Tak lupa memakai selendang berwarna kuning untuk digunakan sebagai tudung kepala.

Ketika hendak melewati gapura belakang keraton, ada seseorang yang memanggilnya.

"Dewi!"

"Dewi, kau mau kemana?"

Sudewi menoleh. Dilihatnya Nertaja tengah berjalan cepat ke arahnya.

"Kau hendak pergi ke mana?" tanyanya lagi.

Sudewi berpikir sejenak. Apakah ia harus memberitahu jika dirinya akan pergi ke pasar? Sepertinya tidak apa-apa.

"Aku akan pergi ke Pasar," balas Sudewi.

Kedua mata Nertaja berbinar-binar. "Boleh aku ikut denganmu?"

Langsung saja Sudewi menggeleng. Melarang sepupunya ikut.

"Ayolah, Dewi. Aku sangat jarang berjalan-jalan di luar istana."

Menghela napas berat, Sudewi mengangguk. "Baiklah. Kau boleh ikut."

Wajah Nertaja kembali ceria." Kalau begitu, tunggu sebentar. Aku harus berganti pakaian."

"Baiklah. Tapi ingat, jangan terlalu lama."

"Tenang, aku akan bergegas."

Nertaja pun pergi meninggalkan Sudewi yang berdiri di dekat gapura pintu belakang keraton.

Seperti janjinya Nertaja, gadis itu kembali dalam waktu yang lumayan cepat. Penampilannya sama seperti Sudewi. Sederhana, tidak ada perhiasan di tubuhnya.

"Nimas hendak kemana?"

Sudewi dan Nertaja berbalik. Ternyata di belakangnya adalah Gajah Enggon. Seorang pemimpin pasukan banyangkara yang mendapat gelar sinopati.

"Kami akan berjalan-jalan," balas Sudewi yang tersenyum simpul.
Di dalam hati ia berharap, semoga Sinopati Gajah Enggon tidak mencegahnya.

"Kalau begitu, biar hamba antar, Nimas."

Sudewi menggeleng." Itu tidak perlu, Paman. Kami pergi bersama salah satu prajuritmu. Abimana. Dia akan menjaga kami berdua," balas Sudewi.

Gajah Enggon berpikir sejenak. Kemudian, ia mengangguk mengerti. Ia mengenal Abimana. Semua orang di istana juga tahu, seberapa dekat prajuritnya itu dengan Sri Sudewi.

"Baiklah, Nimas. Semoga kalian berdua menikmati perjalanan kalian."

Sudewi tersenyum lega. Kemudian, ia dan Nertaja berjalan meninggalkan Patih Gajah Enggon menuju depan gapura belakang keraton. Ia sudah meminta Abimana menunggu di sana.

Sudewi tersenyum saat mendapati sebuah kereta pedati berada tak jauh darinya. Di atas kereta berkuda itu ada seorang laki-laki bertubuh tegap. Ialah Abimana.

Mengetahui seseorang yang sejak tadi ia tunggu-tunggu telah datang, Abimana turun dari kereta. Ia menghampiri Sudewi dan Nertaja yang berdiri bersisian, lantas ia menunduk hormat. "Selamat sore, Nimas."

"Sore, Abimana," balas Nertaja sambari tersenyum. "Tidak apa-apa kan jika aku ikut pergi bersama kalian?"

"Tentu saja, Nimas," balas Abimana tanpa merasa keberatan.

"Oh... syukurlah. Aku takut mengganggu waktu kalian nanti," balas Nertaja yang membuat dirinya ditatap tak mengerti oleh Abimana dan Sudewi. Nertaja hanya terkekeh melihatnya.

"Jadi, kapan kita berangkat?" tanya Nertaja yang membuat lamunan Abimana terbuyarkan.

"Mari, Nimas." Abimana berjalan menuju kereta pedati, diikuti oleh Sudewi dan Nertaja.

PadukasoriWhere stories live. Discover now