14. Bertemu

582 130 4
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Kudamerta beserta keluarganya yaitu Rajadewi, dan Sudewi berangkat menuju ibukota Majapahit menggunakan kereta pedati yang dijalankan oleh Admajaya.

Perjalanan dari Daha menuju Majapahit cukup lama. Walaupun begitu, Sudewi menikmati perjalanannya. Ia memandangi hamparan persawahan yang ada di kiri-kanan jalan.

Kedua mata gadis itu berbinar saat melihat benteng yang terbuat dari batu bata merah dari kejauhan. Terlihat kokoh. Itu adalah gapura masuk ibukota Majapahit.

Beberapa saat kemudian, kereta pedati berjalan ke arah benteng bertembok batu merah itu. Tinggi dan terlihat gagah mengitari ibu kota Majapahit. Walaupun sering datang ke Majapahit, Sudewi selalu kagum dengan keindahan kerajaan itu. Melewati lapangan luas yang dikelilingi oleh parit.

Barulah kereta pedati yang membawa keluarga Kudamerta berhenti di depan gapura masuk keraton Majapahit.

Sudewi turun dari kereta pedati. Kaki jenjangnya menapaki tanah. Menghela napas panjang, ia membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan akibat tertiup angin saat di perjalanan. Mendadak ia menjadi gugup.

Dua prajurit keraton mengawali langkah mereka menuju dalam istana.

Sudewi tak henti-hentinya menatap ke arah kanan dan kiri. Semua orang terlihat dangat sibuk. Dilihatnya di balai witana, terdapat para pelukis yang menghias singgasana raja. Dihias sebagus mungkin.

"Kalian masuklah, aku akan ke sana sebentar," ucap Kudamerta saat melihat Mahapatih Mada yang ada di dalam balai witana, mengawasi jalannya persiapan upacara srada besok.

Rajadewi dan Sudewi kembali melanjutkan langkah dengan dikawal dua prajurit. Mereka memasuki istana.

Namun, sepertinya harapan Sudewi untuk bertemu dengan Hayam Wuruk hari ini tidak terkabulkan. Ia tidak melihat batang hidung laki-laki itu di istana. Sepertinya laki-laki itu tengah sibuk menyiapkan upacara srada besok.

"Kukira Yunda yang akan mengadakan pesta srada untuk mendiang ibunda," ucap Rajadewi yang kini duduk berhadapan dengan Tribhuana, kakaknya.

"Tidak. Aku meminta Hayam Wuruk yang mengadakannya karena aku tahu, mendiang ibunda sangat dekat dengannya."

Karena bosan dengan pembicaraan Tribhuana dan ibunya, Sudewi memilih untuk berjalan-jalan di keraton, siapa tahu nanti ia akan bertemu dengan Hayam Wuruk.

Sepertinya, kali ini takdir memihaknya. Dilihatnya baginda raja baru saja kembali ke keraton. Laki-laki tampan nan berwibawa itu diikuti oleh empat prajurit.

Dalam kejauhan, Sudewi mendadak bimbang. Apakah tidak apa jika dirinya menghampiri Hayam Wuruk sekarang?

Menghela napas panjang, Sudewi memberanikan diri. Tak lupa memperbaiki penampilannya jika ada yang aneh.

Dengan yakin, kaki jenjangnya berjalan menghampiri HayamWuruk. Kedua tangannya meremat kain jarik yang dipakainya karena saking gugupnya.

"Selamat sore Baginda," sapa Sudewi yang kini menunduk hormat di depan Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk yang tadinya mengamati jalannya persiapan, kini menoleh ke depan. Dilihatnya, seorang perempuan berdiri di depannya.

"Selamat sore," balas Hayam Wuruk seraya tersenyum tipis yang membuat senyuman sudewi merekah.

"Bisakah, kita berbicara sebentar?" tanya Sudewi dengan sopan.

"Maaf, lain kali saja. Saat ini aku sangat sibuk," balas Hayam Wuruk yang membuat raut Sudewi berubah. Yang tadinya antusias kini menjadi lesu.

Sudewi hanya bisa bersabar. Ia memaklumi jika Hayam Wuruk sangat sibuk.

"Baiklah, Baginda. Sepertinya, kau memang sangat sibuk. Ada banyak hal yang harus kau lakukan."

"Kalau begitu, aku permisi." Hayam Wuruk beserta empat prajurit tadi berlalu, meninggalkan Sudewi di tengah halaman keraton.

Gadis itu hanya bisa memandang kecewa ke arah punggung tegap Hayam Wuruk.

Ah, ia hampir lupa. Ia harus menemui Abimana. Bukankah ia berniat mengejutkan laki-laki itu?

Melupakan penolakan Hayam Wuruk, Sudewi berjalan menuju gapura belakang keraton. Ia pergi ke barak prajurit Bhayangkara yang letaknya tepat di belakang keraton.

Setibanya di gapura barak prajurit, Sudewi bertanya kepada salah satu prajurit yang berjalan di halaman bangunan ity. Saat mengetahui yang di hadapannya adalah Sudewi- sepupu maharaja Majapahit- prajurit itu menunduk hormat.

"Apa kau mengenal Abimana?" tanya Sudewi ragu.

"Tentu hamba mengenalnya, Nimas."

"Ada di mana dia?"

"Abimana tengah latihan di belakang barak prajurit, Ndoro."

Sudewi mengangguk paham sambari melirik ke arah jalan yang ada di samping bangunan bertingkat. Sepertinya itu jalan menuju tempat di mana Abimana berlatih.

"Baiklah, terima kasih. Aku akan pergi ke tempatnya latihan. Tidak apa, bukan?" tanya Sudewi yang dibalas anggukan sopan oleh laki-laki di depannya.

Segera, Sudewi berjalan menuju tempat di mana Abimana berada. Suasana barak prajurit itu cukup sepi. Mungkin karena hampir petang, semua prajurit tengah membersihkan diri.

Setelah melewati jalan yang ada di samping barak, Sudewi melihat sebuah halaman luas yang di sekelilingnya ditumbuhi pohon brahmasthana sehingga terlihat rindang. Di tengah halaman itu, terdapat dua orang yang sedang beradu keris. Sudewi hanya bisa menatap ngeri.

Bagaimana bisa anak laki-laki yang dulunya bersenjata ketapel, kini tumbuh menjadi laki-laki gagah yang lihai memakai keris. Itu sungguh hal yang mengangumkan bagi Sudewi. Laki-laki jahil itu sungguh berubah.

Lamunan Sudewi terbuyarkan saat menyadari bahwa aksi adu keris dua prajurit gagah itu selesai. Dilihatnya Abimana berjalan menghampirinya.

Sudewi hanya bisa mengerucutkan bibir. Ia gagal untuk mengejutkan Abimana.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Abimana dengan raut heran. Sepertinya ia tidak terkejut dengan kehadiran Sudewi. Ya, mungkin saja ia sudah tahu sebelumnya jika Sudewi akan datang ke Majapahit karena keluarga baginda rajasanagara.

"Untuk melihatmu," balas Sudewi jujur. Ia menggeleng melihat keringat membasahi tubuh laki-laki tampan di depannya. "Matahari hampir tenggelam, tapi kau malah masih berlatih. Apa kau tidak lelah, ha?"

"Tidak," balas Abimana yang membuat Sudewi berdecak. Ia tahu, laki-laki itu pasti kelelahan.

Melihat peluh menetes di pelipis Abimana, Sudewi melepas selendang yang menutupi bahunya. Kemudian, ia mengusapkannya ke pelipis dan dahi Abimana.

"Apa yang kau lakukan, selendangmu akan kotor, Dewi."

Sudewi tak mendengarkan. Ia masih melakukan kegiatan.

"Untung saja upacara srada berlangsung selama delapan hari berturut-turut. Jadi, aku akan menetap di sini untuk sementara waktu, dan bisa melihat baginda raja."

Abimana hanya mendengus." Huh, bilang saja kau ingin melihatku, bukan? Rasa rindumu masih belum hilang."

"Sedikit," balas Sudewi dengan nada ketus." Munafik jika aku tidak merindukanmu, Abimana."

Abimana tersenyum.

"Jangan tersenyum. Kau sangat jelek," ejek Sudewi yang menirukan nada bicara Abimana waktu dulu.

"Ya, ya, ya ... aku memang jelek."

"Kau tidak sedih kusebut orang jelek?" tanya Sudewi sambil menahan tawanya.

"Aku mempunyai teman yang sama-sama jelek. Jadi, untuk apa aku bersedih hati?"

Sudewi mengernyit, tidak paham dengan ucapan Abimana. Detik berikutnya, ia melempar selendangnya ke wajah Abimana. Ia tidak terima jika Abimana menyebutnya "jelek".

***

Rabu, 13 Februati 2021

PadukasoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang