10. ㅣBerangkat

542 131 3
                                    

Setelah masuk ke rumah Chitra, Sudewi mengedarkan pandangan. Sepi.

Rumah yang ditempati Sudewi itu sederhana karena setelah pintu masuk, ada sebuah ruang berukuran 5x5 meter dan dua kamar.

"Maaf, Nimas, rumah hamba tidak terlalu bagus."

Sudewi menoleh. Ternyata Chitra sudah ada di sampingnya dengan membawa sebuah kain jarik berwarna coklat gelap.

"Nimas bisa memakai ini jika ingin berganti pakaian," ucap Chitra sopan.

Sudewi hampir lupa. Ia belum mandi sore tadi.

Sambil tersenyum, ia menerima kain jarik itu dari Chitra. "Chitra, anggap saja aku temanmu. Kau bisa memanggilku Sudewi saja. Aku sangat senang jika mempunyai teman lagi."


Chitra berpikir sejenak. "Tapi—"

"Ayolah. Sepertinya kau seumuran denganku. Lagipula ini keinginanku sendiri. Bagaimana?" tanya Sudewi.

Setelah menimbang-nimbang beberapa detik, akhirnya Chitra mengangguk setuju.  "Baiklah, Nim— Eh." Chitra langsung mengatupkan mulutnya.


Sudewi yang melihatnya hanya tersenyum sembari menggeleng.

***

Setelah membersihkan diri di sungai, Sudewi kembali ke rumah Chitra. Sangat berbeda dengan keraton yang menyediakan kolam pemandian pribadi, Sudewi harus pergi ke sungai terlebih dahulu untuk mandi. Untung saja sungainya terletak tak jauh dari rumah sahabat Abimana tersebut.


Duduk di pinggir tempat tidur,

Sudewi menyisir rambut panjangnya yang besah dengan jemari tangan, lalu ia kumpulkan ke salah satu sisi pundak.

"Chitra, apa kau tinggal sendirian di rumah ini?" tanya Sudewi memecah keheningan seraya menoleh sejenak ke arah Chitra yang tengah merapikan tempat tidur.

"Tidak. Aku tinggal bersama ibuku. Tapi beliau pergi tadi."

Sudewi mengangguk mengerti. Ia beranjak dari kursi dan berjalan ke arah Chitra.

"Kalian bertiga berteman sejak kecil, bukan?" tanyanya tiba-tiba yang membuat Chitra mengernyit heran.

"Maksudmu, Abimana, Cakra, dan diriku?" tunjuk Chitra kepada dirinya sendiri.

Sudewi yang duduk di tepi kasur menganggu.

"Iya, kami berteman sejak kecil."

Sudewi terdiam sejenak. Tak lama kemudian ia mengajukan pertanyaan lagi. "Kenapa dia pindah ke Daha? Kenapa tidak tetap tinggal bersama kalian di sini?"

"Pekerjaan di ibukola lebih menjanjikan, Dewi. Ayahnya Abimana yang memutuskan untuk pindah ke Ibukota Daha."

Sudewi ber-oh ria. Ia mengamati setiap gerak-gerik Chitra. Lumayan bosan tanpa adanya Abimana di sisinya.

Chitra kini tengah melepas ikatan kelambu. Sudewi hanya bisa memandanginya. Ia terpikirkan sesuatu.

"Chitra, apa kau pernah jatuh cinta?" pertanyaan yang diajukan Sudewi kini membuat pergerakan tangan Chitra terhenti.

Gadis itu mendadak tersipu malu, wajahnya memerah bak buah delima. Ah, Sudewi yakin jika gadis itu juga sedang jatuh cinta sepertinya.

"Kemarilah." Sudewi menepuk-nepuk bagian kasur yang kosong.

Chitra pun berjalan ke arah Sudewi, lantas duduk di sebelah gadis itu.

"Kenapa kau tidak segera menikah dengan pria yang kau cintai?" tanya Sudewi.

"Aku tidak tahu dia mencintaiku apa tidak," balas Chitra yang membuat Sudewi menghela napas.

"Kau tidak mau berusaha mendapatkan cinta darinya?"

Chitra menggeleng. Ia malu jika seorang perempuan mengejar seorang laki-laki, bukankah seharusnya sebaliknya?

Chitra menggeleng. "Aku tidak mau mengganggu kehidupannya."

Percakapan mereka terhenti sampai di situ karena tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

***

Keesokan harinya, Sudewi dibuat terbangun karena mendengar suara ketukan pintu. Ia mengernyit saat tidak mendapati Chitra di sampingnya.

"Dia masih tidur."

"Masih tidur?"

"Perlu kubangunkan?"

"Tidak perlu. Biarkan ia tidur dulu. Mungkin masih lelah."

Samar-samar, Sudewi mendengarkan percakapan dua orang di luar rumah. Suara itu tak begitu asing baginya.

Setelah merapikan rambut, ia beranjak dari kasur. Keadaan kamar masih tamaram, tak begitu terang, sepertinya matahari belum menampakkan diri.

Setelah keluar dari kamar, ia dapat melihat siapa yang bersuara tadi. Dilihatnya Abimana dan Chitra berdiri di depan pintu rumah.

Sudewi menutup mulutnya karena menguap.

Pandangan Abimana teralihkan kepada seorang gadis yang baru saha datang. Dalam keadaan menguap gadis itu pun masih terlihat cantik. "Kau sudah bangun?"

Sudewi mengangguk sebagai balasan.

"Kau sudah mencuci wajahmu?" tanya Abimana yang dibalas gelengan kepala.

"Belum."

"Cepat cuci wajahmu."

Sudewi mendengus kesal. Ia tidak suka disuruh-suruh. Walaupun merasa kesal, ia tetap mengikuti perintah Abimana. Ia berjalan menuju sumur yang ada di belakang rumah Chitra.

Tak lama kemudian, Sudewi kembali masuk ke rumah. Wajahnya terlihat segar sekarang.

"Kita berangkat sekarang," ucap Abimana yang kemudian lengannya ditahan oleh Sudewi.

"Berangkat sekarang? Ini masih gelap, Abimana. Apa kau tidak melihatnya?" Sudewi menunjuk langit yang masih gelap karena matahari belum terbit.

Sepertinya Abimana tak mau mendengarnya. Laki-laki tak menoleh ke arahnya sedikitpun. Ia malah menggenggam tangan Sudewi.

"Chitra, terima kasih karena telah memberi tempat untuk Sudewi tadi malam. Kami pergi dulu. Sekali lagi terima kasih."

***

Sabtu, 10 April 2021

PadukasoriWhere stories live. Discover now