3. Cinta Tanpa Restu

200 26 0
                                    

Dua insan berjalan memasuki kafe di pinggir jalan. Kafe yang bernuansa modern itu menjadi tempat persinggahan Seokmin dan Jisoo. Maklum, 2016, saat-saat dimana tingkat kepolusian tidak terlalu tinggi. Semua pebisnis berlomba mendesain interior propertinya menjadi modern.

Berbeda jauh dari 2022 yang dipenuhi polutan udara, tanah, maupun air. Di tahun 2022, semua orang malah berlomba menanam tanaman yang sekiranya cukup untuk lahan kecil. Harga tanah sangat mahal bahkan untuk satu petak.

Begi Jisoo sendiri, 2016 ternyata merupakan tahun paling menyakitkan baginya. Terlalu menyakitkan untuk ditahan. Tetapi, Jisoo lap air matanya kasar. Ia tak mau merusak perasaan senang Seokmin. Seokmin mengajaknya kesini dengan uang hasil jerih payahnya sendiri.

Saat diingatkan bahwa mereka memiliki kencan di kafe, Jisoo sempat menolak karena uangnya lebih baik ditabung dan sempat pula menawarkan agar dia yang membayar. Namun, Seokmin tak menerima bantahan. Sifatnya tak pernah berubah, sangat keras kepala.

Mereka duduk di salah satu meja yang kosong secara berhadapan. Salah satu pelayan datang, menanyakan pesanan mereka. Mereka memesan hal yang sama, seporsi Croissant dan segelas Chocolate Milkshake. Setelah itu, si pelayan meninggalkan mereka berdua tenggelam dalam dunia mereka.

"Maaf, ya, Soo, cuma bisa ngajak kesini. Kalau nanti aku dapat kerjaan lagi, aku ajak ke yang lebih mewah. Lebih mewahhhh daripada yang ini," ucap Seokmin, menyempatkan diri untuk tersenyum lebar dan Jisoo balas dengan hal yang sama. Tak tahu saja hati Jisoo seakan diremukkan mendengar hal itu.

Seokmin bekerja keras, hanya untuk mengajak dirinya pergi ke tempat yang menurut pemuda itu layak bagi dirinya karena berstatus sosial tinggi. Hidup yang berbanding terbalik dari Jisoo yang cukup diam saja di rumah dan bisa mendapatkan uang dari orang tuanya.

"Disini aja udah cukup kok, bahkan kalau kamu ajak aku ke warung tempat Chan biasa main aja aku tetep seneng." Tangan Jisoo mengelus tangan Seokmin yang terasa kasar, sepertinya dikarenakan pekerjaannya yang cukup berat.

Tak pernah diberitahukan apa saja pekerjaan-pekerjaan Seokmin bahkan sampai maut menjemput pemuda berhidung bangir itu, meninggalkan Jisoo dengan pertanyaan yang menggantung.

Tiba-tiba, perasaannya kembali biru. Sedih datang menghantui dirinya, dan Seokmin sadar akan hal itu. Jisoo tak akan pernah bisa menipu Seokmin dengan senyuman palsu.

"Ada sesuatu yang mengganggu, ya, Soo? Sampai kamu nangis di perjalanan tadi." Kepala Jisoo terdongak, menggeleng. Keraguan masih saja hinggap. Dia ingin berbicara, namun lidahnya terasa kelu.

"Cerita aja, aku disini buat dengerin ceritamu kok," desak Seokmin. Digenggamnya tangan kanan Jisoo dengan kedua tangannya, elusan lembut pun terasa pada tangan Jisoo. Gerakan yang seakan-akan meyakinkan Jisoo untuk berbagi isi kepalanya.

Jisoo keluarkan nafasnya yang sedikit bergetar, menandakan keraguannya yang masih kuat. Tak kuat pula dadanya menampung semua rasa sesak ini. Jisoo memulai pembicaraan, "Kamu kemarin datang, kan, ke rumahku?"

Hanya satu pertanyaan retoris, namun dapat dirasakan bahwa Seokmin membeku. Elusan tak lagi Jisoo rasakan. Jisoo dapat menangkap ekspresi sedih Seokmin yang kembali terasa menyakitkan.

Mereka sempat berdiam, menatap satu sama lain. Dari pancaran matanya, ternyata Seokmin sama sedihnya dengan Jisoo. Ia selalu memulai percakapan terlebih dahulu dikarenakan tak ingin Jisoo teringat akan hal yang terjadi pada hari itu. Jisoo tatap mata Seokmin, berusaha membaca kalimat apa yang akan keluar.

"Soo, kita emang beneran ga cocok, ya?" Serangan balik, Jisoo yang kini membeku. Kenapa Seokmin malah berpikir bahwa dirinya akan memutuskan Seokmin? Jisoo hanya ingin memastikan bahwa Seokmin benar-benar mengetahui tentang hubungan mereka yang ditentang.

"Mama kamu ternyata emang bener, ya? Aku orang miskin, gak cocok sama kamu. Aku pasti bikin malu kamu karena cuma ngajak ke kafe kayak gini aja," lanjut Seokmin, kini tersenyum miris. "Maaf, ya."

"Mama aku jahat, Seokmin," sanggah Jisoo. Selama ini, Jisoo tetap berpikir bahwa ibunya baik hati, walau pertemanannya sering dibatasi ataupun dilarangnya dirinya untuk keluar rumah. Namun untuk kali ini, Jisoo merasa ibunya keterlaluan.

"Mama kamu mau yang terbaik buat kamu, Soo. Maaf, ya, kamu nanggung malu karena jalan sama aku yang miskin begini." Muak. Jisoo muak mendengar ucapan maaf dari Seokmin. Sekejam itukah ucapan mamanya sampai-sampai Seokmin terus mengulang kata maaf? Air mata Jisoo sudah siap luruh, saat Jisoo terpikirkan oleh satu pertanyaan.

"Kalau aku berjuang sama kamu, kamu percaya?" Jisoo lontarkan pertanyaan yang Jisoo harap, Seokmin jawab sesuai ekspektasinya. Sayangnya, realita tak pernah seindah yang Jisoo harap.

"Gak bakal bisa, Soo. Kita emang gak bisa bersama. Kamu cuma bakal capek dan berakhir bosan," jawab Seokmin, jauh dari ekspetasi Jisoo. Senyumnya yang manis masih setia mengembang, namun senyum itu bagai pedang yang menghunus hati Jisoo. "Lagipula apa yang kamu harapin dari aku yang miskin ini?"

Air mata Jisoo menetes secara tak sadar. Terlalu menyakitkan sehingga tak bisa ia tahan. Sangat susah untuk tetap bersama ketika sebuah hubungan tidak mengantongi restu. Bertahan saja sudah terluka, apalagi masih memaksa untuk tetap berjuang.

Jisoo usap secara kasar air matanya, tersadar bahwa menangis tak menyelesaikan masalah. Hanya ada dua pilihan, meninggalkan atau bertahan. Jisoo jatuh pada satu pilihan.

Bertahan.

"Aku mau berjuang, Seokmin. Aku mau berjuang untuk kita. Kamu bisa bercerita ke aku juga, kamu gak perlu nanggung semua ini sendiri," ucap Jisoo mendadak, membuat Seokmin terkejut.

Seokmin menggeleng, "Soo, kita gak bakal bisa bersama." Kepala pemuda bersurai hitam itu bergerak, menandakan ketidakyakinannya yang menguasai seluruh tubuhnya.

"Bahkan kalau kita gak berakhir bersama, kita tetap aja pernah di fase mencoba, kan? Kita pernah mencoba untuk bertahan walau sakit." Jisoo genggam erat tangan Seokmin, mencoba meyakinkan ucapannya. "Aku mau bertahan, demi kamu," tambah Jisoo.

"Sakit, Soo... Bertahan itu sakit. Aku gak mau kamu sakit. Kamu nangis karena aku, aku, dan aku."

"Aku siap. Aku mau kamu juga berbagi kepedihan sama aku. Aku bakal bertahan, Seokmin." Jisoo kembali meyakinkan Seokmin, dan kali ini berhasil. Dapat Jisoo rasakan genggaman Seokmin yang mengerat pada tangannya.

Setelah cukup lama diam, Seokmin bertanya, "Kita bakal tetap bersama, kan?" Genggaman Seokmin memiliki pesan tersirat yang menyatakan bahwa ia percaya pada Jisoo.

Mendengar pertanyaan Seokmin, Jisoo menjawab dengan senyuman lebar terpajang di wajah manisnya, "Ya. Kita tetap kita." Senyum kembali mengembang di kedua manusia yang sedang berhadapan, menautkan tangan mereka erat seakan menautkan takdir agar tak dipisah oleh takdir.

[✓] Lost Memories | SeokSooOnde histórias criam vida. Descubra agora