Niko memutar kedua bola matanya meski bibirnya terlihat menahan senyum. "Bye, Lun."

Begitu Aksa melajukan mobil, aku melambaikan tangan pada Niko sebelum menaikkan kembali kaca jendela. Ketika mobil Aksa sudah memasuki jalan utama yang masih agak padat, aku baru menyadari wajah Aksa yang terlihat masam. Bibirnya terkatup rapat dengan mata yang tertuju lurus pada jalanan di depan meski mobilnya tidak bergerak.

"Hei." Aku mengusap lengannya lembut. "Ada masalah di kantor?"

Aksa menggelengkan kepalanya, masih menutup mulut.

"Mama sehat, kan? Kak Anye? Jojo?"

"Semua sehat," jawab Aksa singkat. Ekspresinya masih tidak berubah.

Memutuskan untuk memberi Aksa ruang untuk berpikir dan tidak mendorongnya terlalu jauh untuk berbicara, akhirnya aku mengangguk dan memusatkan perhatianku pada gedung-gedung kantor yang berjajar di jalan Sudirman. Setelah beberapa menit hening di mobil tanpa adanya pembicaraan atau lagu yang terputar maupun radio yang menyala, Aksa pun berbicara.

"Niko sering temenin kamu kalau lagi nunggu aku jemput?" tanyanya.

Aku menoleh, dengan mata yang mengerjap beberapa kali. Karena tidak mendapatkan jawaban dariku, Aksa akhirnya menoleh sedangkan aku masih berusaha mencerna pertanyaannya. Begitu melihat sekilas perubahan di raut wajahnya, aku mulai paham ke mana arah pembicaraan ini.

"Sering," jawabku jujur. "Hanifa juga sering dia temenin."

"Dia itu anak baru di tim kamu yang akhir-akhir ini suka kamu omongin, kan?"

"Iya. Tadinya dia di tim lain, tapi karena Mas Jero butuh bantuan, akhirnya dia diminta buat masuk ke timku selama beberapa bulan ke depan."

Bibir Aksa kembali terkatup rapat dan keningnya berkerut dalam. Seketika dia terlihat berpikir keras dan aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, menahan diri untuk tidak tertawa melihat Aksa yang cemburu karena kedekatanku dengan Niko.

"Orangnya emang begitu, ya?" tanya Aksa lagi, berusaha untuk terdengar netral.

Pura-pura tidak mengerti, aku bertanya. "Gitu gimana?"

"Perhatian? Suka nemenin kamu di lobi sampai bukain pintu mobil?"

"Hm." Aku menopang daguku dengan sebelah tangan. Seolah menyadari tatapan mataku yang tertuju padanya, Aksa menatapku dengan wajah penasaran, menunggu jawaban. Untungnya, lampu lalu lintas sedang berwarna merah sehingga Aksa bisa mengalihkan perhatiannya sebentar dari jalanan. Aku mengulas senyum lalu memberikan kecupan singkat di pipinya. "Jealousy looks good on you, Sa."

Aksa mengerang. "Aku nggak cemburu, Lun."

"Nggak cemburu, ya?" gurauku dengan senyum yang masih tersungging di bibir. Jari telunjukku langsung tertuju pada wajahnya. "Ini. Ekspresi ini." Aku menunjuk keseluruhan wajahnya. "Aku ingat banget kamu juga pasang muka kayak gini waktu pertama kali dengar nama Dewa. Pas aku minta kamu temenin datang ke acara pernikahan Mas Jero. You should look your face on the mirror."

"Fine." Aksa mendecakkan lidahnya dengan ekspresi sebal yang kentara. "Aku kurang suka dengan cara Niko lihat kamu dan memperlakukan kamu. And on my defense, tentang Dewa, wajar kan, kalau aku cemburu ketika kamu bawa-bawa nama dia di saat kamu minta aku temenin kondangan? Apa kamu bilang waktu itu? Kamu bisa pergi sama Dewa kalau aku nggak bisa?"

Aku terperangah, sedikit tidak percaya karena dia masih ingat dengan jelas momen itu.

"Aku selalu ingat semua tentang kamu. Seharusnya kamu nggak perlu kaget lagi." Aksa menaikkan sebelah alisnya ketika menangkap ekspresiku. "Answer my question, please?"

Aku mengerjapkan mata, berusaha mengembalikan kesadaranku setelah terbang ke langit ketujuh berkat ucapan Aksa sebelumnya. "Yes. Dia emang seperhatian itu, suka temenin aku di lobi kalau aku lagi nunggu kamu atau taksi, dan bukain pintu mobil," jawabku. Melihat rahang Aksa yang menegang, aku melanjutkan ucapanku. "Dia kayak gitu ke Hanifa juga. Ke cewek-cewek lain juga... termasuk ke pacarnya."

Kontan, Aksa menoleh cepat ke arahku dengan bola mata yang membulat. "Dia punya pacar?" tanyanya. Senyum lebar yang tiba-tiba terpampang nyata di wajahnya tidak mampu menyembunyikan rasa senangnya setelah mendengar berita itu. "I thought he was hitting on you."

"Awalnya aku pikir juga gitu, tapi beberapa hari yang lalu pas ngobrol-ngobrol, akhirnya aku tahu kalau dia punya pacar. Malam ini juga dia ada janji dinner sama pacarnya," ungkapku. "Niko itu emang manner-nya bagus, Sa. Jadi, kalau ada orang yang nggak begitu kenal sama dia, pasti mikirnya dia lagi modus. Padahal sebenernya nggak gitu. His parents taught him well about that little kind gesture and manner."

Aksa mengangguk beberapa kali kemudian menggaruk kepalanya. "Oh gitu."

"Kamu lucu kalau lagi cemburu," tuturku, menatapnya lekat. Detik kemudian, muka Aksa memerah hingga ke telinganya. Melihat reaksinya membuatku semakin gencar untuk meledekinya. "Kalau lagi cemburu, kamu selalu pura-pura kelihatan nggak peduli padahal muka udah asem banget. Kayak ketimpa kerjaan segunung pas weekend."

Aksa berdeham. Dia menarik tanganku lalu mencium punggung tanganku dengan lembut. "Well, I have someone this wonderful and beautiful as you as my girlfriend, I can't let my guard down, even for one second," ujarnya dengan manik mata yang menyorotku hangat. Aku nyaris meleleh di tempat dudukku karena ucapan manisnya.

"I'm the one who can let my guard down. Kalau dengar omongan manis dari kamu bisa bikin diabetes, kayaknya aku beneran bakal kena diabetes deh, Sa," sahutku yang langsung disambut gelak tawa lebar dari Aksa. Aku ikut menyengir lebar. I love this man. So much.

*

Quick question: kalau cerita ini diterbitin dan ada di Gramedia, kalian mau beli gak? 

Anyway, aku lagi revisi cerita ini, nambalin beberapa plot hole di beberapa tempat dan perkuat karakter tokoh-tokohnya. 

Oh, ya, buat yang belum tau, jangan lupa mampir ke ceritaku yang baru judulnya Long Overdue. Ceritanya tentang kakaknya Aksa. 

Btw, extra part selanjutnya enaknya tentang apa ya? Kalau Aksa propose ke Luna itu mah terakhir-terakhir aja lah yaaa hahaha mending kita nikmatin momen pacaran mereka dulu aja. Ada saraaannn?

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now