Aku menyeret tubuhku dengan kedua tanganku, menjauhkan diri sejauh mungkin dari Jackson. Selagi aku melakukannya, kedua tulang kakiku beradu dengan tanah, menimbulkan sensasi layaknya dialiri listrik setiap kali tulangku menyentuhnya.

"Marco..." Jackson tertawa, dia menikmati semua ini... Dia bisa tertawa melihat semua ini. "Kau bisa mati dengan cara mudah, padahal."

Aku menyandarkan tubuhku ke sebuah pohon akasia, tidak mampu menyeret tubuhku lebih jauh dari ini.

Jackson melihat kakiku. "Wah, itu terlihat menyakitkan." Tawanya. "Sini kuperbaiki."

Gergaji mesin yang digenggamnya mulai meraung, mata pisaunya berputar dengan cepat.

Aku tidak bisa kemana-mana lagi.

Disentuhkannya mata gergaji yang berputar itu ke tulangku yang mencuat. Mataku terbelalak, jeritanku mengalahkan suara gergaji mesin itu.

"HENTIKAN! KUMOHON HENTIKAN!" Aku berteriak sekuat tenaga, berusaha mendorong tangan Jackson menjauh.

Namun mata gergaji itu terus menggerus tulangku.

"Teriak lagi, Marco! Aku ingin dengar seberapa putus asanya dirimu." Tawa Jackson, darahku membasahi wajahnya.

Ingin rasanya aku jatuh pingsan, agar tidak perlu menjalani semuanya ini. Tapi aku hanya bisa terdiam, melihat potongan tulangku terlepas dari tangkainya. Darah terciprat-ciprat dari potongan tulangku.

Kukira dia akan membunuhku sekarang.

Tapi dia malah menusukkan gergajinya ke paha kananku. Aku dapat merasakan mata gergaji itu bergerak di dalam dagingku, memotong semakin dalam.

"Kenapa kau diam, Marco?"

"Kumohon... Bunuh saja aku... Kenapa kau menyiksaku seperti ini?" Suaraku melemah, kepalaku mulai terasa berat. Siksaan yang kualami bukan hanya merusak ragaku, namun siksaan ini juga perlahan demi perlahan mengkikis kewarasanku.

"Aku sedang bosan." Ujarnya. Dia kemudian mencabut gergaji dari pahaku, menyeret tubuh tak berdayaku masuk kembali kedalam mansion.

.
.
.
.
.

Jam demi jam berlalu, dia nampaknya tak puas-puas mengambil apa yang tersisa dariku. Ragaku, mungkin bahkan jiwaku?

Entahlah... Aku sudah tidak peduli lagi.

Rasa sakit yang sangat teramat tadi, kini tidak terlalu mengangguku lagi. Aku sudah tidak berteriak, mungkin itu alasannya dia mulai kesal.

"Ada apa denganmu? Sudah berhenti? Sudah selesai?" Tanya Jackson.

Aku terdiam. Kurasa dia semakin kesal padaku, sebab dia mengangkat gergaji miliknya tinggi-tinggi. Layaknya seorang algojo yang hendak menghabisi nyawa korbannya.

"Sampah lebih baik mati"

.
.
.
.

Aku dapat merasakan cairan hangat di leherku. Awalnya kukira kepalaku telah terpisah dari tubuhku, namun begitu aku membuka mata... Jackson sudah tergeletak di lantai, lubang menganga nampak di dahinya. Seperti sebuah peluru, namun siapa? Siapa yang menyelamatkanku?

"Kau baik-baik saja, nak?" Aku dapat melihat siluet seorang pria di ambang pintu. Dia menggunakan sebuah tongkat jalan, atau setidaknya kelihatan seperti itu. "Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja."

.
.
.
.

Aku tersadar di sebuah ruangan dengan interior putih bersih, tembok, tirai, ranjang tempatku terbaring, semuanya.

Inside [ON REVISION/REWRITE]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ