Home (1)

9 0 20
                                    

⚠️Part ini mengandung kata-kata kasar dan kekerasan yang mungkin tidak nyaman untuk sebagian readers. Kebijakan pembaca dibutuhkan⚠️

"Jangan pergi,"

Leo tiba-tiba menahan tangan perempuan di depannya. Perempuan itu menghela nafas jengah, melirik pergelangan tangannya yang digenggam kencang oleh tangan Leo yang besar.

"Aku harus pulang dan tidur, besok pagi-pagi sekali aku harus mengajar."

Pria jangkung itu bangkit dari dudukannya di sofa, menipiskan jarak di antara mereka.

"Kalau begitu, tidurlah di sini. Seperti malam-malam sebelumnya."

"Rumahku bukan di sini, Leo."

Perempuan itu sebenarnya sudah kesal dan malas, ia ingin cepat-cepat pulang dan beristirahat setelah menghadapi hari yang suntuk dan berat. Namun dengan tetap sabar ia meladeni Leo yang terlihat rewel.

Ia melepas genggaman Leo pada tangannya pelan-pelan.

"Aku akan pulang,"

Baru saja satu langkah, tangan Leo sudah kembali ke posisi awal. Kali ini tidak hanya di tangan, pria itu juga merengkuh sang perempuan ke dalam pelukannya.

"Kalau begitu,"

".......jadikan aku rumahmu."

******

Elia berlari sekuat tenaga. Di luar sangat lembab dan becek, bekas hujan deras yang baru saja berhenti 20 menit lalu. Gadis itu terus berlari, tak peduli kakinya yang beralaskan kulitnya sendiri, tak peduli dengan dadanya yang sudah sesak, tak peduli juga dengan pelipisnya yang terus mengucurkan darah.

Ia tak tahu kemana ia akan pergi, tidak tahu bagaimana nasibnya ke depan nanti.

Elia hanya memikirkan bagaimana ia bisa lepas dari kejaran monster beringas yang terus mengikutinya sejak tadi dengan sebilah pisau tajam.

BRUAAAKKKK

Gadis kurus itu terpental, menabrak sesuatu yang cukup besar dan keras.

"Oh Tuhan, kamu nggak apa-apa? Maaf ya, aku nggak lihat!"

Salah, Elia tidak menabrak benda. Ia menabrak seorang pria dewasa yang cukup jangkung dan bahu sekokoh baja. Pria itu ikut terkejut dengan beberapa barang belanjaannya yang tercecer di jalan.

"Tolong...."

Pergelangan tangannya digenggam oleh Elia dengan sangat kuat dan dibuat berjengit karenanya.

"Tolong saya...." Elia terisak putus asa sambil menggenggam tangan pria jangkung di depannya, sebelum sebuah suara teriakan muncul dari arah utara yang membuat gadis itu spontan menyembunyikan dirinya di balik punggung sang pria.

"ELIA! PULANG KAMU!!!"

Leo----si pria jangkung----dengan peka langsung merentangkan tangannya untuk melindungi Elia yang meringkuk di balik punggungnya. Di depan pria itu sudah ada pria lain yang tampaknya berusia 60 tahunan, memegang pisau dan matanya yang sangat merah dan berair.

"ELIA! Pulang lo sini, jangan kayak emak lo, kayak lonte!"

Leo menelan ludahnya kuat-kuat, jujur ia tidak tahu harus berbuat apa. Ini sudah jam 10 malam dan nyaris tidak ada orang di jalan ini.

"P-pak.... tenang pak. Coba ditaruh dulu pisaunya-"

"Lu kagak usah ikut campur ye! Balikin anak gue sekarang! ELIA, PULANG LO ANAK LONTE!"

Semuanya terjadi dengan cepat di mata Leo. Pria tua itu tiba-tiba maju ke arahnya dan menghunuskan sebilah pisau dapur yang panjang.

Tanpa pikir panjang, Leo yang sebenarnya sudah takut dan lemas seperti jeli itu tiba-tiba refleks melumpuhkan si pria tua dengan tangkas hingga pisau yang dipegang terlempar jauh hingga jatuh ke dalam selokan. Sementara itu Elia masih terus di belakang Leo sambil memegangi jaketnya erat-erat.

"Bapak jangan seperti itu pak! Saya laporkan polisi kalau bapak terus kayak gini!" Ancamnya sembari menahan kedua tangan pria tua yang sudah tersungkur itu di balik punggungnya.

"Eliaaaaaa! Gue mau Elia! Pulang lo, dasar perek, lonte, asu!!!"

Elia sudah berhenti menangis dan kini berganti menatap horor ayahnya yang setengah mabuk dan wajahnya memar sedikit akibat terbentur aspal.

Leo mengikat kedua tangan pria itu dengan tali tambang tipis bekas gantungan flyer yang ada di pohon, karena merasa pria itu akan terus berontak walau Leo sudah melumpuhkannya. Leo meraih ponsel dari saku celananya, kemudian menghubungi kantor polisi terdekat.

*****

Leo dan Elia menceritakan seluruh kronologi kejadian pada polisi, walau justru Leo yang lebih banyak bersaksi. Elia masih syok dengan keadaan tubuh dan jiwa yang semrawut.

Selepas menyampaikan laporan dan ayah Elia yang berhasil ditahan sementara, Leo berdiri dan menenteng belanjaannya, namun belum sampai pria itu membuka pintu untuk keluar, sebuah tangan lagi-lagi meraih lengannya kuat-kuat.

Itu Elia dengan mata merah berair, menangis tersedu-sedu.

"Kak..... tolong bawa saya pulang kak, hiks- saya... saya nggak mau hidup sama dia lagi.... huhuhu...."

Leo berdiri mematung dengan bingung.

Haruskah ia membawa gadis ini pulang bersamanya?

Bukan, bukan karena Leo tidak mau.

Tapi..... dia tinggal di kos-kosan laki-laki.

Apa kata tetangganya nanti?

*****

"Aku nggak berat, Kak?"

"Nggak, lah. Kurus begini dibilang berat."

Leo menggendong Elia di punggungnya, dengan satu tangan menyanggah paha Elia dan membawa kantung belanja secara bersamaan.

"By the way, maaf ya. Ayah kamu tadi aku pukulin..... sedikit,"

Elia menghembuskan nafasnya, "Harusnya sih, kakak tonjokin aja dia sampe mati."

Pria muda itu terbelalak mendengar ujaran gadis cerewet di punggungnya yang terbilang kasar.

"Heh, itu ayah kamu!"

"Ayah? Orang yang gebukin aku tiap mabuk itu pantas disebut ayah? Gak salah tuh kak???"

Leo hanya diam, tidak mau mendebat lebih lanjut. Ia merasa tidak berhak lagi menghakimi ucapan Elia karena menurutnya belum tentu Leo bisa memposisikan di atas penderitaan Elia.

"Elia-"

"Namaku El, kak. Elia kepanjangan," potongnya.

"Oke oke, El?"

"He-em. El."

Mereka berdua melalui jalanan yang sudah sepi menuju kos-kosan tempat Leo tinggal. Dengan satu tangan, Leo membuka gembok pagar dengan kunci dari saku jaketnya.

Pagar terbuka, Leo menengok ke kanan-kiri memastikan tidak ada orang yang akan memergokinya membawa perempuan ke dalam kos-kosannya.

Namun, sesosok pria berkulit sawo matang dengan rambut sedikit keriting menangkapnya basah dengan wajah terkejut paling-nggak-banget-sedunia.

"LO BAWA ANAK SIAPA ANJINGGGG????!!!!!"

End of part 1, to be continued.

Taekwoon's UniverseWhere stories live. Discover now