Aksa: Ini kerjaanku udah mau selesai.

Luna: Yaudah. Terserah.


Meski jawaban Luna tidak terlalu memuaskan, aku mengartikannya sebagai bentuk persetujuan bahwa dia mau bertemu denganku hari ini. Namun, sebelum pergi keluar, tampaknya aku harus berbicara dengannya untuk meredakan ketegangan di antara kami.

*


Pintu apartemen terbuka setelah aku mengetuknya beberapa kali. Sekitar beberapa bulan yang lalu—tepatnya tiga bulan sesudah kami resmi balikan—Luna memberikan access card cadangan padaku agar dia tidak perlu menjemputku lagi di lobi setiap aku datang. Dia juga memberikan kunci unit apartemennya, tetapi sampai detik ini aku tidak pernah menggunakannya. Mau bagaimana pun juga, aku masih menghargai privasinya. Kecuali ada hal-hal yang mendesak, aku tidak akan menggunakan kunci cadangan itu untuk bertamu.

"Aku kira nggak jadi," celetuk Luna seraya membiarkan pintu tetap terbuka sedangkan dia sudah berjalan meninggalkanku. Dilihat dari legging dan oversize t-shirt yang masih melekat di tubuhnya, aku tahu bahwa dia tidak yakin kali ini aku akan menepati janjiku utuk pergi dengannya.

Aku menghela napas lalu melangkah masuk dan menutup rapat pintu apartemennya.

"Mendingan kamu siap-siap dulu soalnya—" ucapanku terhenti setelah aku mencium bau masakan memenuhi unit apartemennya. Bibirku terkatup rapat saat Luna sedang memindahkan vongole pasta ke piring. Netraku berpindah ke meja makan yang sudah ditata sedemikian rupa dan dipenuhi dengan makanan italia lainnya. Lasagna dan risotto. "Kita nggak jadi pergi keluar?"

Luna melirikku sekilas sebelum mengedikkan dagunya, menyuruhku untuk duduk selagi dia menghidangkan masakannya. Luna pintar memasak. Semua masakannya tidak pernah gagal di lidahku, terutama masakan italia yang entah sejak kapan sudah menjadi makanan favoritku sejak Luna memasakkannya untukku.

"Kamu yakin mau keluar setelah kita jarang ketemu dan punya waktu buat ngobrol akhir-akhir ini?" tanya Luna. Dia menaruh pasta di atas meja dan air liurku nyaris keluar ketika melihat betapa menggiurkannya masakan Luna. "Mending makan di sini aja mumpung aku tadi abis belanja bahan makanan."

Aku terperangah. "Kamu siapin ini semua buat aku?"

Luna mencibir. "Emangnya ada orang lain yang segitu tergila-gilanya sama masakan italia selain kamu?" Dia memberikan piring kosong padaku. "Makan."

Melihat tatapannya yang agak menghunus membuatku menciut di tempat. Namun, keberanian yang entah datang dari mana, membuatku refleks bertanya, "Kamu marah?"

Pertanyaanku berhasil membuat gerakan Luna terhenti. Dia terdiam sebelum membuang napas kencang dan kembali menaruh piringnya di atas meja. Di tempat dudukku, aku hanya bisa mengantisipasi kemarahannya, tetapi yang kudapat berbanding terbalik dengan apa yang kudapatkan.

"Marah, tapi mau gimana lagi? Aku tahu kamu nggak suka kerja pas weekend dan aku tahu kamu nggak se-workaholic itu buat mengenyampingkan aku demi kerjaan kamu. Kamu nggak mungkin sukarela batalin liburan kita demi kerjaan di kantor." Luna mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Awalnya emang agak kesel, tapi mau gimana lagi? Aku marah pun nggak akan bisa bikin kamu nggak pergi ke kantor."

Aku sontak meringis. "The way you speak definitely doesn't make me feel any better."

"Kamu mau aku gimana? Ngamuk?" sahut Luna.

"To be honest, I was expecting your rage," tukasku jujur.

Dia menggelengkan kepala. Ketika matanya kembali menemukanku, pandangannya sudah melunak. "Kamu udah pusing mesti kerja pas weekend begini, yakin nggak tambah pusing kalau kita malah berantem? Drop it, Sa. Kita udah jarang ketemu dan luangin waktu bareng akhir-akhir ini. Aku nggak mau sekalinya kita ketemu malah berantem karena hal-hal yang ada di luar kendali kita."

"You need to be honest with me. Menyimpan semuanya sendiri bisa jadi bumerang, Luna. Dan aku nggak mau kemarahan yang tertunda itu nantinya malah meluap di waktu yang nggak tepat."

"This is me being honest with you," timpalnya. "Nggak semua hal harus diungkapin dengan nada tinggi, Sa. Aku marah? Iya. Aku kecewa? Iya. Apa aku pengen ngomel ke kamu? Banget. Tapi, apa yang nantinya bakal kudapat kalau misalnya aku malah ngomel-ngomel, adu urat, dan berantem sama kamu di saat akhirnya kamu punya waktu luang buat kamu? Nothing. Kita udah jarang ketemu dan aku nggak mau sekalinya ketemu malah harus berantem."

"I'm sorry," ucapku.

"I know you are," ujar Luna terlampau santai. "Aku belajar dari beberapa pertengkaran sebelumnya tentang kesibukan kita yang nggak ada habisnya ini dan aku menyimpulkan satu hal. Kamu nggak mau resign dari kantormu karena kariermu menjanjikan di sana dan aku nggak mau resign dari kantorku karena ini pekerjaan impianku. Dan cuma satu yang bisa kita lakukan supaya hubungan ini berhasil. Kompromi, Sa. Itu satu-satunya solusi. Dan sekarang aku lagi berusaha kompromi sama semua kesibukan kamu."

Aku kembali bungkam saat melihat Luna menyendokkan vongole pasta ke piringku. Aku bahkan tidak dapat memikirkan makanan saat ini meskipun perutku sempat berbunyi setelah melihat banyaknya hidangan yang menggiurkan di atas meja.

"Aku tahu aku juga kadang sibuk dan harus pergi ke luar kota buat fieldwork beberapa hari bahkan kadang bisa lebih dari seminggu. Makanya di saat kita akhirnya punya waktu luang dan bisa ketemu, I want us to make the most of it," ungkap Luna.

And here I am, wondering if this woman who sit in front of me is real because sometimes the way she understands me makes me think there's no fucking way she is real. There is no one—I repeat, no one—who can understand me the way she does.

"That's why I'm cooking for you today. Kupikir daripada kita pergi keluar, lebih baik aku masak buat kamu dan kita bisa catching up di tempat yang lebih private," ujar Luna, menyunggingkan senyum dan mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

"Sometimes ... sometimes I'm wondering what did I do in my previous life to deserve someone like you." Aku berbicara dengan beban yang seketika menghilang setelah melihat senyuman Luna. "God, I'm so fucking lucky to have someone like you by my side."

Luna menaikkan sebelah alisnya sebelum melemparkan seringai andalannya. Dia menumpukan sikunya di atas meja sedangkan jari-jarinya yang saling bertaut menopang dagunya. "Well, I hope you will say the same thing tomorrow, or the day after tomorrow, next month, next year, or maybe the rest of your life."

Tanpa ragu, aku menyahut cepat. "Of course I will."

*

Notes:

Chapter ini agak sedikit panjang lebih dari 1k words. Waktu itu ada yang minta momen Aksa sama Luna nggak ketemu berminggu-minggu jadi aku pikir seru juga kali ya kalau dibikin jadi extra part. Tadinya mau bikin mereka ribut tapi agak-agak zonk gimana gitu ya kalo extra part tapi malah liat mereka ribut :(( pengennya bikin extra part mereka yang happy-happy aja dan aku mikir mungkin kalian pengennya juga baca yang happy.

Btw, menurut kalian apakah aku harus bikin momen Aksa propose ke Luna? 

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now