"Kami tidak punya uang untuk membelinya. Hasil jualan saya hanya cukup untuk membeli bahan makanan kami selama dua hari saja."

" .... "

Axelle melirik gadis yang berada digendongannya ini. Wajah yang sedih yang ditunjukkan gadis itu, membuat hatinya teriris. Dia tidak menyangkan kehidupan matenya begitu berat.

"Axelle."

"Ha?"

"Panggil aku Axelle. Jangan Tuan."

"Ba--baiklah, Tuan Axelle."

"Ck, kau ini benar-benar bodoh! Sudah kubilang panggil aku Axelle, jangan Tuan!"

"A ... Axelle ...?"

"Pintar."

Mereka telah tiba di depan rumah sederhana milik Gracia. Gracia meminta Axelle untuk menurunkannya, namun pria itu tidak menghiraukan dan justru tetap menggendongnya hingga di depan pintu. Axelle mengetuk pintu itu beberapa kali dan menunggu beberapa saat, sampai seorang anak kecil membukakan pintu untuk mereka.

Anak kecil laki-laki tersebut menatap heran Axelle dan Gracia. Lalu dia berlari kembali memasuki rumahnya tanpa mengucapkan apa-apa, mungkin memanggil sang ibu untuk memberitahu bahwa kakaknya datang membawa tamu.

Gracia mempersilakan Axelle untuk memasuki rumahnya. Axelle mendudukan Gracia di kursi dan ia masih berdiri memandangi rumah itu. Gracia jadi tidak enak hati telah menyusahkan Axelle beberapa kali.

Gadis itu hendak berdiri namun Axelle langsung menghentikannya dan memberikan tatapan tajam. Gracia kembali duduk dan tidak berani menatap balik Axelle. Bocah laki-laki tadi datang dan membawa dua gelas teh hangat dan menyuguhkannya di meja.

"Ibu sudah tidur?"

"Sudah, Kak."

"Baguslah. Kamu lanjutkan saja belajarmu, ya."

"Siap, Kakak!"

Bocah itu berlari kecil memasuki kamarnya. Kini tinggal ia dan Axelle saja yang berada di ruang tamu. Tidak ada pembicaraan apapun sampai akhirnya Gracia yang membuka mulutnya dahulu. "Maaf hanya bisa menyuguhkan teh hangat ini saja dan maaf juga karena ibuku tidak bisa menemuimu yang notabenya adalah tamu kami."

"Tidak masalah."

"Em, kalau begitu aku akan mengambil baju untuk mengganti kemejamu yang sudah rusak karenaku. Tunggu sebentar."

Belum juga Gracia berdiri, tubuhnya sudah lebih dulu berada kembali di gendongan Axelle. Gracia menatap pria itu yang hanya menatap lurus. Tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya merasa sangat nyaman saat bersama Axelle meskipun mereka baru kenal kemarin.

"Jangan lakukan ini, Axelle. Turunkan aku, aku akan mengambilkan bajunya di kamarku."

"Berisik. Aku melakukan ini bukan untukmu, tapi untuk mateku! Cepat tunjukkan di mana kamarmu!"

Gracia akhirnya menurut saja. Gadis itu menunjuk sebuah pintu bewarna coklat. Axelle menghampiri pintu tersebut. Gracia mendorong pintu dan tampaklah kamarnya yang rapi. Axelle melangkahkan kakinya memasuki kamar tersebut dan ia berjalan ke depan lemari.

Gracia membuka lemari itu dan mengambil kemeja yang ia gantung rapi. Ia membandingkan ukurannya dengan tubuh Axelle yang besar berotot tersebut. Gadis itu terlihat kecewa lantaran ia merasa kemejanya agak kekecilan untuk Axelle.

Axelle melihat perubahan ekspresi Gracia, lalu ia membawa gadis itu keranjangnya dan mendudukannya di sana. Axelle membuka satu persatu kancing kemejanya dan mengambil kemeja yang berada di tangan Gracia.

Gracia menutup mukanya dengan tangannya setelah Axelle membuka baju tepat di depan matanya. Axelle menatap datar dan lanjut memakai kemeja itu tanpa mempedulikan Gracia yang salah tingkah

"Lumayan."

Gracia mengintip sedikit dari celah tangannya. Axelle dengan otot-otot perut dan lengannya yang tercetak jelas dengan kemeja tersebut. Sungguh Gracia amat sangat malu. Dia belum pernah melihat seorang lelaki dengan tubuh dan wajah sempurna seperti Axelle ini.

"Tampan," Celetuk Gracia tanpa sadar. Axelle tentu saja bisa mendengarnya meskipun suara gadis itu seperti cicitan tikus. Ia menyeringai dan berjalan mendekati Gracia. Mendekatkan mulutnya ke telinga gadis itu dan berbisik, "tentu saja Alpha ini tampan. Dan kau Lunaku harus cantik."

Gracia reflek mendongakkan wajahnya. Wajah mereka sangat dekat hanya tinggal beberapa centi saja, tapi Garcia merasa ada yang berbeda dari pria ini, yaitu warna matanya. Ia tak salah lihat, sebelum-sebelumnya warna mata Axelle adalah coklat tapi sekarang berganti warna emas. Dia adalah jiwa wolfnya Axelle yang berhasil mengambil alih tubuh Axelle. Bukankah Axelle sebelumnya tidak mau mengakui Gracia sebagai lunanya?

Sementara jiwa Axelle yang berganti terkurung, marah-marah tidak karuan kepada wolfnya yang seenak jidatnya mengatakan omong kosong pada Gracia.

Gracia mendorong tubuh Axelle menjauhinya. Ia mencoba berdiri dengan pelan meski sesekali bibirnya mengeluarkan ringisan. Gadis itu berjalan menuju ruang tamu dan diikuti Axelle di belakangnya.

"Aku akan kembali," Ucap Axelle. Kini benar-benar Axelle asli bukan lagi wolfnya.

"Ya, hati-hati. Terima kasih untuk pertolonganmu, Axelle."

"Aku juga, untuk kemeja ini."

"Iya."

Gracia mengantar Axelle hingga di depan pintu. Axelle pergi tanpa menoleh lagi padanya dan hilang ditelan rimbunnya pepohonan. Gracia seketika itu langsung memegangi dadanya yang jantungnya tidak berhenti berdetak cepat sejak tadi.

"Kenapa aku jadi begini saat bersamanya? Aku pikir aku sehat-sehat saja, tapi kenapa jantungku dari tadi berdetak kencang seperti ini?" Gumamnya pada dirinya sendiri. Gadis itu kembali memasuki rumahnya. Beberapa saat akhirnya dia sadar kalau dirinya pulang dengan tangan kosong tanpa membawa tanaman herbal untuk obat ibunya.

Gadis itu hendak kembali melangkah keluar rumah, tetapi perkataan Axelle yang melarangnya pergi ke hutan terngiang di kepalanya. Tapi kalau ia tidak pergi, bagaimana ia bisa mendapatkannya? Akhirnya dia memutuskan untuk mencarinya di hutan itu lagi.

Baru juga dirinya membuka pintu, sudah ada kantong plastik bening yang berisi obat berada tepat di depan pintu. Gadis itu mengambilnya dan membaca keterangan obat tersebut dan ternyata itu obat untuk penyakit ibunya.

Gracia celingak-celinguk mencari siapa yang telah meninggalkan obatnya di sini. Tidak ada siapa-siapa selain pepohonan yang bergerak tertiup angin dan secarik kertas yang hanya bertuliskan huruf A.

"A? Siapa? Apa itu ... Axelle?"

Gracia menatap obat di tangannya sebentar. Tebakannya itu tidak mungkin salah kalau memang benar pria itulah yang mengirimkannya obat. Siapa lagi? Tidak ada orang yang tahu tentang penyakit ibunya termasuk tetangganya sendiri dan dengan secarik kertas bertuliskan inisal tersebut, dia semakin yakin.

Senyuman manis mengembang di wajahnya. Gadis itu membawa masuk kantong obat tersebut dan langsung saja memberikan obat itu untuk diminum sang ibu agar dapat segera sembuh dari penyakitnya dan dapat beraktivitas seperti sedia kala lagi.

***

Note : Axelle memang tidak mau mengakui Gracia sebagai matenya. Tapi bangsa werewolf terkenal akan keposesifan mereka terhadap matenya apalagi seorang Alpha seperti Axelle. Sifat posesif itu tumbuh saat mereka baru pertama kali bertemu, itu sudah menjadi hukum alam. Kalau ada bangsa werewolf yang sampai bisa mereject matenya, berarti dia sudah kehilangan akal sehat.

AMBER and the vampire prince (END)Where stories live. Discover now