Bengkel1: Lapang Dada

20.8K 255 16
                                    

Butuh sebulan agar Yanto bisa kembali membiasakan diri dengan kehilangan Mang Burhan. Ini pengalaman pertamanya ditinggalkan orang yang dia sayangi. Dan kesedihan yang ditimbulkan sungguh besar. Benar kata orang, 'waktu yang akan menyembuhkan luka hati.' Yanto merasakan betul kebenaran pepatah itu. Hanya saja meski hatinya sudah tidak sesakit saat awal-awal kehilangan, ingatan yang merindukan sosok Mang Burhan tetap kadang menimbulkan rasa nyeri.

Sebulan Yanto bergulat dengan perasaannya. Ia menghindar dari Aa Rusdi, dari Aa Husa, bahkan dari Bapaknya sendiri. Dia menyingkirkan gairah yang dulu berkobar-kobar. Yanto memilih meratapi perasaan pilunya meski ia tidak ingin terjerat terlalu dalam.

Sebelumnya dia sering tiba-tiba menangis saat ia mengingat Mang Burhan. Tapi belakangan ini perasaannya sudah lebih waras, Yanto paham kalau menangisi kehilangan tidak akan merubah apa pun. Justru ketidakwarasannya kemarin sudah membuat Bapak Ibuk bersedih melihat anaknya kehilangan gairah hidup.

Kemarin-kemarin Yanto masih ikut ke ladang, Yanto masih bisa diajak ngobrol, tapi kalau diperhatikan seksama akan kelihatan sorot matanya redup. Bapak Ibuk sampai kepikiran anak laki-lakinya itu dan kerap mereka membicarakan harus dengan cara bagaimana lagi agar Yanto kembali seperti sosoknya yang semangat bekerja dan bukan pemurung.

Semua bermula ketika malam itu, Yanto terjaga dari tidurnya pada pukul sebelas malam. Sebelumnya, sejak sehabis Isya, Yanto sudah bergelung di balik selimut dan sesekali melamunkan sosok Mang Burhan, sampai ia terlelap. Yanto memang sering terjaga tiba-tiba saat tidur dan yang terpikir pertama kali adalah ingatan tentang Mang Burhan. Sejak kepergian Mang Burhan, Yanto tidak pernah bisa tidur nyenyak.

Kali ini pun sama, ia terbangun karena dua hal: teringat Mang Burhan dan kantung kemihnya yang perlu dikosongkan. Yanto bangkit dan berjalan menuju kamar mandi dengan pelan-pelan. Saat melintasi ruang keluarga terlihat sudah sangat sepi. Ibuk dan Bapak sudah masuk kamar.

Saat ia kembali dari kamar mandi, ia tidak sengaja mendengar bisik-bisik pembicaraan Bapak dan Ibuk.

"Ibuk ikut sedih, Pak, lihat Yanto begini, hiks... hiks.... Ibu tidak tahu harus bagaimana lagi agar dia kembali kayak dulu. Ibuk nggak kuat liat Yanto lesu setiap hari, hiks... hiks.... Bapak lihat matanya, ya Allah, hiks... hiks... cekung banget, Pak, hiks... hiks.... Tolong Bapak ngomong sama dia, hiks... hiks... ada apa dengan Yanto sampai sebegitu sedihnya, hiks... hiks..."

Dari celah pintu kamar yang terbuka, Yanto bisa melihat deraian air mata Ibuk yang mengalir deras dan Ibuk terus memukul-mukul dadanya meratap. Perasaan nyelekit muncul di dadanya, sungguh ia tidak ingin melihat Ibuk menangis tersedu-sedu begitu dan alasannya karena dirinya.

"Bapak sudah coba, Buk, tapi anakmu itu tetap belum terbuka hatinya. Bapak yakin Yanto hanya butuh waktu. Yanto pasti akan seperti dulu lagi. Ibuk yang sabar, Ibuk harus terus dampingi dia melalui ini. Kita cari tahu pelan-pelan, kita rangkul dia lagi...."

"Ibuk nggak tahan liat muka dia, Pak, hiks... hiks.... Ibuk tambah sedih setiap kali lihat wajah Yanto, Ibuk bawaannya pengen ikutan nangis, hiks... hiks...."

"Ibuk juga harus kuat ya. Bapak akan coba terus merangkul Yanto, Bapak akan berusaha lebih keras lagi agar Yanto kembali bisa tersenyum seperti dulu..."

Yanto meneteskan air mata mendengar percakapan bisik-bisik Bapak dan Ibuk. Ia sangat terharu. Ia lupa selama ini kalau kesedihan yang dirasakannya membawa kesedihan bagi orang lain, yaitu Bapak dan Ibuk. Yanto merasa sangat bersalah sudah membuat Ibuk menangis.

Yanto menghapus air matanya. Ia bergegas masuk kamar. Perasaanya membuncah diliputi kesedihan dan penyesalan. Yanto duduk di tepi ranjang, ia ambil bantal dan ia benamkan wajahnya di situ. Ia menangis sejadi-jadinya dengan suara yang tertahan. Yanto meraung sekuat tenaga sampai urat lehernya kelihatan. Dahinya sampai berkeringat, wajahnya kusut dan basah oleh air mata. Yanto mengeluarkan semua emosi dan kegundahan hatinya lewat tangisan. Butuh beberapa menit sampai ia kembali menguasai diri.

MONTIR KETAR-KETIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang