Marco adalah panutanku, dia sangat mahir di bidangnya. Dia panutan seluruh petugas baru, dia baik hati, ramah, dan sopan... Dia begitu sempurna.

Terlalu sempurna sampai aku tidak sanggup membayangkan dia melakukan hal semacam itu.

Aku... aku hanya tidak habis pikir.

"Kau yakin?" Tanyaku, masih merasa bimbang.

"Aku yakin." Ucap William mantap. "Dan aku akan menangkapnya."

"Kalau dia melawan?" Tanyaku.

"Akan kulubangi tengkorak keparat itu."

William melambaikan tangannya selagi dia berjalan pergi, di tengah hujan. Suara mesin mobil terdengar tak lama setelahnya.

Firasatku buruk soal ini, kalau benar Marco membunuh Linda... Dia pasti akan melawan. Dan kalau tidak... dia juga pasti akan melawan.

Bagaimanapun juga, Marco akan melawan dan William akan membunuhnya.

Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Aku meninggalkan buket bunga yang kubeli di makam Linda. Tak lupa kudo'akan dirinya agar tenang. Lalu aku bergegas menuju ke mobilku, berharap kalau aku belum terlambat.

.
.
.
.
.

Yang kusaksikan saat aku tiba disana adalah kengerian murni.

Dua orang petugas tewas, peluru kaliber .45 melubangi tengkorak mereka. Sementara William tergeletak tak berdaya di lantai apartemen, lubang menganga terlihat dibagian belakang kepalanya. Kelihatannya dia ditembak dari jarak point-blank berdasarkan pengamatanku terhadap lukanya.

Awalnya kukira aku kehilangan William. Namun, betapa terkejutnya diriku saat mendengar erangan lemah William.

Sementara aku dan beberapa petugas lainnya menyisir lokasi kejadian, tim medis bekerja keras untuk menyelamatkan nyawa William.

"Inspektur!" Seorang petugas memanggilku, dia membawa sebuah pistol kaliber .50 "Kutemukan senjata ini di bawah ranjang."

Kaliber .50? Kenapa dia punya senjata seperti ini? Tidakkah sedikit terlalu berlebihan untuk menggunakan sebuah handcannon sebagai alat melindungi diri?

Pelurunya kosong... Kapan dia menggunakannya? Mereka tidak menemukan selongsong kosong kaliber .50 di ruangan ini, jadi pasti dia menggunakannya di suatu tempat?

Aku tidak pernah melihat Marco membawa senjata sebesar ini ke kantor... Jadi penggunaan saat bertugas sebagai petugas dapat dicoret dari daftar kemungkinan.

Mungkinkah... Ah tidak, hipotesis itu sedikit ekstrim.

Sejauh ini hasil penyisiran lokasi nihil, tidak ada sesuatu yang dapat menjadi sebuah bukti yang solid. Dan pertanyaan terbesarku adalah... Dimana Marco sekarang? Saksi mata mengatakan kalau dia melompat dengan seorang gadis, masuk ke dalam helikopter.

Sayang, tidak ada yang merekam kejadian secara langsung... Kalau ada, semuanya akan menjadi lebih mudah.

Sesuatu yang mudah bukanlah kebenaran. Kebenaran hanya bisa didapatkan melalui tekad dan kerja keras.

Kata-kata Linda melintas di benakku. Untuk sesaat, pikiranku teralihkan dari kasus ini. Aku mulai membayangkan memoriku dan Linda bersama. Mulai dari awal kami bertemu, kencan pertama, dan bahkan malam aku melamarnya.

Fokus, Smith.

Bisikku kepada benakku. Aku harus menaruh seluruh perhatianku pada kasus ini.

"Inspektur Welson!" Salah seorang petugas menyerahkan sebuah handphone layar sentuh kepadaku. " 'Dia' mencarimu"

Dia mencariku?

Aku meletakkan telingaku ke handphone tersebut.

Suara serak-serak basah terdengar dari telepon itu. "Welson..." ujar suara itu. "Temui aku, sekarang."

Dia memutus sambungan telepon setelah mengucapkan empat patah kata. Perintahnya adalah absolut, mengabaikannya berarti penurunan jabatan.

Lagipula...

Dipanggil oleh ketua sebuah intelejensi internasional rahasia?

Siapa yang tidak ingin bertemu dengannya?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Sesulit itukah untuk melacak satu orang?"

Suasana ruang itu sangat tegang, sepuluh orang -- termasuk diriku-- duduk mengelilingi sebuah meja bundar.

"William-- maksudku Percival, hampir tewas olehnya." Ujarku.

"Kami tahu." Ujar pria yang bernama Lamorak.

"Galahad tidak bisa dibiarkan, dia harus segera disingkirkan." Sambung pria bernama Bedivere.

"Aku tahu, tapi... Apakah dia benar-benar bersalah?" Tanyaku, aku masih tidak yakin apakah Marco benar-benar seorang pembunuh.

"Geraint." Ujar pria yang duduk di kursi yang berada di tengah. "Galahad telah melanggar 'Code of Chivalry' kita. Oleh sebab itu, dia harus kita singkirkan."

"Tapi... Arthur, Kita belum memastikan kebenarannya bukan?"

"Kay benar, kita belum tahu pasti soal Galahad." Balas Lancelot.

"Satu kali lagi." Arthur menghela nafasnya. "Satu kali lagi aku menyadari kesalahan yang dilakukan Galahad, maka aku sendiri yang akan turun tangan."

"Oh sudahlah, Arthur." Cetus Gareth yang berada di seberangku. "Akui saja, kita semua yang berada disini adalah pembunuh... Jadi Galahad membunuh beberapa orang, lalu kenapa? Aku sendiri sudah membunuh ribuan orang."

"Dengan sebuah alasan." Balas Arthur. "Kita membunuh dengan alasan. Camelot selalu membunuh dengan alasan. Kita adalah pembunuh bayaran, bukan manusia barbar."

Aku hanya bisa menghela nafasku. "Dengar, aku tidak tahu apa yang kalian ingin lakukan. Tapi kumohon, jangan bahas soal 'membunuh' didepanku."

"Aku benci membahas kegiatan itu." Ujarku.

.
.
.
.
.
.
.
.

End of file 06

.
.
.
.
.
.
.

((Hello semua! Akhirnya cerita ini update! Bagaimana chapter ini? Maaf kalau sedikit aneh, seperti biasa, Vommentnya sangat diharapkan. Semoga kalian menikmatinya! -danchandr))

Inside [ON REVISION/REWRITE]Where stories live. Discover now