Candrasa

905 139 17
                                    

Manik kembali menutup pintu ruangan Dhiva. Gadis itu menunduk sedikit pada Dhiva yang sedang duduk di kursinya. Senyuman tipis menyambut kehadiran Manik terpancar dari wajah ramah Dhiva.

Manik kemudian duduk di kursi yang terletak di depan meja Dhiva. Ini adalah pertemuan tatap muka setelah kurang lebih satu minggu yang lalu mereka bertemu. Mereka hanya berkomunikasi melalui pesan dan membahas masalah pekerjaan saja. Hari ini, Manik diminta menemui Dhiva yang tentunya gadis itu tahu arah tujuannya kemana. Manik tak mau berpikir panjang dan banyak. Ia hanya perlu menyiapkan diri jika ada hal yang tak diketahuinya nanti.

"Gimana kabarmu, Man?"

Manik tersenyum tipis. "Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Dhiva gimana kabarnya?" basa-basinya.

"Alhamdulillah baik juga, Man." Dhiva tersenyum singkat.

Perempuan itu menatap Manik dengan pandangan yang penuh dengan atensi. Dhiva tahu jika Manik pasti sudah paham dan dirinya tak perlu berbasa-basi lagi.

Dhiva lantas kembali tersenyum singkat.

"Baik, sepertinya kita langsung ke intinya saja, gimana?" Manik langsung menjawab dengan anggukan dan senyuman tipis. Ia begitu tenang.

"Mbak sebelumnya minta maaf karena telah membuat kamu kecewa. Kamu pasti menganggap mbak sebagai pembohong dan penipu, itu tidak apa-apa. Mbak sudah tahu resikonya jika sudah begini."

"Sejak kapan Mbak tahu tentang Amba?" tanya Manik langsung sesaat Dhiva menyelesaikan kalimatnya. Ia tak tertarik membahas mengenai kebohongan Dhiva.

Dhiva seketika menatap Manik yang menatapnya penuh tanya. Di kepala gadis itu sudah ada ribuan pertanyaan yang siap diajukan kepada Dhiva. Manik sebenarnya kecewa, namun ia juga berpikir jika ia tak menulis, maka tak akan ada drama seperti ini. Jadi, awal mulanya tetaplah dia.

Awalnya Manik tak begitu memikirkan dampak yang ia perbuat. Ia hanya menumpahkan rasa resah sekaligus marahnya lewat tulisan. Ia juga tidak memikirkan dampaknya jika akan seperti ini. Berurusan dengan Dhiva, usaha mencari informasi dengan liar, sampai ia harus berhubungan dengan Sabrang. Sejujurnya ia enggan merasakan semua itu. Ia hanya ingin hidup normal seperti orang biasa. Kembali lagi, bukankah itu akibat yang ia buat sendiri?

"Sejak lama aku sudah curiga. Aku sangat tertarik mengulik kasus kematian hakim yang sedang menangani kasus berat saat itu. Mungkin ketika itu aku masih kuliah, tapi jiwa penasaranku sangat tinggi. Bertahun-tahun masih penasaran apalagi setelah ada tulisan Amba yang cukup membuatku merasa harus mengulik lebih dalam."

"Dan kenapa aku yakin itu kamu? Kamu mungkin adalah orang yang amat rapi dalam pekerjaan. Kamu selalu menyelesaikan semua tugas dengan baik bahkan membantu sistem di perusahaan ini."

"Lalu?" potong Manik segera. Ia sangat penasaran.

"Curriculum vitae. Kamu tidak ingat? Semua data diri kamu ada di situ. Aku terkesan dengan pekerjaanmu hingga mengulik dirimu. Tetapi dalam upaya itu, aku menemukan hal yang tak terduga. Kamu putri dari Tjatur Suyadi, hakim yang menangani kasus Yoyok. Saat itu kasus tersebut cukup menggemparkan bahkan akan dilimpahkan ke pusat. Kegigihan seorang Tjatur Suyadi dalam menghukum dan menjalankan tugas hakim dengan sebaik-baiknya begitu terlihat. Dia benar-benar hakim idaman yang patut diteladani oleh hakim saat ini."

Pandangan Manik seketika jatuh. Perasaan sedih seketika menyeruak.

"Buat apa menjadi teladan walau pada akhirnya terbunuh?" Manik mengangkat wajahnya dan mengajukan pertanyaan tersebut kepada Dhiva.

"Aku sepertinya bodoh dengan tetap seperti ini."

Dhiva mengerutkan dahinya dalam. "Maksud kamu?"

"Aku tidak bisa melanjutkannya. Mungkin kemarin aku terkesan bersemangat. Namun aku memutuskan mulai hari ini aku tidak akan melanjutkan itu semua. Tidak ada lagi Catatan Amba dan pembukaan kasus atas nama ayahku."

Dostali jste se na konec publikovaných kapitol.

⏰ Poslední aktualizace: Aug 20, 2022 ⏰

Přidej si tento příběh do své knihovny, abys byl/a informován/a o nových kapitolách!

Catatan AmbaKde žijí příběhy. Začni objevovat