Banyu

691 156 6
                                    

"Kar, tolong volume televisi ditambah dong." Terdengar Nindi meminta tolong pada Afkar yang kebetulan lewat untuk menambah volume televisi yang berada di ruang redaktur.

Sementara itu, Manik tengah fokus dengan pekerjaannya. Ia harus menyelesaikan deadline hari ini agar narasi yang telah dibuat bisa segera dirilis.

"Rencana pembangunan jalan trans Jawa akan segera direalisasikan. Hal ini masih menunggu keputusan dari pemerintah pusat mengenai kapan akan dilaksanakan peletakan batu pertama. Saat ini ada beberapa daftar perusahaan yang bertanggung jawab atas pembangunan trans Jawa ini. Diperkirakan trans Jawa akan menjadi jalur cepat yang membantu mobilisasi di Jawa sehingga pembangunan di Jawa akan semakin cepat di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Hal ini selaras dengan,"

"Man."

Manik langsung mendongak. Sang pimpinan tengah berdiri di depan kubikelnya.

"Ada apa, Mbak? Harusnya telepon aja tadi." Manik agak kaget dengan kedatangan Dhiva yang tiba-tiba.

Dhiva memilih tersenyum. "Sekalian lewat kok. Nanti habis istirahat siang, ke ruanganku, ya."

Manik langsung mengangguk. "Oke Mbak."

Lalu Dhiva kembali berjalan ke ruangannya dan Manik melanjutkan kegiatannya.

"Man, nggak tertarik bikin review pembangunan trans Jawa?" tanya Nindi kemudian.

"Kerjaan gue banyak banget, Nin. Pala gue pening banget." Manik menjawab tanpa menoleh ke arah Nindi.

Nindi langsung terkekeh pelan. "Lo 'kan semi manajer mbak Dhiva. Siap-siap gih diangkat manajer mbak Dhiva beneran."

Manik langsung berdecak. "Nggak, lah. Udah nyaman di sini."

"Lagian, kalau gue ikut mbak Dhiva, bisa-bisa tiap hari kena siraman qalbu nyokap. Pulang telat aja disindir-sindir."

Nindi langsung terkekeh pelan. Beberapa kali Manik mengeluhkan sang ibu yang kerap memprotesnya. Bukan alasan malamnya, namun jam kerja Manik yang begitu panjang. Sang ibu pernah berkata lebih suka jika Manik kerja sewajarnya saja.

Namun dibalik protesan sang ibu, Manik tahu jika ibu hanya ingin melihat anaknya tak begitu larut dalam pekerjaan. Ibu hanya ingin Manik menikmati hidup dan tak terbebani oleh pekerjaan. Sedangkan di sisi Manik, ia suka bekerja di bidang sekarang walaupun sering kali harus menambah durasi waktu bekerja. Baginya, ini lebih baik daripada ia berdiam diri yang membuatnya muak mengingat hal-hal yang menyakitkan baginya.

Tak terasa sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Sejenak Manik meregangkan ototnya. Gadis itu lalu mengambil botol minuman yang biasa ia bawa dari rumah.

"Man, gue mau pesen makan di layanan pesan antar. Lo mau nitip apa?"

"Di mana?"

"Resto ayam."

"Biasanya aja, Nin. Nanti gue transfer ke rekening lo, ya. Gue nggak ada duit cash sekarang."

"Oke." 

Nindi lalu memesan makan siang mereka lewat layanan pesan antar. Terkadang jika mager, mereka memesan makan siang secara online.

"Tiba-tiba kangen makan bekal yang gue bawa sendiri," ucap Manik tiba-tiba.

Menjelang istirahat siang, mereka memilih mengobrol santai sembari menyelesaikan pekerjaan masing-masing. 

"Bawa aja, Man. Nanti gue sekalian bungkusin. Masakan nyokap lo enak banget asli."

Manik menatap Nindi yang berada di kubikel sebelahnya. Sedangkan Nindi tersenyum lima jari.

"Apa gue masak sendiri aja, ya? Bangun subuh terus masak. Berasa emak-emak anak lima."

Catatan AmbaOnde histórias criam vida. Descubra agora