[YUTA] Melangut Bajramaya

19 0 0
                                    

a story by Pawanazero

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

a story by Pawanazero



Di tahun enam puluh delapan, pria muda bernama Ryuga tidak hanya berhasil mencapai mimpinya untuk menjadi seorang jurnalis, namun apik dalam mendadani mimpinya dengan polesan professional. Itu maknanya, pria desa itu tumbuh sebagai pemuda yang semakin jenius di seusianya yang terbilang cukup muda. Walau semenjak perang dunia dua berakhir diksriminasi terhadap anak keturunan jepang masih berlangsung selama gigi susunya berganti menjadi gigi geraham, ryuga kebal karena ayah mereka tidak seperti paman-paman di koran dengan headline kasar. Ryuga tidak ditinggal pergi oleh ayahnya yang berdarah jepang itu.

Malam itu, baru saja ia duduk setelah beberapa menit berjalan menatapi jalanan kecil yang di pagari oleh pepohonan. Sinar matahari sore membuat langkahnya bersemangat. Burung-burung berkicauan di langit biru, angin berhembus sejuk, derik sayup jangkrik dari balik semak-semak boncel, dan suasana taman di tengah kota Surabaya yang terasa begitu indah. Ryuga memutuskan untuk beristirahat sejenak di kursi taman sembari mengecek beberapa pesan di grup yang tanpa henti mengkicaui target headline berita mingguan. Setelah beberapa menit membaca, ia mengangkat kepalanya. Pandangannya menangkap suatu objek menawan. Ia berhenti.

Di sanalah dia berdiri. Di depan danau jernih yang memantulkan cahaya keemasan matahari. Sosok itu tengah memandangi kolam ikan di antara mereka. Ryuga menatap sosok itu dari samping. Dia terlihat begitu karismatik dan manis, tetapi ryuga mencoba untuk tak terlalu menggubrisnya. Akan tetapi, saat kedua mata mereka bertemu, saat itu pula ada sepercik keabadian yang menggema dalam hatinya. Dan sejak saat itu, wajah tenang khas pribumi itu tak pernah hilang dari benaknya. Laya Bajramaya. Ryuga mendengar seruan suara berat dengan kesan tegas. Pria tua berjalan mendekat ke arah wanita tersebut lalu membawanya pergi.

Pertemuan pertama Ryuga menciptakan benang merah yang mereka ikat di jari manis meraka masing-masing. Beberapa hal yang tidak terlalu di harapkan memang menyebabkan prasangka pada situasi baru yang tak terduga. Seperti hubungan Ryuga dan Laya. Ryuga bukan lelaki penuntut yang banyak mau. Ia tidak pernah minta apapun dari wanitanya itu. Ia merasa cukup senang menatap kekasihnya dari sebrang sofa sambil berusaha mengubur khayalan romantis. Hal-hal di luar nalar yang biasa sepasang kekasih lakukan. Sama seperti pasangan yang terbuai cinta yang lainnya. Laya wanita pintar dan bijaksana selayaknya didikan keraton, kemayu dan lembut dari perempuan lainnya. Laya tidak begitu cantik. Namun perempuan yang sangat amat menarik. Begitulah rujukan hari seorang Ryuga kepada Laya.

Dua tahun berlalu. Mereka terlalu kusut oleh benang-benang cinta. Tidak ada yang berkurang dari kasih masing-masing. Tertolaknya Ryuga di keluarga Laya lah yang membuat tiap malam Ryuga menjadi terkaan gelisah. Pria itu giat mondar-mandir menuju kediaman Laya sampai memutuskan untuk membeli rumah di Surabaya untuk menunjukan keseriusannya pada orang tua Laya. Ryuga merasa putus asa, jauh dalam dirinya takut namun ia pantang untuk melepaskan Laya. Di tengah kekalutan itu, lamat-lamat titik-titik cahaya di kanvas langit mengintip mereka di ruang tamu rumah Ryuga. Sinar lampu menyala di atas meja tempat mereka saling berdampingan. Saat Ryuga menatap Laya, yang ia lihat di bola matanya adalah bayangan samar dirinya yang semakin lama semakin kabur dan bergetar. Laya mulai menangis.

"Laya. Dengar. Aku akan tanggung jawab. Tabunganku cukup untuk biaya kita menikah dan aku sudah membeli rumah. Aku jurnalis hebat Laya, kau harus percaya diri memilikiku."

Ryuga memegang kepala Laya dengan kedua tangannya. Di usapnya butiran kristal deras pertama yang ia lihat selama mereka berhubungan. Ia sedikit berusaha memberikan lelucon saat bicara seperti itu, namun sepertinya itu tidak cukup lucu. Jelas Laya amat panik dengan kenyataan ia mengandung anak Ryuga. Dan kerasnya keyakinan orangtuanya yang menentang hubungan mereka membuat Laya cukup stress.

Beberapa hari setelahnya, Laya berhasil mengalihkan pikirannya dari hal-hal buruk mengenai masa depan mereka dan fokus untuk menjaga kandungannya agar tetap sehat. Dua bulan usia kandungan tidak membuat tubuh Laya berubah, dan perutnya juga tidak terlalu menunjukan tanda-tanda kehamilan. Oleh sebab itu Laya meminta orang tuanya untuk tinggal di salah satu rumah yang tak jauh dari kediamannya saat ini. Ia beralasan ingin menghindari kedatangan Ryuga agar lekas melupakannya. ia hanya takut ketika kandungannya semakin tua, kebaya yang ia gunakan untuk sehari-hari akan membuat orang tuanya curiga akibat terlalu sering berganti ukuran untuk menyesuaikan tubuhnya.

Baru saja ia ingin memejamkan matanya, ketukan halus dari pintu depan membuat matanya kembali segar. Ia lekas berlari kecil. Ketika matanya menangkap sesosok pria bersandar pada pintu masuk sembari tersenyum, mata Laya tiba-tiba perih karna tak kuasa menahan tangis. Ia menghamburkan tubuhnya pada pelukan hangat Ryuga. Tangan besar pria itu mengelus lembut punggung kepalannya. Ryuga pun dengan sendirinya menenggelamkan kepalanya pada pundak Laya, juga melebarkan kakinya agar biasa menyamakan tinggi mereka.

Ryuga berbisik lembut di telinga Laya. "I miss you Layaa... I miss you so much." Tepat selesai Ryuga menyatakan cintanya, bulu kuduk Laya berdiri. Hembusan nafas Ryuga yang menyapu lehernya membuatnya sedikit tersipu. Perkataan Ryuga selalu membuat Laya semakin mencintainya. Tubuhnya mendekap Ryuga lebih erat untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia melepaskannya.

Kala matahari mengintip dunia, Ryuga memantapkan niatnya dengan menunjukan sepasang cincin sederhana untuknya. Keduanya mulai ritual mandiri dengan romantis dan sedikit malu-malu untuk memasangkan cincin pada jari manis mereka secara bergantian.

"Ryuga, ayolah kita kawin lari aja. Kalau ibu sama bapak tetap ndak nerima kamu gimana? Aku gak siap kalau nanti ditanya sama anak ini tentang siapa bapaknya."
Ungkapan polos Laya membuat Ryuga tertawa. "Kawin lari? Kamu aja udah gak tenang sekarang apa lagi kalau kita kawin lari. Aku nggak akan ninggalin kamu." Selepas itu Ryuga masih menahan tawanya.

"Tadi kamu bilang kalau kamu mau ada dinas selama beberapa minggu. Minggu itu lama loh ga. Siapa tau kamu ambil kesempatan untuk ninggalin aku, kan aku nggak tau."

"Aku janji. Setelah dinas aku selesai, aku langsung lamar kamu di depan ndoro. Aku siap berlutut. Segala konsekuensinya aku terima." Suara damai Ryuga menenangkan hari Laya. Ia melemaskan tubuhnya agar pria itu bisa memeluknya lebih erat.

"Kamu berangkat kapan?"

"Besok. Makanya aku mampir kesini dulu buat kasih jaminan ke kamu."

Sepanjang malam keduanya terus mempererat kasih satu sama lain. Ryuga hadir untuk menjaga Laya. Ia akan segan menyodorkan kotak tisu atau membuka lebar pundaknya ketika wanita itu tiba-tiba meneteskan air matanya. Ryuga akan berusaha membuat Laya tidak kesepian walau ia berada jauh ribuan mil dari kekasihnya. Berusaha menemani Laya dalam lamunan yang kosong. Saat pagi terakhir sebelum Ryuga pergi, pria itu membuatkannya secangkir susu panas, memasak makanan untuknya dan membelikan banyak sekali cemilan sehat untuk teman kecil Laya.

Selama kepergian Ryuga, keduanya saling bertukar kabar dengan mengirim surat. Laya menulis kata-kata panjang tentang bagaimana bayi mereka semakin tumbuh, dan Ryuga yang membalasnya dengan senandika-senandika cantik. Sesekali membuat perutnya seperti penuh dengan kupu-kupu saking senangnya. Laya memberikan surat kepada Bajo, pelayannya untuk di kirim melalui kantor pos. Namun di minggu kedua, beberapa surat yang Laya kirim sama sekali tidak mendapatkan balasan. Laya mudal gelisah. Ia berpikir kalau Ryuga benar meninggalkannya, atau mungkin pelayan nya mengadukan semuanya kepada orangtuanya, sehingga surat-surat yang ia buat tidak sampai ke Ryuga.

Karena sudah lima hari ia tidak mendapatkan balasan, dengan berani dan sedikit nekat, Laya inisiatif untuk mengantarkan suratnya sendiri menuju kantor pos. Takut kalau perkiraan mengenai pelayan yang mengkhianatinya benar. Laya dengan cepat pergi, mengantisipasi keluarganya untuk lebih cepat menemukannya ketika tahu ia tidak ada di rumah. Di lain sisi Ryuga sangat sibuk sampai ingin mati. Kepalanya benar-benar sakit dan badannya sangat lelah. Pekerjaannya sukses mengalihkan ingatan penting akan seseorang yang tengah menunggu kabarnya.

Beberapa hari berlalu, tersadarlah Ryuga akan sesuatu yang terlupakan. Ia bergegas meninggalkan kantor lalu pulang ke rumah untuk membaca sura-surat yang kekasihnya kirim. Dengan tuxedo yang masih menempel di tubuhnya, ia merapihkan dasi yang sedikit berantakan lalu mulai membaca surat tersebut. Jelas. Ryuga senang sampai detak jantungnya berdetak berlebihan. Menyadarkan dirinya kalau ia masih tetap mencintai wanita tersebut. Setelah selesai membaca, Ryuga dengan cepat menulis balasan seperti biasanya. Menggambarkan betapa bahagianya ia bisa memiliki dua orang penting dalam hidupnya, dan kesehariannya yang sangat padat dengan rangkaian senandika. Tiga surat cukup untuk membalas surat-surat Laya. Lalu ia lekas mengirimnya ke kantor pos agar cepat sampai pada wanitanya.

Aneh. Setelah Ryuga membalas surat tersebut, ia tidak mendapatkan balasan satupun dari Laya. Di kepalanya terus berkecamuk memikirkan kemungkinan yang ada. "Apa laya ketahuan mengandung anak kita berdua?" lebih dari itu, Ryuga mulai tidak tenang dan terus mengetukkan jarinya selama bekerja di kantor. Dinasnya selesai tiga hari lagi, namun ia sangat tidak sabar. Melihat beberapa tim kantor yang sedang ia dinas ingin pergi ke Surabaya, ia meminta salah satu rekan kerjanya untuk menitipkan surat dan mengecek keadaan Laya. Dan nihil. Sama seperti sebelumnya, rekannya pun tidak ada kabar.

Di ujung kekhawatirannya, Ryuga memutuskan untuk membeli tiket menuju Surabaya. Beberapa hari kebelakang bahkan ia tidak mengevaluasi hasil kerjanya di koran. Yang ada dipikirannya hanyalah Laya. Sesampainya di Surabaya, tanpa menaruh barangnya di rumah, ia memutuskan untuk langsung menuju rumah kedua Laya. Siang itu selama menuju rumah Laya, jalanan terlihat ramai dan bising dari bisik-bisik ratusan orang yang mengerubungi jalan. Perasaan Ryuga semakin tidak enak. Apakah ia akan datang di pernikahan Laya dengan laki-laki lain? Ia hanya bisa terus menggesekan telapak tangganya pada pahanya sambil melongok dari kursi belakang dengan situasi di luar mobil.

Setelah mobil berhenti, Ryuga lekas turun dan berlari. Hatinya sudah meneriaki nama Laya dengan gelisah. Di depan rumah kekasihnya ramai dengan orang-orang dan tiba-tiba, seorang anak kecil melempar sebuah koran. Ketika Ryuga menatap anak itu, mimiknya mengisyaratkan agar ia membaca apa yang ada di koran tersebut. Ia menurut dan membaca Headline utama pada koran tersebut. Matanya melebar dan nafasnya menjadi sesak. Ia membuang koran dengan cepat lalu menerobos masuk menuju rumah Laya. Selama ia berlari, ia melihat sepasang mobil polisi terparkir di halaman. Tanpa sadar Ryuga menangis dengan nafas terbata-bata. Tangisan paling menyakitkan.

Tepat di pintu masuk utama, Tubuh Ryuga di tahan oleh pria besar berseragam. Ryuga menangis sambil meneriaki nama kekasihnya lirih. Dirinya yang kian memaksa untuk memasuki rumah membuat polisi marah lalu melempar tubuhnya kebelakang. Ryuga terlempar lalu terjatuh dengan kencang. Tulang ekornya cukup sakit namun ia tidak begitu memperdulikannya saat itu. Ia hanya butuh bertemu dengan kekasihnya. Memastikan kalau kabar yang ia baca tidak benar.

Ia kembali berdiri dan mencoba untuk menerobos pintu, namun ia kalah cepat dengan beberapa polisi di belakangnya yang dengan cepat melipat tangannya kebelakang. Ia berhenti memberontak lalu berteriak pasrah. Tak lama, seorang wanita tua keluar dari pintu utama dan berjalan menuju ke arahnya dengan ekspresi marah. Tentu saja marah. Karena dirinya anak perempuannya meninggal. Kalau waktu itu ia tidak sibuk bekerja sampai lupa untuk membalas surat kekasihnya, Laya tidak akan mungkin pergi menuju kantor pos sendiri sampai akhirnya di culik. Wanita tua itu menangis tersedu sambil meneriaki Ryuga dengan kalimat tuduhan tidak benar namun Ryuga pun tidak bisa menyangkalnya.

Setelah itu Ryuga di usir atas permintaan ibu Laya. Ia tidak melawan dan hanya hanyut dalam pikirannya yang kosong. Kabar di koran yang tadi ia baca bagai halilintar di kepala Ryuga. Kekosongan yang hanya diisi oleh suara bisik orang-orang yang saat ini sedang menatapnya. Ia kembali menuju mobil untuk meninggalkan rumah Laya. Selam di mobil ia hanya menunjukan ekspresi kosong namun air matanya tidak berhenti keluar. Amarah juga.

Beberapa hari berlalu Ryuga kembali bekerja layaknya zombie. Orang-orang kantor mulai bergosip tentang hubungan dirinya dengan Laya. Atasannya pun terus menekan Ryuga untuk menulis artikel perkembangan kasus Laya. Setelah itu Ryuga terpaksa harus menuliskan sendiri tentang kematian kekasih dan anak yang dikandungnya. Betapa kejamnya ia di culik kemudian dijual kepada sekelompok bandit untuk di perkosa secara bergilir setiap harinya. Ryuga menuliskan tentang hasil visum yang membuktikan perbuatan para bandit kepada Laya dan ia juga menuliskan kalau Laya di perkosa dalam keadaan hamil tanpa di beri makanan atau minuman. Mereka menaruh Laya di rumah Kosong tanpa jendela dan tanpa ada air untuk membersihkan dirinya. Hasil visum menunjukan luka serius   pada punggung tangan Laya yang disebabkan karena ketika di pukuli, Laya berusaha untuk terus melindungi bagian perutnya. Laya di temukan dalam keadaan tidak berbusana dan mulai membiru. Pada lokasi kejadian, polisi menemukan setumpuk daun kering berisi tulisan-tulisan yang isinya selalu tertulis nama Ryuga dan kata anakku.

Tentu Ryuga mendatangi kantor polisi untuk meminta daun-daun tersebut. Setelah membawa daun-daun itu pulang ia kembali menangis. Ia bahkan tidak membaca surat terakhir dari Laya yang ia bawa saat pergi menuju kantor pos. Pelayan yang selalu menemani Laya sempat mengatakan kalau beberapa hari sebelum Laya pergi, ia terus membahas kalau ia menginginkan bayi laki-laki agar mirip seperti dirinya. Mendengar itu membuat Ryuga sakit setengah mati.

Sampai dua tahun berlalu tidak ada alasan lagi untuk pulang. Pada akhirnya Ryuga menjual rumah yang ada di Surabaya lalu kembali menetap di Jakarta. Ia pun mencoba untuk menikah Bersama seorang wanita asal Jakarta bernama Fara. Hubungan mereka baik-baik saja. Ryuga sama perhatiannya, tidak meninggalkan tanggung jawab sebagai suami, sampai di tahun pertama mereka menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka namai Galang. Perasaan baik-baik saja menurut Ryuga di sangkal besar oleh fara yang pada akhirnya, di tahun kelima mereka berumah tangga, farra meminta cerai. Fara mengatakan kalau Ryuga benar-benar suami dan ayah yang baik. Namun selama lima tahun mereka Bersama, fara tidak merasakan kehadiran Ryuga di keluarga itu. Rumah mereka selalu dingin dan canggung. Seperti bermain peran keluarga.

Setelah berpisah dari fara, Ryuga semakin rajin menemui Psikiater. Persidangan perceraian mereka memutuskan hak asuh Galang jatuh pada fara, dan Ryuga tidak keberatan dengan itu. Karena Galang masih di bawah umur, Ryuga masih memiliki kewajiban untuk menafkahinya. Walau akhirnya Ryuga memutuskan untuk pindah ke Jepang ia tetap berhubungan baik dengan Galang dan juga fara. Ryuga mulai bosan dan iseng menulis tetang kisah hidupnya, yang tidak sengaja terbaca oleh salah satu rekan penerbitnya di jepang. Ryuga tidak bisa berpikir waktu itu. Ia masih manusia kosong yang menggumamkan nama Laya pada malam hari dan meringik seperti anak anjing yang kesakitan. Ia menyetujui penerbitan cerita tersebut dan tidak di sangka kalau tulisannya akan menjadi ramai. Mulai banyak media yang ingin mewawancarainya, namun tak satupun dari mereka Ryuga terima. Pernah satu waktu ia memutuskan untuk membuat acara temu penggemar, itupun mengakibatkan Ryuga harus lebih banyak meminum obat penenang dan obat tidur sampai ia harus menginap di rumah sakit umum. Lalu sayup-sayup ia terus mendengar suara seorang perempuan namun ia terlalu mengantuk menoleh. Ia mendengar seseorang berkata, "Aku akan menikahimu, paman Ryuga. Cepatlah bangun! Kau harus mandi, kau sangat bau dan berantakan."





END

END

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




haiiiii~~ ini nihhhh oneshot kerennnn punya kak Pawanazero. keren banget yakannnn

yukkk mampir ke akun kak Pawanazero dan twitternya di @gemagenta buat liat karya karya keren yang laiiinnn!!!

TEMPAT PULANGWhere stories live. Discover now