Chapter 4. Gempa Gempaaa

2 0 0
                                    

Chapter 4. Gempa Gempaaa

Pada suatu sore, selepas kuliah jam 4, 3 orang yang memutuskan untuk berteman pulang bersama. Punya kendaraan adalah sebuah kemewahan waktu itu. Maka kebanyakan kami masih begitu sehat, alias berjalan kaki pulang pergi kampus. Masih punya waktu untuk membakar sisa-sia lemak gorengan yang dimakan. Bagi yang jauh masih naik angkot. Sore itu, aku ingat cuaca sangat cerah dan besok adalah hari pertama puasa.

Kami baru saja menjadi mahasiswa, baru menjadi anak perantauan dan ini akan menjadi ramadhan pertama jauh dari orang tua. Betapa romantisnya perasaan ini kan?

Jadi, sambil menatap jalanan kampus yang lenggang dan gedung serbaguna baru yang waktu itu masih baru, aku bertanya, "udah lama ya gak gempa?"

Murni hanya pertanyaan biasa. Seperti gempa yang muncul tanpa peringatan, itulah yang terjadi saat pertanyaan itu muncul. Murni Cuma tiba-tiba terpikir melihat bangunan baru yang mungkin harus menguji ketangguhannya dengan sedikit guncangan. Kemudian, gempa itu benar-benar terjadi.

Warga annisa sibuk sekali sore itu. Besok akan puasa. Entah kenapa semua baju rendaman harus dicuci sore itu. Semua orang juga ingin mandi tepat waktu. Semua orang ingin berbagi semarak puasa pertama ditempat favorit kami. Daerah dapur kamar mandi. Ada yang mencuci, mandi atau sekedar nongkrong di pintu dapur. Berisi riuh cerita hari ini dan rencana ramadhan dengan seragam kebangsaan, berselempang handuk.

Aku baru saja masuk kamar mandi waktu getaran pertama itu terjadi. Mendadak, menghentak, menguncang dan diikuti gemuruh bangunan yang meraung seram.

Kami terdiam. Mendadak semua canda tawa berhenti. Butuh waktu beberapa detik untuk sadar. Berasal dari tempat yang rawan gempa dan kami semua sudah melewati gempa terbesar pertama dibeberapa tahun sebelumnya. Membuat kami sejatinya adalah gempaers professional. Insting pertama adalah memastikan kalau gempa ini kencang dan lebih dari 3 detik. Kemudian baru panik.

"gempaaa gempaaaaa!!! Allahu Akbar!"

Gempa kala itu cukup kencang meski aku lupa berapa sr. Apakah sekitar 7?

Semuanya menjerit. Bingung apa yang harus dilakukan pertama. Kami semua tahu kalau kami harus keluar rumah, menyelamatkan diri. Hanya saja, hampir tak satupun diantara kami memakai pakaian lengkap yang bisa langsung keluar rumah. kebanyakan hanya memakai dalaman. Bisa sekedar thank top dan celana pendek. Ada yang berbaju panjang tapi celana juga celana pendek. Atau seperti aku yang baru saja melepas baju akan mandi.

Jeritan-jeritan takbir dan astagfirullah memenuhi bagian belakang annisa secara mendadak. Ayuk tinok menjerit memanggilku agar keluar sementara aku tak tahu bagaimana caranya memakai kembali semua bajuku. Antara memilih mati saja dikamar mandi ditemukan tak berbaju atau keluar tak berbaju. Pilihan berat.

"cepat! Keluar! Gak usah pake baju!" jerit ayuk tinok. Berusaha tak menggedor pintu kamar mandi yang Cuma ditahan dengan lidi. Ya, kunci kamar mandi kami Cuma lidi sapu yang didorong bolak balik.

"ayuk aku belum pake baju!" sahutku. Dan dia kembali menjerit menyuruhku keluar.

Akhirnya aku keluar dengan dalaman berlapis handuk.

Kami kabur lewat pintu belakang. Tempat keluar rumah terdekat. Hanya saja halaman tempat jemur menjemur kami ini nyaris kiri kanannya adalah tembok yang saat itu terlihat seperti terbuat dari sponge. Ketakutan, kami berlari bersama ke pintu depan.

Jadi serombongan anak gadis berbaju minim itu menjerit ketakutan, mengumpulkan keberanian menembus ruang tengah dan berkumpul didepan kosan. Ibuk kos sekeluarga juga melakukan hal yang sama dan begitu semua orang disekeliling kami. Juga pondokan cowok yang berada di kanan rumah (bukan yang sering menjerit air bersama kami, itu disebelah kiri rumah). Semua orang berkumpul ditempat yang jauh dari apapun yang kemungkinan bisa roboh. Belum lagi anjing yang menggongong. Sungguh, aku sangat bersyukur ini tak terjadi dimalam hari.

Gempa itu susul menyusul dan kami Cuma bisa berdiri pasrah. Aku tak bohong kalau bilang aku tak panik hanya saja ketakutan itu menular. Puncaknya, salah seorang warga kami pingsan. Pingsan. Ini, ini pertama kalinya aku melihat orang pingsan karena gempa. Tidak. dia tidak tertimpa apapun tapi memang ayuknya panikan. Pingsannya si ayuk menjadi highlight gempa kami.

Gempa terseksi yang pernah aku lewati. Berhandukkan dipinggir jalan. Yang kuinginkan Cuma kembali masuk dan berpakaian tapi ayuk tinok mencegahku. Dia sungguh merasa bertanggung jawab perlu menjagaku tetap utuh dibawah pengawasannya. Jadi yang bisa kami lakukan adalah saling berpelukan dan berharap belum kiamat saat itu. Saat gempa akhirnya mereda yang rasanya seperti selamanya, kami buru-buru masuk untuk berpakaian.

Yang selayaknya dilakukan kemudian adalah menghubungi keluarga. Biasanya, di usia kami yang masih belia ini, orang tua akan menghubungi karena cemas dan itulah yang terjadi. Jaringan menjadi begitu sibuk dan handphone silih berganti berdering diikuti rentetan pertanyaan yang hampir sama. Semuanya sibuk menerima telpon atau juga ada yang seperti aku yang tidak ditelpon sama sekali.

Awalnya aku kira jaringan masih sibuk jadi aku hanya diam menunggu. Saat warga kosan lain silih berganti ditelpon, aku sadar kalau aku tidak ditelpon. Kenapa aku tidak ditelpon? Akhirnya, daripada aku sedih tidak mendapat telpon, aku menelpon sendiri. Saat terhubung dengan ayahku, mungkin tak sampai satu menit, telpon itu berakhir. Dia sedang berada di pom bensin ketika gempa menggucang. Sedang dalam perjalanan pulang ke rumah sementara ibuku belum bisa dihubungi. Dengan positif thinking, aku pikir ini karena mereka sangat percaya padaku. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Aku juga baru tahu kalau aku seterpecaya itu. Besoknya aku baru tahu kalau sebelah rumah kami rubuh.

Gempa kali ini sebenarnya tak sebesar gempa yang pernah kami alami saat masih SD. Gempa waktu itu cukup besar dan terjadi tengah malam. Kami sempat tidur ditenda dan mendapat bantuan mie instant. Itu jelas level bencana yang besar kan? Tapi bangunan tambahan dirumah kami cukup shock dan merubuhkan dinding tengahnya. Membuat satu ruang yang awalnya 2.

Kenapa aku tidak sempat berpikir tentang bangunan bisa roboh karena gempat ini? Sebab bangunan annisa yang tua dan terlihat ringkih ini, yang kamar mandinya Cuma berkunci lidi, nyatanya nyaris tak bergeming. Hanya ada satu retakan yang kemudian aku tak bisa memberi konfirmasi kalau itu terjadi setelah gempa atau memang sudah ada sebelumnya. Seperti yang kubilang, ini bangunan lama yang dibangun tanpa korupsi dan sungguh kokoh. Bisa dibilang, selama aku mengekos sampai aku menyelesaikan kuliah, tak ada perbaikan yang pernah dilakukan. Bahkan lantai kamar mandi yang sudah pecah dan menjadi kolam mini, saat diperbaiki, menolak untuk baik. Hanya kembali bolong dan akhirnya tetap seperti itu.

Oke, kembali lagi pada kejadian setelah gempa. Dasyatnya gempa yang dirasakan membuat peringatan tsunami dikeluarkan. Listrik yang mati, magrib yang datang dan tsunami akan datang. Sungguh pengalaman merantauku yang tak terlupakan.

Indahnya malam pertama puasa yang kami bayangkan sirna sudah. Senior-seniorku langsung mengambil tindakan waspada. Berkemas. Memasukan semua harta berharga kami dalam satu tas. Harta berharga kami dikala itu hanyalah ijazah dan itulah yang dimasukan kedalam tas.Berpakaian lengkap, menggendong tas, kami keluar kosan.

Disaat itulah kami melihat betapa mencekamnya kejadian ini. berbeda yang rumah kami yang gulita, jalan raya terang benderang dengan hilir mudik kendaraan bak pawai menyambut lebaran. Bedanya, itu adalah arus pengungsi yang berusaha menuju titik lebih tinggi. Ingat, tsunami is coming.

Belum lagi ramainya anak-anak kuliahan aliasan anak kosan lainnya yang berjalan kaki tak tahu arah. Yang penting bergerak. Meskipun secara geografis, biarpun kami dekat dengan pantai, lokasi kampus bagian belakang, lokasi kami, sejatinya adalah titik kumpul. Yang berarti, cukup tinggi, cukup aman. Tapi, siapa sih yang sanggup berdiam saja dirumah disaat semua orang terlihat mengungsi seperti ini?

Karena hape kami semuanya hape kentang, jadi kami bisa fokus menikmati kemencekaman keadaan ini. Dari pias sinar hape, aku bisa lihat betap pucatnya wajah para senior annisa. Mungkin akupun begitu. Seperti, tsunami is coming dan aku belum terhubung dengan ibuku. Ingat dosa-dosaku selama ini, aku bisa saja mati dan belum mendapat maafnya.

Annisa 1Where stories live. Discover now