Chapter 3. Sebelum mandi, teriak dulu

8 0 0
                                    

Chapter 3. Sebelum mandi, teriak dulu

Kurang lebih, begitulah pesan terpenting yang dikatakan ayuk tinok padaku. Waktu itu aku begitu lugu untuk memahaminya tapi aku kemudian belajar.

Kosan kami memperoleh air dari sumur ibuk kos. Setelah menancapkan colokan pompa air ke sakelar listrik, menunggu beberapa saat, barulah air mengalir ke dalam bak-bak kecil kami yang airnya Cuma cukup untuk satu kali mandi wanita kuliahan. Cukup modern untuk jamannya. Hanya saja, praktiknya begitu primitif.

Variable pertama adalah posisi colokan yang ada di rumah ibuk kos. Variable kedua, perlu manusia yang hidup dan sadar untuk memasang colokan. Butuh ketersediaan dua variable itu demi mengalirkan air ke kosan kami. Namun masalahnya, 2 variable ini sungguh sulit untuk berjalan selaras.

Kami tidak mungkin menghidupkan pompa sendiri karena berhasil mencolokpun, air terkadang tidak mengalir karena kran rumahnya didalam terbuka sementara terkadang ibuk kos kami ingin tidur siang, atau mungkin anaknya sedang mandi atau mungkin sedang jalan-jalan ke pantai. Hampir setiap kalinya. Setiap ada keperluan di kamar mandi, kami harus paduan suara dari jendela dapur, ditujukan ke rumah ibuk kos.

"IBUUUK... TOLONG HIDUPIN AIIIIIRRRR."

Atau singkatnya,

"IBUUUUKK... AIIIRRRR."

Atau versi sungguh kepepetnya.

"IBUUUKKK... TOLONG BUK. HIDUPIN AIR. TOLONG BUK."

Kerongkonganku langsung seret saat menulis ini. teriakan-teriakan yang sering kami lontarkan dan lebih sering lagi diabaikan. Dapur yang menjadi saksi, halaman belakang yang menjadi saksi, anjing penjaga yang menjadi saksi dan rambutan-rambutan ibuk kos yang ikut menyimak. Dari teriakan ramah, super ramah, kemudian bar-bar sampai memelas pernah kami lontarkan.

Terkadang kami sungguh sangat kreatif dalam berteriak.

"ibuuukkk... tolong hidupin air buk. Mau berangkat kuliah. Airnya kosong buk. Tolong buk. Belum mandi buk. Ibuukk... tolong ibuk." Berulang kali sambil berpegangan pada jeruji jendela dapur.

Ada kalanya sampai perlu balik ke kamar, istirahat dulu, kemudian kembali untuk tes vocal. Semua ini akan lebih mudah kalau punya kawan berduet. Ada kalanya disiang hari bolong, semua yang lain istirahat dan kamu kuliah jam 2. Siapa yang mandi pagi kalau baru kuliah jam 2? Tak ada. Maka solo karir menjadi langkah awal agar bisa tampil kece berangkat kuliah.

Air hidup di pagi dan sore hari. Lewat dari waktu krusial itu, sungguh seperti melewatkan jadwal daftar sidang skripsi.

Sempat colokan air ditempatkan di dalam kosan tapi tak berlangsung lama. Sebagai orang yang dulunya tinggal dipadang pasir. maksudku, dalam keterbatasan air, begitu mendapatkan akses air su dekat, kami dianggap terlalu berlebihan menghidupkan pompa air.

Seperti, 2 bak air kecil itu jelas tidak mungkin cukup untuk mandi nyaris lebih dari 9 orang anak gadis yang selalu ingin terlihat bersih, wangi dan cantik alami dengan cara paling mudah, yaitu mandi. Terbiasa mandi berhemat, kami dianggap menjadi terlalu rakus karena hampir menghidupkan air setiap ada yang ingin mandi. begitu saja, akses air kami kembali kepengaturan awal. kamipun kembali paduan suara.

Anak ibuk kos menghapal kami dari jenis pita suara yang terdengar. Siapa yang punya nada tinggi, kalem, mengancam, sampai hampir menangis. Dia terkadang lebih meluangkan waktu untuk mengolok kami dari pada bergegas menghidupkan air. Oh tuhan. sungguh sebuah kenangan yang tak ingin diulang. ingatkan betapa banyak aku memakinya karena ini.  Pernah dia menaksir salah satu dari kami dan dia menunjukan perhatiannya dengan kecepatan air mengalir. Aku jarang iri tapi ini sungguh memunculkan rasa iri.

Tapi ada yang lebih menyebalkan dari bentuk pilih kasih tadi, yaitu, aksi sabotase air. Sekarang mungkin terdengar lucu tapi dimasa itu, aku bahkan pernah menjadi saksi sapu terbang karena perkara air.

Ini terjadi di awal aku mengekos. Saat tiba-tiba sindiran-sindiran pelan berubah jadi jeritan-jeritan dan sapupun melayang.

Kasusnya begini, ada ayuk solo karir memperjuangkan air. Begitu air mengalir, tiba-tiba ayuk yang punya kamar mandi di dalam, diam-diam menutup air dibelakang agar mengalir ke kamarnya. Menurut si ayuk yang marah, ini sudah sering terjadi. Sungguh tindakan yang tidak terpuji, tidak sportif dan perlu diselesaikan. Singkat cerita, masalah diselesaikan dengan adu mulut. Tak ada pertumpahan darah tapi kemudian salah satu ayuk memilih untuk pindah.

Lihat. Betapa krusialnya masalah air. Memang air adalah sumber kehidupan. Di annisa, air juga terkadang jadi sumber masalah.

Sering terjadi disuatu sore, disaat matahari masih bersinar cerah meski sebentar lagi magrib. Semua anak kosan sudah pulang dan sudah berselempang handuk ke kamar mandi. Namun yang ditunggu belum datang. kamipun mulai paduan suara. Yang memalukan, terkadang tetangga kosan kami yang berbatas tembok tinggi, ikut menyumbangkan suara emas.

"Ibuuk... tolonglah buk hidupin air." Suara anak cowok kosan sebelah. Dengan intonasi yang sungguh terlatih. bahkan dengan cengkok sempura. mengingatkan kami kalau suara kami mencapai ibuk kos, jelas juga mencapai tetangga kosan.

Kami malu, harga diri kami tercoreng. Tapi kami tak punya pilihan selain tertawa dan berusaha untuk tidak pernah kenal anak kosan sebelah.

Hal indahnya, area dapur kamar mandi adalah area favorit kami berkumpul. Dipagi hari kuliah mungkin tak bisa bercengkrama lama tapi kalau sore hari, kami bisa menghabiskan beberapa jam bergosip. Bisa sambil mencuci piring, mencuci baju yang sudah direndam entah sejak hari apa, ada yang masak dan tentunya ada juga yang mandi.

Dan disinilah pula aku mengalami pengalaman gempa pertamaku saat kuliah. Begitu mengguncang kosan meski tak terlalu mengguncang jiwaku.


author's note:

let me know what do you think guys.

Annisa 1Where stories live. Discover now