14 | Papa, Aku Pulang

10.5K 981 534
                                    

Jakarta, 11 tahun yang lalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jakarta, 11 tahun yang lalu.

"Sekali lagi, saya mewakili rekan-rekan yang lain, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelalaian kami dalam menjaga dan mengawasi anak-anak. Saya akan pastikan agar hal seperti ini tidak terulang kembali, ya, Papa. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk lebih intens lagi mengawasi anak-anak setelah ini."

Wanita yang menjabat sebagai Kepala Sekolah tempat El mengenyam pendidikan kanak-kanak itu menunduk lebih dalam, menyampaikan penyesalan. Segala bentuk permintaan maaf telah beliau sampaikan semenjak Jonathan duduk di hadapannya dua puluh menit yang lalu, lengkap dengan detail penjelasan yang memang sudah seharusnya ia dengar.

Lelaki itu sedang berada di kafe dekat gedung kampusnya, menyusun skripsi dengan ditemani satu gelas Affogato serta alunan lagu dari salah satu band indie Indonesia, ketika ia menerima telepon dari wali kelas El di sekolah. Katanya, ada sedikit masalah. Maka setelah panggilan berakhir, ia juga mengakhiri kegiatannya dan sesegera mungkin bergegas.

El terluka setelah tidak sengaja terjatuh karena dijahili oleh salah satu temannya ketika mereka berada di tengah-tengah pelajaran olahraga. Itu adalah penjelasan yang Jonathan terima dari Ibu Kepala Sekolah beberapa saat lalu, ketika mereka akhirnya berbicara empat mata. Lelaki itu tidak marah, tidak pula menyalahkan siapa-siapa. Hal seperti itu wajar terjadi kepada anak-anak seusia mereka, dan sebisa mungkin ia berusaha memakluminya. Meski tidak dapat dipungkiri, rasa marah itu tetap ada ketika ia melihat sendiri bagaimana plester luka dan kain kasa membungkus lengan putranya yang terluka.

Lelaki itu kemudian mengangguk dan bersiap untuk berpamitan setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Karena meski ini bukan pertama kalinya, datang ke hadapan seorang guru sebagai wali murid masih belum membuatnya terbiasa. Rasanya aneh, ketika di kampus ia menghadap dosen sebagai seorang mahasiswa, tetapi di tempat ini ia datang dengan status sebagai seorang ayah dari anak laki-laki bernama Elzaqta Sebastala. Rasanya aneh, ketika di kampus ia sibuk membahas materi skripsi, tetapi di tempat ini ia justru membahas hal-hal yang biasa dibicarakan oleh seorang guru kepada wali siswanya.

Jonathan merasa tidak nyaman. Sepanjang pertemuan mereka, duduknya sama sakali tidak tenang. Sebab, meski tidak disampaikan secara gamblang, ia bisa merasakan tatap-tatap menghakimi dari kepala sekolah, wali kelas, bahkan guru-guru lain yang tadi sempat ia temui di perjalanan menuju ruang tempat sekarang dirinya berada. Mungkin diam-diam mereka pun mempertanyakan statusnya. Sebetulnya itu hal yang wajar, karena dilihat dari sisi mana pun, bukan hal yang lumrah bagi seorang mahasiswa sepertinya datang ke sekolah sebagai ayah dari salah satu peserta didik di sana.

Jonathan sepenuhnya paham bahwa tatapan miring yang mereka berikan bukan tanpa alasan. Akan tetapi, ia sudah berada di situasi ini lebih lama yang sebelumnya ia bayangkan. Maka saat semua sudah berakhir dan tidak ada lagi yang perlu ia dengar, satu-satunya yang lelaki itu inginkan hanya membawa putranya pulang.

"Terima kasih banyak, Bu. Kalau sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, boleh saya izin bawa El pulang?"

Ibu Kepala Sekolah yang semula cukup tegang duduk di kursinya itu pun seketika menegakkan badan dan menarik senyuman. Gerakan tangan beliau membentuk isyarat bahwa pembicaraan mereka memang telah usai dan Jonathan sudah boleh meninggalkan ruangan.

Tidak Ada Aku di Hati PapaWhere stories live. Discover now