11 | Sudah Bulan Juli, Pa...

6.8K 909 417
                                    

"Aku sebenernya pengen pergi yang jauh. Ke tempat yang cuma ada aku sendirian, nggak ada orang-orang. Tapi ... aku juga takut."

Percakapan satu arah antara El dan Papa sore itu berakhir tanpa meninggalkan apa-apa selain jarak yang menjadi semakin panjang

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Percakapan satu arah antara El dan Papa sore itu berakhir tanpa meninggalkan apa-apa selain jarak yang menjadi semakin panjang. Dan untuk pertama kali, di keesokan pagi setelah hari itu berlalu, El berangkat mendahului Papa. Meninggalkan sarapan yang lelaki itu persiapkan di meja, juga satu gelas susu yang jejak-jejak uapnya bahkan masih mengepul di udara.

Untuk pertama kali juga, di hari yang sama, El pulang lebih lambat dari Papa. Cowok itu baru tiba di rumah setelah matahari benar-benar tenggelam. Melewatkan sore harinya yang biasa ia habiskan untuk menunggu Papa pulang sembari bermain ponsel di ruang tamu, juga kebiasaan-kebiasaan rutinnya seperti mengirimi Papa pesan agar berhati-hati saat pulang, atau sekadar memberitahu lelaki itu bahwa ia sudah memesan makanan untuk makan malam.

Saat itu, El hanya sedang kecewa. Kepada Papa, kepada dirinya, kepada keadaan, juga kepada semuanya. Ia kira mengambil jeda sebentar untuk menghindari Papa akan membuatnya baik-baik saja. Tetapi ternyata semesta memang tidak pernah berada di pihaknya. Jeda dingin panjang itu justru berlangsung lebih lama dari yang ia kira. Sudah satu minggu berlalu, dan sampai hari ini El masih belum berani bicara dengan Papa lebih dari sekadar mengajak salat subuh bersama. Selebihnya, mereka tidak bicara. Pertanyaan yang sore itu El keluarkan untuk Papa pun masih tidak menemukan jawabannya dan sekarang cowok itu sudah tidak lagi mengharapkan apa-apa.

Ia tidak pernah mampu membaca diamnya Papa, atau sekadar mengartikan raut muka Papa saat diam-diam ia dapati lelaki itu membeku cukup lama di hadapan meja makan tanpa melakukan apa-apa. El tidak pernah tahu apa yang Papa pikirkan, juga perasaan seperti apa yang diam-diam lelaki itu pendam. Ia tidak tahu apakah hari-hari belakangan ini Papa merasa bersalah, atau justru senang karena El berhenti bertingkah kekanakan dengan selalu mencari perhatian. Sebab, selama ia memberi jarak, Papa juga diam. Seolah sengaja menciptakan jarak yang semakin panjang, yang tentu akan semakin sulit dipatahkan.

Hari ini, El malah sama sekali belum melihat Papa. Lelaki itu sudah tidak di rumah sejak pukul tujuh pagi, di mana hari libur begini seharusnya ia tidak bekerja. El tidak pernah tahu ke mana perginya Papa, atau urusan sepenting apa yang mengharuskannya keluar bahkan sebelum sempat menyentuh sarapan. Lelaki itu hanya meninggalkan dua tangkup roti yang sudah diolesi dengan selai, juga satu kotak susu di meja makan, yang kemudian El makan sendirian dengan ditemani suara televisi dari ruang tengah agar ia tidak merasa kesepian.

Kemudian, siangnya, cowok itu tanpa pikir panjang mengiyakan ajakan Laura untuk keluar. Pikirannya yang keruh butuh pelarian dan kebetulan gadis itu datang dengan permohonan yang sudah ia hafal.

"Makan dulu, yuk!" Gadis itu membuka suara lagi setelah berjalan lumayan jauh meninggalkan toko buku tempat ia menghabiskan hampir satu jam penuh untuk memilah judul-judul mana saja yang menarik perhatiannya.

Kalau boleh jujur, El sebenarnya belum terlalu lapar. Tetapi ia juga tidak mungkin mengatakan tidak dan membiarkan Laura kelaparan. Maka cowok itu mengangguk pelan dan kemudian membiarkan Laura mengedarkan pandangan ke sekitar, menentukan ke mana mereka akan makan. Warung bakso kaki lima yang berada tidak jauh dari sana pada akhirnya menjadi tempat yang Laura tuju, sementara El mengikuti di belakang.

Tidak Ada Aku di Hati PapaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora