5 | Boleh Tidur Sama Papa?

5.2K 761 241
                                    

"Selama ini, aku ngira Papa orangnya emang nggak suka ngobrol. Ternyata baru-baru ini aku sadar, Papa emang cuma ngobrol sama orang-orang yang bikin dia ngerasa nyaman. Dan sayangnya, aku enggak termasuk di dalamnya."

Setelah hampir satu jam tertahan di sekolah karena hujan yang sedang deras, El akhirnya bisa pulang meski masih harus menerjang gerimis yang belum sepenuhnya tuntas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah hampir satu jam tertahan di sekolah karena hujan yang sedang deras, El akhirnya bisa pulang meski masih harus menerjang gerimis yang belum sepenuhnya tuntas. Karena ponselnya mati dan ia tidak pernah serajin itu untuk selalu menyelipkan charger di dalam tas, cowok itu akhirnya berjalan kaki kurang lebih dua ratus meter dari sekolah untuk kemudian menemukan ojek yang biasa mangkal di dekat lampu merah.

Namun, alih-alih langsung kembali ke rumah, cowok itu justru mengambil arah yang berlawanan. Dan di sinilah ia sekarang. Di depan bangunan tempat Papa kerja yang kebetulan sedang tidak ramai pelanggan.

"Sebentar, ya, Bang. Saya minta uangnya ke Papa saya dulu, soalnya dompet saya ketinggalan di rumah. Sini Abangnya neduh di aja," ucap cowok itu setelah motor yang membawanya berhenti.

Gerimis sudah tidak sederas tadi, maka saat ia menawari abang tukang ojek tersebut untuk ikut menepi sebentar sembari ia mengambil uang, lelaki itu menggeleng sebagai tanda penolakan.

"Iya, makasih. Nggak apa-apa di sini aja saya, udah kepalang basah juga ini."

"Yaudah, bentar, ya, Bang."

Lelaki itu hanya memberi anggukan dan setelahnya El berlari ke depan bangunan yang seolah sudah menjadi rumah kedua Papa selama bertahun-tahun belakangan. Dengan tergesa-gesa ia melepas sepatunya yang basah dan meninggalkannya di teras agar tidak mengotori lantai. Keningnya mengernyit, sedikit merasa penasaran. Biasanya, Mas Arbi akan selalu ada di depan, duduk di balik kaca etalase untuk menyambut siapa pun yang datang.

Namun, kali ini tidak ada siapa-siapa. Di sudut etalase hanya ada tumpukan beberapa komponen komputer yang mungkin baru saja Papa pesan beserta nota pembayaran yang tergeletak di sisinya. Cowok itu kemudian bergegas ke dalam, berniat untuk langsung mencari Papa agar tidak membuat Abang tukang ojek tadi menunggu lama. Mungkin Papa bersama kedua karyawannya masih sibuk mengerjakan sesuatu di dalam sana.

Baru dua langkah, tiba-tiba saja Mas Arbi muncul dari dalam sembari membawa sebuah laptop yang sepertinya baru selesai dibetulkan. Lelaki itu tampak terkejut melihatnya datang dengan seragam setengah basah serta rambut yang acak-acakan. Namun, cowok itu hanya menyapa dengan sopan dan menarik senyuman.

"Papa ada, Mas?"

"Oh, ada di dalem, kok. Mas El, kok, basah-basahan, sih? Emang nggak naik taksi?"

Tangan El yang semula mengepal karena dingin pun seketika beralih mengusap-usap bajunya. Sadar kalau mungkin sisa-sisa air yang meresap di sana bisa saja menetes ke lantai putih bangunan itu. Cowok itu kemudian menggeleng, masih dengan garis senyum yang ia tarik samar-samar meski hawa dingin dari AC di sudut ruangan seolah menambah tingkat kedinginannya menjadi berkali-kali lipat.

Tidak Ada Aku di Hati PapaWhere stories live. Discover now