THE NEWS' HIGHLIGHT [PART 3]

Start from the beginning
                                        

Bukankah anak remaja seharusnya demikian?

Stephanie mendekat pada Olivia. Ia mengambil kedua tangan temannya yang gemetar itu.

"You did well. Lo ngelakuin hal yang bener. Gak apa, Liv. Gue gak apa."

Stephanie menggenggam tangan Olivia. Ia menatap temannya itu dengan tulus.

Jika membeberkan kisahnya membuat Olivia terbebas dari siksaan abusif dari ibunya, Stephanie tidak apa. Toh, ia sudah biasa menjadi bulan-bulanan. Ia juga kini sudah cukup pulih, sudah cukup untuk bisa memaki Pak Prabu, sudah cukup untuk bisa bersekolah lagi dan tersenyum.

"Gue... gue udah bilang enggak mau. Tapi nyokap gue... nyokap gue maksa... gue gak bisa... gue pengen jadi pengacara kaya bokap... gue pengen bebas... kata nyokap, kalau gue ungkap, gue dibolehin buat sekolah hukum... maafin gue, Steph..."

Olivia mengatakannya dengan terbata. Stephanie hanya mengangguk paham.

"Memar lo udah diobatin?" Stephanie lebih peduli dengan memar-memar yang dimiliki Olivia di tubuhnya. Ia melihat memar itu di pergelangan tangan. Olivia juga sempat mengaduh ketika Stephanie memeluknya. Sepertinya, punggung temannya itu juga memar. Apa yang dilakukan sang ibu pada anak ini? Kejam sekali, pikir Stephanie kala itu.

Olivia merasa semakin bersalah dengan respon yang ia dapatkan dari Stephanie. Alih-alih perempuan itu menamparnya, Stephanie malah menghujaninya dengan perhatian. "Lo boleh benci gue, Steph..."

"Gue akan benci lo kalau lo gak mau diobatin!"

Olivia mengangguk sembari tersenyum. Air matanya masih turun, tapi syukurlah dia merasa lebih baik sekarang.

Mereka pergi ke school clinic setelahnya.

***
- Dua hari setelah berita tersebar -

Jejeran staf di kediaman Pramadana menyambut Stephanie. Perempuan itu menyunggingkan senyum sopan kepada para asisten rumah tangga yang berjejer menundukkan kepala. Salah satu staf perempuan memimpinnya ke ruangan Pak Pram, kakek Stephanie.

Hari itu, sepulang sekolah, Stephanie dipanggil oleh sang kakek untuk menghadapnya. Stephanie langsung tahu apa yang ingin kakeknya bicarakan.

Setelah masuk dan menyambut sang kakek dengan hormat, Stephanie yang masih berdiri itu diperhatikan oleh Pak Pram dari atas hingga bawah.

"Kau ini biang onar sekali. Bagaimana bisa kau beberkan sendiri kisahmu itu pada JBC?"

"Kek, Stephanie bercerita pada teman--"

"Sama saja! Kau sama saja membeberkan kisahmu sendiri! Bodoh sekali."

Stephanie menunduk ketika suara sang kakek tiba-tiba meninggi.

Ya. Stephanie menceritakan juga kisahnya pada Olivia walaupun temannya itu tidak ada di tempat kejadian. Olivia beberapa kali berkunjung ke rumah Stephanie dan menenangkannya, menghiburnya.

"Lihat! Bahkan mereka menyeret kedua orang tuamu! Media sekarang telah membuat kisah buruk tentang orang tuamu! Padahal sudah cukup berita tentang perceraian, mesti jugakah berita mengenai buruknya pola pengasuhan orang tuamu itu disebarkan? Klub malam, hotel... kau ini- Siapa pula yang mengajarimu- eugh!"

Stephanie menutup kedua matanya rapat-rapat saat tangan sang kakek hendak melayang menuju wajahnya. Namun ternyata, Kakek Pram tidak mampu menamparnya.

Kedua tangan Stephanie saling bertaut. Ia meremas kencang jemarinya hingga merah. Menemui kakek tanpa orang tua dan Samuel membuatnya hilang keberanian.

Di antara tekanan yang diberikan oleh kakeknya, Stephanie terpikir ide yang menarik untuk meredakan berita buruk tentang dirinya dan keluarganya.

"Jika kakek bersedia menyerahkan berita ini pada Stephanie, izinkan Stephanie untuk ikut Mama dan sekolah fashion desaign."

***

Maka, esok hari saat jam pulang sekolah, Stephanie melangkah keluar sekolah dengan penuh percaya diri. Ia tidak menceritakan apa yang akan ia lakukan di depan wartawan, namun ia tahu dan yakin bahwa hal ini akan mengubah pandangan publik.

Benar saja, ketika Stephanie keluar sekolah tanpa masker dan mudah dikenali, seluruh wartawan mengerubunginya.

"Dek Stephanie, apakah benar tentang berita pelecehan itu?"

"Bagaimana keadaan orangtuamu?"

Stephanie menutup kedua matanya untuk meyakinkan diri. Sesaat ia membuka mata, ia bertanya.

"Saya boleh menyampaikan pendapat saya?"

Salah satu wartawan menjawab, "iya boleh, Dek!"

"Berita ini akan ramai dibicarakan di televisi?" Stephanie memastikan kembali.

"Betul! Berita ini juga akan ada di koran!" Teriak wartawan lainnya.

Maka sudah cukup. Stephanie akan berbicara.

"Selamat sore, wartawan yang terhormat. Perkenalkan, saya Stephanie Pramadana, seorang siswi di Soedirman Intercultural High School, seorang anak perempuan satu-satunya dari Dian Kemuning dan Julian Pramadana.

Terima kasih saya haturkan pada seluruh wartawan yang tertarik tentang kisah pelecehan seksual oleh seorang guru di sekolah ini.

Berita itu... benar adanya. Seluruh kronologi yang diceritakan oleh saksi, benar adanya.

Namun, saya sangat bersyukur dan berterima kasih pada sekolah ini karena sangat kooperatif melawan kekerasan dan pelecehan sehingga guru tersebut langsung dikeluarkan. Bahkan, sekolah saya berusaha untuk tidak membeberkan awak media karena takut akan melukai psikologis saya.

Saya juga sangat bersyukur bahwa keluarga saya mendukung saya untuk mengambil langkah hukum dalam menegakan keadilan.

Pelecehan seksual bukanlah hal yang dibenarkan. Siapa pun yang melakukannya, perlu diadili, perlu dijauhkan dari korban. Korban juga butuh pendampingan, bukan penghakiman.

Dengan adanya kasus ini, saya harap setiap orang tua, siswa, dan sekolah perlu waspada dan perlu memberikan edukasi tentang apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, cara menyelamatkan diri, dan apa yang dapat dilakukan korban. Saya juga berharap tidak ada lagi pelecehan seksual di area mana pun, sekolah, kampus, kantor, rumah sakit, atau di mana pun kita tinggal.

Satu hal lagi. Orang tua saya tidak ada kaitannya dengan pelecehan seksual yang terjadi. Mereka mendidik saya dengan sangat baik dan penuh kasih.

Sekian.

Terima kasih atas kesempatan untuk berbicara, selamat sore."

Dapat dikatakan bahwa Stephanie berhasil meredakan berita tentangnya. Sekolah tempatnya menuntut ilmu mendapatkan apresiasi besar dari berbagai lembaga perempuan dan perlindungan anak dan juga khalayak. Pelecehan seksual kini menjadi trending topic di Indonesia dan karenanya, banyak korban yang berani berbicara.

Keluarga Pramadana kembali disorot sebagai keluarga yang sangat positif, penuh dengan cendekiawan, tutur khalayak. Karena itulah, sang kakek memberikan janjinya pada Stephanie bahwa cucunya ini boleh ikut pengasuhan Dian Kemuning dan bersekolah desain.

Olivia merasa amat lega dan bahkan ia menangis memeluk Stephanie setelah temannya itu berani berbicara. Dia sangat bangga saat itu dan juga sangat merasa bersalah.

Samuel menyeringai kemudian melangkahkan kaki lebih dulu setelah mendengarkan Stephanie berbicara. Ia menyambut kembarannya dengan tepukan tangan saat perempuan itu masuk ke dalam mobil.

Sementara Johan... menurutmu, apa yang seharusnya Johan lakukan?

***
to be continued

CLASS OF '14 [ON GOING]Where stories live. Discover now