11. Menagih Janji

Start from the beginning
                                    

"Nay, kenapa diem?" tanya Melisa, ia segera berjalan menghampiri Naya.

"Ekhem." Naya berdeham kecil, ia mencoba tampak biasa saja di depan Melisa, seolah ia tak mengerti dengan apa yang ditanyakan oleh sahabatnya itu. "Foto pernikahan gue? Lo waras nggak si, Mel? Gue belum nikah woy."

Raut wajah Melisa berubah datar, tatapan matanya sangat menusuk indra penglihatan Naya. Jelas sekali jika Melisa memang tak percaya dengan perkataan Naya tadi. "Bohong!"

"Lo bohong, Nay!" tegasnya, ia duduk di samping Naya kemudian melipat kedua tangan di bawah dada. "Kalau emang bener lo belum nikah, di mana Om Dimas? Gue nggak ngeliat Om Dimas di rumah ini."

Kedua mata Naya terlihat gusar, Naya tengah mencari jawaban yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Melisa.

"Bo—bokap gue ada di kantor. Dia berangkat ke kantor sekitar jam 7, makanya lo nggak tau. Lo kan ke sininya jam 10," balas Naya, sedikit terbata lantaran rasa gugup terus menyelimutinya. Jujur, ia takut kebohongan yang ia sembunyikan akan terbongkar.

"Yakin? Kok gue nggak percaya ya."

"Lo harus percaya sama gue, Melisa! Gue nggak bohong! Buat apa juga gue bohong?" Setiap kata yang diucapkan Naya penuh penekanan semata agar Melisa percaya akan ucapan perempuan itu walau hasilnya tetap nihil.

"Gimana gue mau percaya sama lo kalau emang kenyataannya lo udah nikah, hah? Gue yakin lo menyembunyikan status lo sekarang karena suami lo adalah cowok alim yang nggak suka dunia malam, dia bukan tipe lo. Bener, kan?"

Skakmat, Naya tak bisa membalas kata demi kata yang keluar dari mulut Melisa, entah kenapa tiba-tiba saja ia seperti kehabisan kata. Kini yang bisa Naya lakukan hanyalah diam, membungkam mulutnya rapat-rapat tanpa ada niatan berkata jujur pada Melisa.

"Kenapa lo nggak jujur sama gue, Nay? Lo anggep gue apa? Gue sahabat lo, seharusnya lo ngomong yang sejujurnya, gue juga nggak akan ngeledekin lo kok. Mau lo nikah sama cowok alim, mau lo nikah sama tukang kebun, mau lo nikah sama tukang parkir, kalau udah jodoh ya lo harus terima dengan lapang dada," papar Melisa.

"Gue paling nggak suka sama orang yang nyembunyiin sesuatu dari gue!" tekannya. Walaupun demikian, Naya malah serius menonton TV, ia sama sekali tak mengindahkan ucapan sahabatnya.

"Naya, gue lagi ngomong sama lo anjir!!!" Karena kesabaran Melisa sangat tipis setipis tisu dibagi sepuluh, alhasil ia berteriak tepat di telinga Naya.

Biarkan saja, lagi pula suruh siapa ada orang ngomong tidak didengarkan. Biar tau rasa sahabatnya ini.

"Nggak usah teriak, Mel! Gue denger omongan lo. Lo mau bikin gendang telinga gue rusak ya?" ujar Naya sembari melemparkan tatapan tajamnya.

"Didenger doang tapi nggak direspon buat apa? Udahlah gue capek ngadepin lo! Intinya gue udah tau kalau lo sekarang udah nikah, karena semalam waktu gue nganterin lo pulang, suami lo yang gendong lo sampe kamar!" Segera Melisa mengambil tas miliknya lantas berdiri dari duduknya, hendak meninggalkan Naya seorang diri di rumah tersebut dengan perasaan kesal. "Gue pulang, bye!!!"

"Eh, Mel. Tunggu! Kok lo malah marah si sama gue? Melisa!" Berteriak sekencang-kencangnya pun percuma lantaran Melisa benar-benar telah pergi, keluar dari rumah Naya tanpa mengucapkan salam.

Sementara di lain tempat, Ali terus terdiam di mejanya, memikirkan kondisi Naya. Semalam Naya mabuk berat, sudah pasti perempuan itu akan mengalami hangover sekarang. Entah bagaimana kondisi Naya saat ini, Ali ingin sekali mengetahuinya. Namun sayang, satu pun panggilannya tak ada yang diangkat.

"Assalamu'alaikum, Pak," salam seseorang berhasil mengambil alih perhatian Ali.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa ya, Pak Edi?" ucap Ali pada Pak Edi, selaku satpam di SMA Lentera Bangsa.

"Di luar gerbang sekolah ada seseorang yang mencari Bapak, dia tidak memberitahu siapa namanya."

Ali terdiam sejenak, tak langsung menjawab penuturan Pak Edi barusan. Apakah mungkin jika seseorang yang mencarinya itu adalah Naya?

"Oh begitu, baik terima kasih banyak, Pak Edi. Saya akan segera menemuinya."

Pak Edi mengangguk. "Iya sama-sama, Pak." Kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruang guru.

Tak berselang lama, Ali pun mulai berjalan menuju gerbang sekolah untuk menemui orang tersebut. Ia berharap orang yang mencarinya memanglah Naya.

Kedua alis Ali saling  bertaut begitu melihat sosok orang itu. Bukan, dia bukan Naya karena dia memakai hijab, pun sepertinya Ali mengenali orang ini.

"Maaf lama menunggu, kenapa kamu mencari saya? Ada keperluan apa?"

Mendengar suara Ali, orang itu segera membalikkan badannya dengan senyum yang senantiasa merekah sempurna, senyuman yang sudah 5 tahun lamanya tidak Ali lihat dan baru sekarang ia bisa melihatnya lagi.

"Ali, kamu masih kenal kan sama aku?" tanyanya. "Aku Hasna, seorang santriwati yang menaruh hati padamu, ternyata kamu juga merasakan hal yang sama dulu. Tapi karena berpacaran itu dilarang, akhirnya kita berdua hanya bisa saling mendoakan satu sama lain. Sebelum kamu keluar dari pondok pesantren, kamu sempat menjanjikan sesuatu, Li."

"Nah, tujuan aku menemuimu karena aku ingin menagih janjimu itu padaku 5 tahun yang lalu." Hasna mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Jadi kapan kamu siap menikahiku, Ali?"

Apa harapan kalian untuk chapter selanjutnya?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Apa harapan kalian untuk chapter selanjutnya?

Oh ya aku mau tanya, kalian mau aku up seminggu sekali, seminggu dua kali, atau seminggu tiga kali? Jawab ya☺️

Komen yang banyak!

Spam next di sini!👉

Jangan lupa follow akun IG @zizah1803

See you next chapter^^

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now