28. Divorce

479 45 2
                                    

“Puncak tertinggi mencintai yaitu mengikhlaskan dia bersama pilihannya bukan bersamanya.”
.
.
.
—Author—
🌺🌺🌺

“Hunaf, sayang,” panggil Yanza tersenyum lega ketika melihat Hunaf keluar dari kamarnya. Sedetik kemudian senyumnya kian memudar setelah melihat Hunaf menyeret koper besar bersamanya, Yanza dengan buru-buru menahan sang istri setelah melihat koper itu.

“Kamu mau kemana? Ngapain bawa koper segala?” tanya Yanza menahan lengan Hunaf.

“Bukan urusan kamu, minggir nggak!” sentak Hunaf kesal. Yanza tak melepaskan tangannya dari lengan Hunaf, ia tidak akan pernah membiarkan istrinya pergi dari rumah ini apapun yang terjadi.

“Sayang, kok kamu berubah gini sih?” Hunaf berdecih, ingin rasanya dia muntah sekarang mendengar pertanyaan dari Yanza untuknya.

“Aku? Berubah? Bukannya kebalik ya, seharusnya aku yang nanya sama kamu. Kenapa kamu berubah, jadi ini alasan kamu ngga ngasih aku kabar dari kemarin? Kamu sibuk sama istri barumu itu, iya? Lebih baik kamu bunuh aja aku mas dari pada kamu giniin, aku udah pernah bilang sama kamu, aku lebih baik kehilangan dari pada harus berbagai sesuatu yang memang tidak seharusnya aku bagi sama orang lain,” cerca Hunaf.

“Rasanya sakit sekali tahu nggak, mas? Kamu kenapa tega sama aku, kalau aku ada salah ngomong, nggak gini caranya. Sakit banget, hati aku sakit banget rasanya.” Air mata Hunaf mulai berderai, tak bisa ia bendung lagi.

“Maaf,” sesal Yanza.

“Andai kata maaf kamu bisa balikin semuanya, tapi nyatanya nggak bisa. Aku nggak bisa nanggung sakit hati ketika lihat kamu sama istri barumu itu, lebih baik aku yang mengalah. Aku memang lemah, karena aku selalu memilih untuk kalah.”

“Maksudnya?”

“Aku tidak suka berbagi, mas. Kamu tahu itu, jadi biar aku yang mengalah. Kamu pertahankan saja Elisa dan lepaskan aku, aku bisa hidup tan---”

“Kamu mau pisah dari mas?” Dengan berat hati Hunaf mengangguk kecil, itu membuat Yanza marah besar tapi ia tidak bisa meluapkannya di depan Hunaf, wanita itu memiliki trauma.

“Kamu mau ninggalin mas?” Yanza melepaskan genggaman tangannya pada lengan Hunaf lalu mundur beberapa langkah. Melihat Yanza mundur, Hunaf yang tadi menunduk langsung mendongak menatap sang suami.

“Tidak bisakah kita bicarain baik-baik?” tanya Yanza dengan suara lirihnya. Hati Hunaf merasa sakit ketika mendengar suara itu, tapi ia akan merasa lebih sakit lagi jika harus satu rumah dengan madunya.

“Tidak ada yang perlu kita bicarain mas, kamu juga tidak bisa menepati janji kamu dulu. Apa yang harus di pertahankan lagi, saat kamu bawa dia kesini itu artinya kamu sudah siap kehilangan aku,” tutur Hunaf.

“Sayang,” lirih Yanza tapi Hunaf menggeleng pelan.

Hunaf menarik kopernya lalu berjalan menuruni anak tangga, dibawah ia tak sengaja berpapasan dengan Elisa. Wanita itu nampak tersebut mengejek ke arah Hunaf, mungkin ia sudah merasa menang dari Hunaf karena Hunaf pergi dari rumah yang artinya ia akan menjadi istri satu-satunya bukan salah satunya.

“Tunggu saja balasannya,” ucap Hunaf lalu keluar dari rumah itu. Ia bahkan tak perduli dengan Yanza yang memanggilnya dan berlari mengejarnya. Keputusannya sudah bulat, ia lebih baik kehilangan dari pada harus berbagi.

With You [End]Where stories live. Discover now